Lompat ke konten

Babak awal: Teka-Teki Perasaan Seorang Napi

Ilustrasi oleh Fizza Aqilla
Ilustrasi oleh Fizza Aqilla
Oleh: Fadya Choirunnisa *

Apakah dirimu tau bagaimana menjadi orang yang paling tidak berguna, rasanya matipun tidak akan ada yang berpengaruh dan dunia tidak merasakan perubahan bahkan kehilangan. Hanya sebagai sampah masyarakat yang menjadi benalu, hanya banyak bicara tanpa bergerak. Rasanya begitu gila ketika pikiran sudah mulai melayang layang tak tau mau dibawa kemana? Yang paling menyebalkan adalah bagaimana bisa selalu hal-hal yang tak masuk akal yang aku pikirkan? Ingin rasanya mengutuk pikiran ini dan membawanya pergi ke tengah laut.

Kau tau bagaimana aku bisa bertahan? hanya harapan yang aku andalkan. Aku setiap jam 09.30 pagi selalu melihat kearah jendela sambil mendengarkan radio yang diputar pada speaker di lapangan luar kawasan penjara. Suaranya terdengar sampai bilikku memberikan sebuah satu-satunya penghiburan sekaligus harapan itu. “Semoga masih ada dunia lain yang kutemui setelah keluar?

****

Hal itu tidak pernah menjadi suatu traumatis, karena dulu aku masih tidak mengerti apapun. Orang itu tidak pernah melakukan penekanan terhadapku dan aku mengenalnya sebagai orang baik, tapi itu dulu. Orang itu sudah mati sekarang, tanpa aku dengar permintaan maafnya. Sebelum aku bercerita pada seseorang, tapi hal itu menjadi pikiran yang sangat mengganggu dan benar-benar tidak pernah terlupakan. Memang aku selalu berusaha tidak pernah memikirkannya lagi. Namun, perasaan menjijikkan selalu datang menghantui, membuatku sedih hingga mempengaruhi. 

Pecundang menjijikkan.

Tidak berhenti dari situ aku dapat persoalan yang sama dengan orang-orang yang berbeda. Mereka melakukan semuanya dengan rasa bangga sambil memberikan senyum remeh. Para brengsek sialan dia yang jadikan aku bahan lelucon setelah melakukan itu. Sialan kamu, yang dengar dari orang lain! Sampai sekarang tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Membalasnya atas waktu itu juga tidak ada gunanya.  Pasti aku adalah pihak yang dipermalukan nanti, bukan mereka. Anjing, kalian dengan semua perkataan kotormu yang menjijikan, terhadapku- Anjing, aku bahkan tidak ada pernah berbuat salah terhadap kalian. Sangat ingin aku merobek mulutmu ketika bercanda akan hal itu. Terhadapku- didepan teman-temanku, kalian yang tidak ingin aku temui lagi. Dipikir itu hanya bahan candaan, tapi buatku itu adalah sebuah hal yang menyakiti secara perlahan-lahan, membuat sayatan mendalam tak berujung.

Setiap melihat ekspresi bodohmu, ingin muntah rasanya jika mengingat. Dasar para bajingan goblok!

****

Mau tau tentang seseorang yang dekat denganku tapi dia berbohong atas apa yang dia lakukan. Dia pikir aku bodoh ya? Hei, mukamu dengan jelas berbicara kalau kau melakukannya, tapi bagaimana sekarang tak bisa aku marah kepadamu!

Kamu yang sudah tidak  berdaya, mungkin dengan penderitaanmu sekarang kamu sudah lupa telah menodaiku.

Sebuah surat aku tuliskan pada buku yang terlipat pada laci tahanan –

Tidak pernah bisa aku menyalahkan mereka, bodoh ya? Sekarang hanya aku yang harus mengingat semua itu sendiri, hanya berharap keadilan Tuhan yang mutlak. 

Maafkan aku yang sudah menulis ini tanpa bisa menghapusnya

Maafkan aku dengan semua tindakan pengecut. Bukan aku seorang yang naif, tapi aku hanya terlalu pengecut, tidak bisa membela diri sendiri waktu itu. Malu aku dengan perempuan itu. 

Malu teramat sangat!

****

Aku hanya ingin melepaskannya saja, sekali saja apapun itu, tanpa menyakiti siapapun. Namun, bukan berarti kalian yang harus membusuk disini. Kalian berkali-kali memberikan dosa di atas tubuhku. Hanya sekali aku menyentuh kalian, tapi berakhir di sini mendengarkan radio jam 09.30 siaran rohani. 

Bersambung…

(Visited 131 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya angkatan 2020. Saat ini sedang aktif sebagai anggota di Divisi Sastra LPM Perspektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?