Malang, PERSPEKTIF– Aliansi Save Cagar Alam Sempu mengadakan diskusi publik, kemarin malam (06/09) di teras Gedung Sport Center Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang. Diskusi bertajuk “Cagar Alam Bukan Tempat Wisata” tersebut, menyikapi isu penurunan status pulau Sempu yang awalnya cagar alam akan dijadikan Tempat Wisata Alam (TWA), sehingga nanti berdampak terhadap kerusakan ekologi di Pulau Sempu.
“Yang dikhawatirkan adalah dengan menurunkan status Pulau Sempu ini secara tidak langsung akan bisa dianggap sebagai penebangan hutan Sempu,” jelas Purnawan D. Negara perwakilan dari Aliansi Save Cagar Alam Sempu.
Diskusi dimulai dengan penjelasan kepemilikan dan jenis-jenis hutan. Kepemilikan hutan hanya dimiliki oleh Perusahaan Hutan Negara Indonesia (PERHUTANI), pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, dan sebagian besar hutan dimiliki oleh PERHUTANI. Hutan yang dimiliki Pulau Jawa yang paling luas yaitu hutan produksi, sedangkan hutan konservasi hanya berkisar dua persen.
Kecilnya Hutan Konservasi yang dimiliki Pulau Jawa menunjukkan hutan di Jawa sudah sangat kritis. Hal ini menjadi salah satu yang melandasi penolakan Pulau Sempu diturunkan statusnya.
Ia menambahakan kasus serupa juga pernah terjadi pada Pulau Nusa Barong di Jember, tanpa ada yang tahu tiba-tiba status yang awalnya cagar alam bisa turun statusnya. Bahkan kepala balai konservasi cagar alam saat itu tidak mengetahuinya, baru mengetahui dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).
Setelah Nusa Barong diturunkan statusnya dijadikan daerah tambang pasir besi. Kasus tersebut dikhawatirkan juga terjadi di Pulau Sempu, sehingga membuat aliansi bersikukuh menolak penurunan status.
“Hal ini yang membuat aliansi bersikukuh menolak penurunan status Pulau Sempu. Sempu harus bersih dari wisatawan, hanya boleh dimasuki dengan tujuan penelitian yang mendapat Surat Izin Masuk Kawasan Hutan Konservasi (Simaksi) dan kuotanya terbatas,” terang Purnawan.
Kekhawatiran penurunan status Pulau Sempu juga diungkapkan oleh Daniel Stephanus yang juga anggota Aliansi Save Cagar Alam Pulau Sempu.
“Masalah cagar alam yang menjadi tempat wisata ini memunculkan kekhawatiran kami, wisata itu masih bisa dikendalikan jika menggunakan prinsip ekowisata. Tapi bukan seperti itu, kami menangkap bahwa wisata itu hanya sebagai jalan masuk area tambang.” ungkap Daniel.
Daniel menambahkan apabila di Sempu masih belum diketahui dapat dijadikan penambangan, karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai bahan tambang yang terkandung. Akan tetapi hal tersebut sudah terjadi di Nusa barong, nantinya jika sudah dikembangkan sedemikian rupa, yang menikmati hanyalah investor dan penduduk lokal hanya akan menjadi penonton.
Salah satu dosen Biologi UIN Maliki, Bayu Agung Prahadika sudah merasakan perubahan yang terjadi di Pulau Sempu. Hal ini terjadi pada kunjungannya pada bulan Mei 2017 kemarin dalam rangka penelitian bersama para mahasiswanya.
Ia menuturkan bahwa untuk memasuki kawasan Pulau Sempu, ia harus mengurus simaksi langsung ke Surabaya sebanyak empat sampai lima kali. Namun, saat sampai disana ia malah menemukan beberapa rombongan wisatawan yang bebas masuk ke Pulau Sempu tanpa mengantongi Simaksi.
Selain itu, Bayu juga menjelaskan bahwa di Pulau Sempu telah terjadi perubahan pada pola perilaku hewan disana.
“Dari segi perilaku hewan saja sudah tidak alami, insting alami hewan jika ada ada manusia akan menjauh atau menyerang karena merasa terancam. Namun kondisi di Sempu saat ini seolah terbalik, kera malah datang mendekati manusia untuk memperoleh makanan dari manusia,” tutur Bayu.
Hasil dari penelitian yang didapatkan oleh Bayu dan timnya juga menunjukkan bahwa keanekaragaman serangga tanah di sepanjang area trackking dari Teluk sampai Segoro Anakan (laguna) bisa dikatakan rendah. Hal ini menjadi indikasi bahwa kualitas tanah di area trackking rendah. Ia berasumsi bahwa hal ini terjadi karena banyaknya wisatawan yang melalui area trackking. (wur/wnd/lta)