Berada di tengah era globalisasi, Indonesia tidak luput dari efek yang timbul akibat terjadinya Revolusi Industri 4.0, yang mana perkembangan teknologi tumbuh dengan sangat pesat khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Pertumbuhan teknologi komunikasi tersebut mempengaruhi laju keluar dan masuknya arus informasi keluar ke berbagai lapisan masyarakat dari berbagai strata, usia, dan latar belakang. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan adanya cyber-fisik (data dunia dari nyata dianalisis dalam medium cyber), internet, komputasi awan, dan komputasi kognitif.
Semua kemajuan tersebut akhirnya membuat komunikasi jarak jauh dan proses memperoleh informasi dapat dilakukan lebih mudah sehingga mengakibatkan pertumbuhan pengguna internet semakin cepat. Hal ini pun berpengaruh terhadap penyebaran dan penangkalan informas–informasi negatif melalui internet maupun media digital oleh masyarakat Indonesia, serta menjadi tantangan bersama untuk menyiapkan generasi muda yang memiliki kompetensi digital.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang cukup masif ini juga akhirnya memudahkan penyebaran radikalisme. Perlu diketahui bahwa radikalisme merupakan sikap dan tindakan dari individu atau kelompok yang menginginkan perubahan drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau ekstrem, tapi bertentangan dengan sistem yang berlaku. Radikalisme yang mengarah pada terorisme sebenarnya bukan masalah yang baru, melainkan telah terjadi pada awal perkembangan agama-agama dunia. Kelompok ini salah dalam memahami agama sehingga mengarah pada radikalisme. Penyebabnya sebagian karena pemahaman agama yang sempit dan dangkal sebab lainnya karena menggunakan agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau politik.
Keberadaan radikalisme ini sulit dideteksi, terlebih di era teknologi informasi dan komunikasi ketika internet menjadi alat bantu utama dalam melancarkan aksinya. Para kaum radikal dapat menyebarluaskan informasi lewat media baru untuk menjalankan aktivitas propagandanya. Mereka menerapkan sistem adu domba lewat penyebaran berita hoaks bernuansa penghasutan, kebencian, permusuhan, dan ajakan kekerasan.
Baca Juga:
Mahasiswa Ditangkap Densus 88: Kerumpangan Penanggulangan Terorisme di UB
Media Digital sebagai Instrumen dalam Penyebaran Paham Radikalisme
Radikalisme semakin berkembang dari berbagai sisi, baik sebagai pemahaman, background dari aksi, maupun destinasi aksi. Era digitalisasi terlebih pada media sosial, membuat keterbukaan informasi digunakan sebagai wadah dalam penyebaran proses tersebut yang berlanjut pada tindakan terorisme. Dalam hal ini, masyarakat termasuk generasi muda diharapkan menghilangkan sikap apatis dan dapat lebih aktif dalam literasi serta mencari validasi lebih dalam dari sebuah informasi.
Era digital menjadi sebuah pintu masuk baru dalam penyebaran pengetahuan tentang radikalisme karena kebebasan informasi yang disajikan dapat menyabarkan tujuan baik atau buruk juga sama-sama bisa diakses oleh masyarakat umum. Sebagai contoh untuk menyebarkan ide gagasan, mempengaruhi orang lain, dan berkomunikasi. Hal ini dapat dimanfaatkan kelompok radikal internal untuk dijadikan salah satu instrumen dalam menyebarkan radikalismenya. Selaras dengan ini, Bruce hoffman (2006) dalam The Use of The Internet by Islamic Extremists menjelaskan internet sebagai sarana efektif bagi kelompok radikal untuk mempromosikan “dialektika global” dimana kebangkitan, kesadaran, aktivisme, dan radikalisasi dapat dirangsang di tingkat lokal serta dimobilisasi kepada proses yang lebih luas melalui protes dan perbedaan pendapat.
Secara garis besar penggunaan internet oleh kelompok teroris dikategorikan menjadi 2 jenis yakni: cyber terrorism adalah penggunaan internet dengan tujuan ‘merusak’ seperti menyerang, menyakiti seseorang atau properti dengan menyebarkan virus, intervensi konten, atau diselipkan pesan pesan radikal dalam beberapa situs. Yang kedua adalah propaganda online yang bertujuan untuk media komunikasi dalam kepentingan terkait, radikalisasi dan perekrutan.
