Lompat ke konten

Makan Malam Bersama Bulan

Illustrator: Naura Thabina

Oleh: Nur Chandra Ulfayah*

Suara percikan minyak yang menyentuh daging ayam berbalur telur dan tepung itu begitu menggugah. Satu per satu potongan ayam dimasukan ke wajan. Begitu warna bagian bawah potongan ayam berwarna coklat keemasan, perempuan setengah baya dengan rambut sebahu itu membalik ayam yang dimasaknya menggunakan spatula. Sembari menunggu ayam goreng kesukaan suaminya, ia menyiapkan sayuran; bayam dan jagung manis. Perlahan tapi pasti, ia buatkan bening bayam dengan tambahan jagung manis itu untuk anak laki-laki semata wayangnya yang masih berusia 4 tahun. Hari sudah cukup gelap saat ia memasak, anak dan suaminya tengah bermain kuda-kudaan di ruang tengah. Suara asyik mereka saat bermain sampai terdengar nyaring di dapur.

Aku sempat bergumam, betapa menyenangkannya memiliki keluarga. Apalah artinya aku yang berusia singkat, bahkan aku harus berpisah dengan teman dan keluargaku yang lain di kebun petani dan menjadi santapan manusia seperti Cahya, suami dan anaknya. Sayur bayam sepertiku mungkin hanya akan berakhir menjadi kotoran, keringat atau air liur. Paling tidak aku berada di tangan yang tepat. Cahya begitu terampil memasak, sampai anak dan suaminya begitu semangat melahap habis makanan yang tersedia. Meskipun berakhir menjadi kotoran, aku sudah bermanfaat bagi orang lain. Kotoran manusia pun mungkin masih ada manfaatnya.

“Makan malam sudah siap.” ucap Cahya begitu semangat. Suami dan anaknya pun tergesa-gesa sampai dulu di meja makan.

“Hore, aku sampai duluan”. Bintang begitu biasa anak laki-laki itu dipanggil oleh orang tuanya tertawa cekikikan dengan gembira. Anak itu duduk tepat di sebalah kanan ibunya. Yang masih menyiapkan piring untuk makan malam mereka.

“Duduklah yang tenang, nanti ibu ambilkan makannya.” Mendengar nasihat ibunya itu, Bintang seketika duduk dengan manisnya sembari melipat kedua tangannya di atas meja seperti anak TK yang sangat ingin pulang lebih awal karena duduk paling rapi.

“Ibu, nanti aku makan di teras ya.” Kedua orang tua Bintang terkejut mendengar perkataan anaknya yang menggemaskan itu. Tatapan keduanya penuh heran dan bingung.

“Loh, kenapa makan di teras? Kan disini makan bareng-bareng sama ayah juga ibu. Bintang gak mau makan bareng ayah-ibu?”

Bintang kebingungan menjawab pertanyaan ibunya itu. Dia sudah lama memberikan kucing yang hampir setiap malam mampir ke teras rumahnya tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya. Biasanya ia memberi makan kucing itu selepas ia makan malam. Kucing yang ia beri nama Bulan itu berwarna putih gading dengan loreng oranye di belakang leher dan kedua sisi perutnya. Sejak bertemu Bulan, Bintang tidak pernah menghabiskan makan malamnya. Sisa dari makanannya selalu ia berikan ke Bulan. Ia tidak berani meminta uang kepada orang tuanya sekedar untuk membeli makanan kucing untuk Bulan. Namun, kalau dipikir-pikir ia juga tidak tega jika selalu memberikan makanan sisa untuk kucing kesayangannya itu. Dan malam ini ia memutuskan untuk makan bersama dengan Bulan, namun keputusan itu rasanya akan batal.

“Hmm, tidak jadi. Bintang makan disini aja… bareng sama ayah juga ibu.”

Cahya mengelus lembut ubun-ubun anaknya penuh gelagat itu. Sepertinya ia paham betul ada yang disembunyikan Bintang, ekspresi penasaran terpasang di wajahnya.

Tubuhku mulai mendarat di piring berisi nasi milik Bintang. Uap panas mengepul, aroma bawang putih dan jagung manis begitu terasa nikmat di hidung. Bintang cukup lama memandangi sepiring makan malam di hadapannya. Meski sudah memegang sendok di tangan kanannya, ia  tidak juga segera menyuap makan malam ke mulutnya.

“Bintang, ayo dimakan. Nanti keburu dingin.” Rahman juga tampaknya gelisah melihat anaknya yang tidak segera makan. Sudah hampir setengah porsi hidangan di piring ayahnya habis, Bintang masih bergeming.

“Bin…” belum tuntas Cahya memanggil anaknya, Bintang sudah bergegas beranjak turun dari kursi sambil membawa hidangan makan malam dengan kedua tangannya. Ia membawa makan malamnya ke teras rumah.

Kucing kecil itu ternyata sudah di teras rumahnya. Bulan tengah tengkurap dengan kedua kaki depan menjulur ke depan. Saat Bintang muncul dihadapannya sembari membuka pintu, Bulan langsung berlari ke arah Bintang. Makan malam yang dibawanya ditaruh begitu saja di lantai, Bintang ingin sekali mengelus lembut Bulan sebelum memberinya makan.

“Kau sudah lapar ya? Ku bawakan sayur bayam untukmu. Ku harap kau suka, ini makanan kesukaanku loh.” Bintang duduk bersila dengan Bulan di pangkuan, makan malam yang dibawanya ia pindahkan ke hadapannya. Upaya anak ini perlu diapresiasi.

