Malang, PERSPEKTIF– Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan (FORMAH PK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya menyelenggarakan seminar nasional yang merupakan rangkaian Demokrasi Festival Kampus (MOZAIK) 2018 pada Selasa malam (2/10). Acara yang dilaksanakan di Gedung Samantha Krida ini bertajuk Suar Demokrasi dengan mengangkat tema “Merekonstruksi Persatuan Indonesia Melalui Penanaman Nilai Kebhinekaan dan Anti Korupsi dalam Pesta Demokrasi.”
Seminar nasional ini menghadirkan lima pemateri, yaitu Thony Saut Situmorang, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Achmad Sodiki selaku Akademisi dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2010-2013, Franz Magnis-Suseno selaku Budayawan Indonesia. Selain ketiga tokoh tersebut, ada dua narasumber yang tidak bisa hadir dan hanya menyapa peserta seminar melalui video. Kedua narasumber tersebut adalah Yenny Wahid yang kemudian diwakillkan oleh Abdi Kurnia Djohan dari Wahid Institute serta Wahyu Setiawan yang diwakilkan oleh Muhammad Arbayanto, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur.
Dialog interaktif yang dimoderatori oleh Daniar Achri, salah satu pewarta Cable News Network (CNN), ini berlangsung kondusif dengan pemaparan narasumber sesuai dengan bidangnya. Seminar ini difokuskan untuk membahas berbagai isu dan permasalahan yang semakin hangat menjelang pesta demokrasi pada 2019 mendatang.
Achmad Sodiki menyampaikan mengenai makna demokrasi. Terlebih menjelang pesta demokrasi 2019, di mana banyak oknum-oknum tertentu yang justru memanfaatkan moment tersebut untuk melakukan ujaran kebencian. “Sebenarnya salah satu sudut dari demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan sengketa atau perbedaan dengan cara terhormat, manusiawi dan berbudaya,” jelas Achmad.
Serupa dengan Ahmad, Abdi Kurnia Johan mengungkapkan, “Pesta demokrasi sebagai suatu proses yang hadir untuk mengakomodir hak-hak individu di dalam politik,” ungkapnya. Abdi menilai perbedaan baik itu pandangan politik, ras, dan agama bukanlah suatu alasan yang dapat dijadikan pendukung untuk menyebarkan ujaran kebencian. Menurutnya, demokrasi bertindak sebagai suatu pergerakan untuk mengajak masyarakat menjunjung tinggi etika.
Terkait dengan kasus ujaran kebencian yang marak ditemukan diberbagai platform media sosial sebagai suatu fenomena yang tidak bisa dicegah. Seperti yang disampaikan oleh Franz Masnis “Ujaran kebencian sebagai suatu fenomena yang tidak bisa dicegah saat ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut Franz menegaskan bahwa masyarakat masih memiliki agama dan hukum yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengontrol diri, “Hukum dan agama dapat dijadikan sebagai landasan untuk dapat menghindari penyebaran ujaran kebencian itu dan hal tersebut kembali lagi kepada masing-masing individunya,” tandas Franz.
Terkait dengan tema besar yang diusung, Putu Adhiyasa Mahendra, Ketua Pelaksana MOZAIK 2018, melalui sambutannya mengungkapkan bahwa acara ini diangkat karena adanya masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, terutama menjelang pesta demokrasi. “Kami mengadakan acara ini atas dasar melihat berbagai masalah-masalah yang muncul di masyarakat terutama menjelang pesta demokrasi. Entah pilkada atau pemilu seringnya terjadi konflik di masyarakat secara horizontal,” ungkapnya
Ia juga menambahkan, “Kami berharap dengan acara ini masyarakat Indonesia menjadi sadar bahwa persatuan itu sangat penting bahkan dalam momen pesta demokrasi. Justru bukan hal yang membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak melainkan dari berbagai golongan, berbagai perbedaan yang ada di Indonesia tetap harus bersatu dan mengingat tujuan dan cita-cita negara ini,” tambahnya
Oza Jurika Irawan, salah satu peserta seminar yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka (UNMER) Malang, menanggapi positif acara ini. “Acara ini kesannya bagus banget ya, udah forum nasional. Kita di sini membahas sesuatu yang aktual terutama di Jatim sendiri. Saya senang ada forum-forum kayak gini, jadi kita membahas tetang kejadian kenyataan yang terjadi di masyarakat,” tutur Oza.
Oza juga berharap agar acara ini nantinya dapat memberikan dampak yang lebih positif terutama dalam dunia hukum. “Semoga impact-nya, ini kan dalam konteksnya hukum, semoga kita di dunia hukum itu ke depannya lebih mencerna apa sih yang terkandung dalam hukum itu. Lebih mencerna mana baiknya dalam hukum, mana yang tidak,” pungkasnya. (ptr/ynq/wur)