Sehubungan dengan hal ini. Raul Rick dalam booklet yang berjudul National Cyber Security Index 2018 menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke 83 dengan indeks keamanan siber sebesar 19,48 dan memiliki pertumbuhan digital sebesar 50,22, sehingga gap yang ada adalah (-30,74). Hal ini menunjukan pertumbuhan masyarakat digital Indonesia yang besar tidak diimbangi dengan keamanan siber nasionalnya, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan digital masyarakat Indonesia masih sangat kurang untuk dapat membangun keamanan siber yang baik.
Douglas A. J. Belshaw (2012), seperti yang disadur dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan bahwa ada delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital, yaitu: (1) Kultural (2) Kognitif dalam menilai konten (3) Konstruktif (4) Komunikatif (5) Percaya diri dan bertanggung jawab (6) Kreatif (7) Kritis (8) Bertanggung jawab secara sosial. Hal ini berarti penguasaan literasi digital memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan penguasaan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung untuk melindungi diri sendiri dari konten-konten negatif di dunia digital.
Langkah Penanganan terhadap Radikalisme
Radikalisme di Indonesia ada dua, yaitu negatif dan positif. Adapun radikalisme positif bila memahami arti dari radikalisme seperti kata radik yang artinya akar dan bermakna sekelompok orang yang berprinsip pada normatif secara hal paling dasar, lalu berlanjut ke contoh dan penerapan seperti mengajak masyarakat membangun negara dengan menekankan nilai gotong royong, bela negara, belajar tekun, dan melestarikan kearifan lokal. Singkatnya selama paham tersebut digunakan dalam ranah mempertahankan negara atau tidak digunakan pada hal yang bersifat mengancam maka bisa dikatakan positif.
Radikalisme negatif berarti menganggap diri dan kelompoknya paling benar sedangkan orang lain diluar kelompoknya salah. Menyalahkan, mengkafirkan mengucilkan dan semacamnya. Jadi validasi dan klarifikasi terkait hal tersebut. Contoh hal-hal ini meliputi intoleransi, anti NKRI, anti Pancasila, dan paham takfiri. Salah satu lahan subur radikalisme saat ini adalah aparatur sipil negara (ASN) dan BUMN yang diduga terlibat terorisme. Sebagai contoh, kasus penangkapan seorang pegawai BUMN terkait dengan Bom Medan pada tahun 2019 lalu (suara.com).
Strategi pencegahan aksi radikalisme digital melalui salah satu model program Pandu Digital, dimana upaya kontra radikalisasi ditingkatkan dengan kemampuan sumber daya masyarakat akan kemampuan literasi digital, khususnya 4 kemampuan utama, yakni komunikasi, kemampuan untuk memilih dan menyaring informasi, memahami budaya dan lingkungan sosial, berpikir kritis dan evaluasi. Lalu meningkatkan kemampuan literasi digital masyarakat yang terhubung dengan media digital agar masyarakat memiliki kemampuan literasi digital yang baik sehingga mampu menggunakan dan mengevaluasi teknologi digital dengan kritis konten digital dan peningkatan kemampuan parenting dalam era digital untuk mencegah aksi radikalisme. Level tertinggi tercipta pada level ini sasaranya adalah individu, tokoh, pegiat, praktisi, pakar internet yang karyanya memberi pengaruh yang signifikan terhadap pencegahan aksi radikalisme di Indonesia.
Pada tahap pencegahan represif radikalisme juga bisa dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor, terutama di bidang pendidikan dengan menanamkan ajaran agama yang ideal berorientasi pada substansi dan praktek tindakan secara nyata dan jangan lupa harus jauh dari perilaku ekstrem. Masyarakat Indonesia yang agamis setelah era reformasi menunjukkan gejala akut radikalisme di masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh meningkatnya intoleransi, fanatisme berlebihan dalam beragama, mengikisnya identitas dan patriotisme berbangsa, dan bahkan melibatkan tindakan kekerasan yang membahayakan masyarakat.