“Tulus sekali dirimu Bintang, kau sangat peduli dengan kucing ini.”

“Terimakasih, ku rasa tidak ada salahnya memberikanmu pada Bulan. Dia pasti suka.” Duhai senangnya, Bintang membalas pujianku.

“Di saat orang-orang di luar sana membuangku, kau berusaha sebisa mungkin tidak menyia-nyiakanku.” Bintang sedikit demi sedikit menyuap makan malam ke mulutnya, sesekali ia memberikan potongan kecil ayam pada Bulan.

“Ibuku bilang ‘tidak baik membuang makanan, masih banyak orang yang membutuhkan makanan dan mereka kesulitan mendapatkan makanan. Menghabiskan makanan adalah tanda kita menghargai makanan. Baiknya makanan itu kita makan secukupnya, selebihnya diberikan pada mereka yang membutuhkan, jadi mereka tidak perlu makan makanan sisa. Mereka bisa makan enak seperti kita’.”

Ah, kuat sekali ingatan Bintang. Karena aku itu pastinya, haha. “Ibumu benar Bintang. Sungguh menyenangkan bisa melayani manusia. Aku bisa membuat orang kenyang dan bahagia. Mereka bisa melakukan aktivitas penuh semangat ddan berbuat kebaikan untuk orang lain. Aku sangat khawatir aku akan berakhir di tempat sampah. Beruntungnya aku bertemu keluargamu, aku merasa dihargai. Aku begitu bahagia karenanya.”

“Terabaikan itu memang tidak menyenangkan. Saat ibuku pergi bekerja seharian dan tidak ada teman bermain aku sangat kesepian. Andai aku bisa bertemu Bulan sepanjang hari dan setiap malam, setidaknya Bulan bisa menemaniku bermain di rumah sambil menunggu ayah dan ibu pulang bekerja.”

Bintang berharap cemas, akankah ibunya mengizinkannya memelihara kucing kesayangannya itu. Ia masih sambil menyuapi potongan ayam yang entah sudah ke berapa kali ke mulut Bulan. Tangannya sesekali mengelus lembut ubun-ubun Bulan. Ia bahkan tak peduli apakah tubuh Bulan bersih atau kotor, asal ia dapat bertemu Bulan dan memberinya makan itu sudah kebahagiaan tersendiri baginya.

“Kadang orang menyalahkan makanan yang tidak enak, lalu orang yang memasaknya dicaci maki habis-habisan. Makanan itu akhirnya terbuang percuma dan menjadi sebab orang merasa tertekan. Sungguh itu tidak menyenangkan sama sekali. Tapi, ibumu sangat pandai memasak, kau pun begitu lahap menyantap masakan buatan ibumu. Kau senang, ibumu pun senang. Sama seperti kau menjaga Bulan. Kau pasti senang bertemu Bulan yang menjadi temanmu bermain dan Bulan juga pasti senang karena akhirnya ada yang memberinya makan.”

“Sepertinya Bulan juga kesepian.”

“Sekarang tidak Bintang, kau sekarang temannya. Kau katakana saja pada ibumu kau akan memelihara Bulan. Apapun bila berada di tangan dan tempat yang tepat, ia akan baik-baik saja. Jadi, kau jagalah bulan baik-baik.”

“Tentu saja.” Senyumnya merekah. Belum pernah ku lihat Bintang tersenyum selebar itu. Bulan akan segera menjadi miliknya.

Tibalah pada suap terakhir, saat aku sudah sepenuhnya menjadi bagian dari tubuh Bintang.  dari dalam sini, aku masih mampu mendengar dan melihat dengan jelas dunia Bintang di luar sana.

“Disini ternyata, ibu sama ayah tunggu Bintang daritadi.” Cahya muncul dari balik pintu memandangi anaknya yang malam-malam sendirian di depan rumah. Bintang segera berdiri menghadap sang ibu sembari merangkul Bulan dan menunjukkan kucing calon peliharaannya pada ibunya.

“Ibu, aku mau pelihara Bulan.” Cahya memperhatikan kucing yang dirangkul Bintang dengan seksama. Kucing itu bernama Bulan, pikirnya. Ia pun melihat piring kosong tergeletak di lantai tepat di samping belakang Bintang berdiri, Bintang makan malam bersama Bulan.

“Iya boleh, besok ibu belikan makan buat Bulan ya.” Ucap Cahya sembari sedikit membungkuk, menatap erat wajah anaknya.

“Horeee”. Ucapan semangat Bintang membuat Cahya tersenyum. Ia pun menuntun anaknya masuk ke dalam rumah. Tak lupa, Cahya mengambil piring kosong tempat makan malam Bintang.

Aku kini sudah mendarah daging dalam tubuh Bintang. Aku ada di penglihatannya, pendengarannya, dan semua anggota gerak tubuhnya. Aku bisa merasakan kebaikan yang dilakukannya. Kini, setiap makan malam tidak hanya ada Bintang, Cahya dan Rahman.

Makan malam begitu hangat dengan bertambahnya anggota keluarga, Bintang. Kucing itu kian tumbuh besar. Ia turut ikut makan malam bersama Bintang dan kedua orang tuanya, meski agak sedikit berjauhan dari meja makan tempat ketiganya berkumpul. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih telah menghargaiku, teruslah berbuat baik, aku akan terus bersamamu di dalam tubuhmu.

*)Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2017 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Litbang LPM Perspektif.

(Visited 188 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?