Lompat ke konten

Mencoba Adil dengan Bagi Hasil

ilustrasi (PERSPEKTIF, Elisabeth Katharina Sihotang)
ilustrasi (PERSPEKTIF, Elisabeth Katharina Sihotang)

Malang, PERSPEKTIF– Penerapan konsep kantin akademik halalan thayyiban yang telah disahkan oleh rektor pada tahun 2016 di lingkungan Universitas Brawijaya (UB), tidak hanya mengubah standarisasi makanan, namun juga hubungan usaha antara pedagang dengan UB, yang semula melalui sewa tempat, kali ini menjadi bagi hasil.

Suprayogi, Manajer Umum UB Kantin, menjelaskan bahwa bagi hasil merupakan uang pengganti dari sewa tempat, maka nanti pedagang wajib menyetor 17% ke pihak UB dari pendapatannya.

“Itu juga membantu para penyewa, namanya orang jualan tidak harus laku besar terus. Bisa jadi saat mahasiswa ujian atau libur, maka pendapatan turun, sehingga yang disetor ke UB sedikit. Tapi kalau ramai, yang disetor ke UB juga ramai. Jadi sesuai, win-win solution,” ungkap Yogi,  pada (22/3)

Senada dengan Yogi, Wakil Direktur Badan Usaha Non Akademik (BUNA)  menuturkan bahwa sistem bagi hasil telah disepakati bersama.

“Ada yang sewa, ada yang bagi hasil, kalau bagi hasil 17 % itu sesuai dengan peraturan rektor, dan telah disepakati bersama. Mereka harus ada Memorandum of Understanding (MoU) semua pedagang diundang pada 2016 diberikan sosialisasi, pelatihan serta pendampingan,” terang Anthon.

Suprayogi menjelaskan bagi hasil sendiri berlaku di kantin-kantin yang dikelola langsung di bawah UB Kantin, seperti Kafetaria Perpustakaan pusat, Kafetaria Koperasi Mahasiswa (Kopma), Pujasera, dan Citra Land (CL).

Namun di CL sistem bagi hasil belum dijalankan, karena masih dalam proses renovasi tempat. Setelah renovasi CL selesai dan pedagang telah menggunakan tenant-tenant yang disediakan, disana juga akan diberlakukan bagi hasil dan pembayaran terpusat.

Menurut Anthony dengan adanya bagi hasil diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pendapatan dari biaya kuliah mahasiswa. Biaya kuliah dapat ditekan melalui pendapatan yang berasal dari kantin.

Mahal Karena Bagi Hasil.

Mekanisme bagi hasil membawa dampak terhadap harga makanan. Sufi Chusnianingsih salah satu pedagang di Kafetaria UB (CL) menuturkan bahwa penerapan sistem bagi hasil akan berpengaruh pada harga makanan yang dijual di CL.

“Kalau di Kopma kata anak-anak lebih mahal dari di sini, mungkin menurut penilaian saya karena sistemnya bagi hasil. Mungkin di situ bedanya, pasti nanti  harganya akan lebih mahal,” tuturnya pada (27/3).

Hal serupa juga diungkapkan oleh pedagang lainnya yaitu Muhammad Ridwan, menurutnya sistem bagi hasil akan membuat pengeluaran semakin tinggi dan berdampak pada kenaikan harga makanan.

 “Jalan keluar kita hanya menaikan 17% dari nilai jual. Kalau biasanya makan misalkan sepuluh ribu berarti kita tambah sebesar seribu tujuh ratus dibulatkan jadi seribu lima ratus, totalnya 11.500 rupiah,” ungkap Ridwan pada (27/3).

Pramayshella Arinda Putri salah satu mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) saat ditemui awak Perspektif di kantin CL, beranggapan bahwa jika diberlakukan bagi hasil maka membuat harga akan semakin mahal.

“Kantin di UB sudah mahal, apalagi sekarang sistemnya bagi hasil, harga makanan mau jadi berapa. Kalau bagi hasilnya sebesar 17%, misalkan, pedagangnya di kantin dapat untung sedikit mereka mau ngantongin apa,” kata Shella pada (27/3)

Shella juga menambahkan lebih baik sistem sewa pertahun, karena dari sisi ekonomi menurutnya sistem bagi hasil kurang efektif. Apabila pedagang dalam sehari tidak laku sama sekali, maka tidak ada yang dapat disetorkan ke rektorat.

Menanggapi hal tersebut, Suprayogi mengaku sistem bagi hasil juga masih dalam proses peninjauan ulang, supaya tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Saya kasih tahu, bahwa kami masih dalam proses untuk meninjau ulang tentang sistem bagi hasil tersebut supaya tidak menjadi temuan BPK, tidak merugikan UB tapi tetap menguntungkan penyewa dan memberikan harga yang layak bagi mahasiswa,” aku Yogi

Berlakunya sistem bagi hasil, juga berpengaruh pada sistem pembayaran menjadi terpusat. Pembayaran tidak lagi dilakukan pada masing-masing pedagang, melainkan pada satu kasir secara terpusat.

“Biasanya orang-orang datang rombongan, kalau misal sistemnya kasir, akan ada antrean dalam pengambilan nasi, pembayaran, dan mengambil kembali itu ribet. Kalau sudah ribet anak-anak jadi malas” tutur Ridwan

Ridwan juga menambahkan apabila sistem terpusat maka kasirnya harus banyak, jika terdapat lima belas tenant setiap lima tenant satu kasir masih efektif. Kalau kasirnya hanya satu maka pembeli akan mengalami kesulitan.

Hal tersebut juga diakui oleh Shihabudin Wakil Rektor II UB, Shihabudin mengatakan bahwa pembayaran terpusat tidak efektif.

“Terus terang saya melihatnya juga seperti itu, ribet, enak bayar langsung,” pungkasnya pada (20/3). (wur/lta)

(Visited 556 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?