Malang, PERSPEKTIF – Penayangan film ‘Surat Dari Praha’ yang diproduseri oleh Glenn Fredly dan Visinema Pictures masih menyimpan permasalahan terkait dugaan plagiasi. Sebab, film ini memiliki banyak kesamaan dengan buku berjudul sama yang ditulis oleh seorang pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) Yusri Fajar dan diterbitkan tahun 2012 lalu.
Garis besar cerita kedua karya ini mengisahkan eksil mahasiswa Indonesia yang dikirim presiden Soekarno ke Praha yang ketakutan kembali ke Indonesia pasca tragedi ’65. Alhasil, mahasiswa eksil ini hanya bisa berkomunikasi dengan keluarganya melalui surat.
Ketika ditemui PERSPEKTIF di UB Hotel Kamis (27/1) lalu, Yusri mengatakan dirinya cukup kaget ketika rekannya mengabarkan bahwa bukunya akan difilmkan. “Waktu itu rekan menelepon dan mengabarkan soal ini. Terang saja saya cukup kaget, sebab belum ada pembicaraan sama sekali dengan produser film,” akunya.
Meskipun sempat mengadakan pertemuan dengan Visinema Pictures pada 9 Agustus 2015, Yusri mengaku belum ada titik temu antara dirinya dengan produser. Ada beberapa hal yang dirasa Yusri belum cukup jelas. Misalkan, kesamaan judul dan garis besar cerita antara buku saya dan film itu. “Kami masih mempertanyakan mengapa sampai terjadi kesamaan judul dan garis besar cerita antara buku saya dan film itu,” ujar pria asal Banyuwangi ini.
Terkait dengan langkah-langkah yang akan diambil, Yusri akan melakukan upaya untuk memperjuangkan karyanya melalui jalur hukum. Untuk itu dia membentuk tim hukum yang terdiri dari beberapa rekannya di Fakultas Hukum (UB) untuk menangani kasus ini dan siap melayangkan somasi kepada produser film.
Polemik yang kontraproduktif
Berselang enam hari sejak pemutaran perdana film ini Jum’at (28/1) lalu, dua filmmaker-nya menyambangi Malang. Sutradara Film, Angga Dwimas Sasongko dan penulis script Surat Dari Praha Irvan Ramli yang di sela-sela kesibukannya menyempatkan mampir ke Malang pada Rabu (3/2) kemarin. Kedatangan mereka ke Malang dalam rangka Nonton bareng dan diskusi tentang film yang telah mereka garap itu.
Pada hari itu, jam kedua (14.30) pemutaran film di bioskop XXI, di-booking oleh pihak panitia Visinema pictures. Para penonton Malang saat itu tidak mengeluarkan sepeser pun uang untuk menonton. Alhasil antrian panjang berderet di depan pemesanan tiket.
Sementara itu, Angga merasa bahwa ide pembuatan film itu tidak berasal dari buku tersebut. Ia mengatkan bahwa ide film ini sudah ada pada tahun 2011, saat pembuatan film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku. Ia menambahkan bahwa cerita eksil pun tidak asing dengan dirinya.” Om saya dulu eksil Praha,” katanya ketika diskusi di Lavoz.
Angga merasa bahwa polemik yang ada ini sangatlah kontraporduktif. Karena ia merasa tidak pernah menerima gugatan somasi, sehingga ia tidak tahu harus merespon bagaimana. “pasal apa yang dituntut, pun saya tidak tahu,” katanya pada peseta diskusi.
Kemudia ada sebuah petisi di change.org yang pada saat itu telah ditandatangani sekitar 40 orang. “ketika petisi keluar, stakeholder terganggu. Ini tidak malah menambah penjualan film, malah menguras energi,” aku Angga. Hal itu pun menyebabkan ia tidak sempat menghitung jumlah penonton di bioskop, sesuatu yang sebelumnya dilakukan.
Melihat permasalahan ini, Irvan mencoba berkomentar. “Melihat susuatu itu prosesnya harus panjang.” Data yang mereka peroleh pun adalah hasil dari validasi langsung ke Praha.
Melihat polemik yang menimpa film karyanya, rabu siang (3/2) sebelum acara nobar di bioskop Angga Dwimas Sasongko sempat bertemu dengan Yusri. “Pertemuan tadi siang berlangsung kondusif dengan Pak Yusri. Ia menambahkan bahwa ia tidak mau ada polemik di media. “akan ada dialog lanjutan, kita masih ingin elaborasi,” ujar Pria berkacamata itu. Ia pun meminta agar media cooling down dulu.
Pemutaran film dan diskusi yang digratiskan ini mengundang tanda tanya. Hal ini tidak terlepas dari polemik yang terjadi terkait dugaan plagiasi. Banyak kalangan menilai pemutaran gratis ini adalah bagian dari strategi pasar dan strategi menghindari polemik yang berkelanjutan. Dalam diskusi bertajuk “Adaptasi Sastra Ke Film dan Problematikanya” di Kalimetro Rabu (3/2) salah satu pegiat sastra Kota Malang Deny Mizhar pun turut mempertanyakan polemik ini. “Apakah polemik ini adalah bagian dari sumber ekonomi? Kenyataannya begitu, polemik diciptakan sehingga laku,” ujarnya.
Masuknya logika pasar pada setiap karya pun tak lepas dari kritik. Karya tak lagi dibuat untuk tujuan memberi pengetahuan baru mengenai sesuatu, melainkan dibuat untuk memenuhi tujuan mencari keuntungan. Dalam industri kreatif belakangan ini, profit dijadikan motif utama pembuatan karya.
Adaptasi film dari karya sastra adalah hal yang wajar selama ada kredit atau apresiasi yang diberikan pada pembuat karya sebelumnya. Misalkan, film ‘Sang Penari’ yang dibuat berdasarkan adaptasi ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ karya Ahmad Tohari pun tak luput mencantumkan apresiasi. Minimal penyebutan dan pengakuan bahwa karya telah dibuat seseorang sebelumnya.
Ada etika akademis yang jelas-jelas mengatur bagaimana plagiasi dapat terjadi. Pengkaji budaya dan pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Mundi Rahayu menilai adaptasi sastra ke film akan mengalami banyak perubahan. Misalkan soal narasi, tafsir teks dan kemudian visualisasi tak bisa seratus persen sama dengan karya aslinya adalah hal yang wajar. Namun dia menegaskan satu hal yang tidak bisa ditoleransi adalah tindakan plagiasi atau jiplakan. “Minimal ada kredit yang diberikan pada pembuat karya sebelumnya,” tegas Mundi. (ade/rip)