Kalau berbicara masalah identitas bangsa, hal pertama yang akan dibahas adalah bahasa. Setelah itu baru akan dibahas masalah bendera, lambang negara, dasar negara, kebudayaan, dan lain-lain. Bahasa menjadi sesuatu yang sangat penting posisinya dalam menjadi identitas suatu bangsa. Tidak hanya dalam bertutur kata atau berbicara, namun bahasa juga penting dalam dunia sastra. Dalam bertutur kata atau menulis sebuah teks, seseorang akan dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan atau kebudayaan tempat yang ia tinggali. Misalnya, ketika seseorang tinggal di daerah dengan cara berbicara yang lugas dan tanpa basa-basi, maka akan secara langsung berdampak pada cara penyampaian ucapannya, dan begitu pula sebaliknya.
Namun, muncul satu pertanyaan pada diri saya mengenai bahasa, kebudayaan, dan identitas suatu bangsa. Sepenting itukah peran bahasa dalam menentukan identitas bangsa? Bahkan sampai suatu teks akan dapat dikategorikan menjadi teks suatu negara berdasarkan bahasa yang digunakan di dalamnya.
Dalam pencarian jawaban, saya menemukan beberapa contoh produk teks terjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Sebagai contoh teks sastra terjemahan. Teks sastra terjemahan merupakan teks tersendiri yang terlepas dari bahasa sumber atau bahasa aslinya. Teks tersebut sudah berbeda dari teks sastra aslinya. Teks terjemahan merupakan rekonstruksi penerjemah dari teks bahasa sumber yang ia baca. Seandainya semua bahasa di dunia memiliki sistem yang sama, maka menerjemahkan bukan lagi menjadi tugas yang sulit dilakukan. Begitu juga dengan konsep pemadanan makna, akan menjadi hal yang sepele.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya akan menjelaskan pengertian bahasa dan penerjemahan terlebih dahulu. Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Sedangkan, penerjemahan berasal dari kata “terjemah” yang mendapat imbuhan “pe-“ dan “-an” yang bermakna proses. Penerjemahan adalah proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tujuan dari penerjemahan adalah untuk membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan atau amanat yang dimaksudkan oleh penulis asli teks tersebut.
Menurut saya, jika ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya maka secara tidak langsung seorang penerjemah akan turut serta dalam proses alih budaya. Seorang penerjemah dituntut untuk memiliki kemampuan sastra, kepekaan seni, serta memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman terhadap karya-karya estetik. Hal ini disebabkan oleh adanya unsur ekstrinsik yang sangat mempengaruhi pemaknaan teks sastra dalam bahasa asing. Bahasa juga memiliki fungsi komunikatif, yang karenanya manusia diharapkan memiliki kemampuan dan keinginan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan bahasa asing. Kemampuan tersebut menurut saya sangat dibutuhkan dewasa ini karena bangsa-bangsa telah dituntut untuk saling berkomunikasi, baik dalam menjalin kerja sama di bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya.
Dalam membaca teks terjemahan akan banyak dijumpai beberapa manfaat atau nilai positif, diantaranya kita akan mendapat banyak sekali pengetahuan-pengetahuan tentang suatu negara, informasi-informasi yang secara tidak langsung disampaikan penulis dalam karyanya. Misalnya, ketika kita membaca sebuah teks terjemahan dari Bahasa Perancis maka tanpa sengaja kita akan dibuat ikut merasakan suasana kehidupan di sana. Saya merasa sedikit punya bayangan tentang bangsa, kebudayaan, dan pola hidup di Arab setelah beberapa kali diminta dosen untuk menganalisis teks sastra Arab.
Membaca teks terjemahan juga akan membuka pemikiran kita mengenai sudut pandang dan perbedaan imajinasi dari bangsa lain. Karya sastra terjemahan sangat berperan dalam menembus batas-batas perbedaan dan identitas, menembus batas-batas kebudayaan, serta batas-batas geografi. Sehingga, tanpa bepergian ke suatu negara kita sudah bisa membayangkan kehidupan di sana. Mungkin inilah maksud dari pepatah ‘dengan membaca dunia akan berada di genggamanmu’. Sayang sekali masih banyak anak muda yang mengesampingkan makna pepatah tersebut dan lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan saja tanpa mempedulikan informasi yang bisa didapat dari membaca.
Setelah membaca beberapa jurnal tentang praktik penerjemahan karya sastra, saya menyimpulkan terdapat dua proses penerjemahan. Yang pertama adalah mempelajari leksikon, gramatikal, dan konteks budaya dan bahasa sumber. Yang kedua adalah mengungkapkan kembali makna atau pesan teks asli ke dalam bahasa sasaran dengan kata atau kalimat yang mudah dipahami oleh reseptor. Di awal saya sudah mengatakan, bahwa teks sastra terjemahan adalah teks tersendiri yang sudah berbeda dari teks sastra aslinya. Teks sastra terjemahan merupakan produk rekonstruksi penerjemah.
Dalam sejarahnya, proses penerjemahan awalnya dilakukan dengan menggunakan bantuan kamus. Lalu, ilmu teknologi berkembang dan mesin-mesin penerjemah diciptakan. Salah satunya adalah layanan Google Translate. Akan tetapi, menurut saya keakuratan hasil terjemahan Google Translate perlu dikaji lebih lagi. Google hanya menerjemahkan kalimat secara “kasar” dari bahasa sumber. Misalnya, pengalaman pribadi saya sendiri ketika akan menerjemahkan teks Bahasa Arab.
وهي نصيحة ثمينة لإبن سينا ينصحُ فيها المرين الذين يريدون إختيار…
Kesalahan penerjemahan kalimat di atas adalah kesalahan dalam membaca kalimat ينصحُ yang seharusnya dibaca “Yanshohu”. Pada masalah ini, penerjemah atau Google salah menempatkan kata tersebut menjadi kata kerja pasif atau Al-Fi’lu Al-Majhul yang diterjemahkan menjadi “dinasihati”. Sehingga menghasilkan terjemahan :
“Yaitu nasihat berharga dari Ibn Sina. Dinasihatkan baginya untuk para pengasuh/para murabi yang menghendaki pilihan…”
Padahal terjemahan sebenarnya ialah, “itulah nasihat berharga dari Ibn Sina. Dalam nasihatnya, Ibn Sina menasihati para pendidik yang hendak memilihkan pekerjaan bagi…”
Selain itu, saya sebagai mahasiswa jurusan Sastra Arab, masih sering sekali mengalami kekeliruan penerjemahan teks. Entah dikarenakan ambiguitas makna kata atau karena kesalahan semantik. Misalnya dari kalimat di atas, frasa نصيحة ثمينة diartikan nasihat delapan. Padahal makna sebenarnya adalah nasihat yang berharga.
Mari menyebut penerjemahan “kasar” dari Google Translate tersebut sebagai kesilapan. Yang artinya sebuah kesalahan yang dilakukan ketika sedang melakukan sesuatu, sehingga dari kecerobohannya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Sering saya keluhkan kurangnya keakuratan Google Translate dalam menerjemahkan sebuah kalimat Bahasa Arab. Dalam sebuah jurnal yang saya baca, kesalahan-kesalahan tersebut diantaranya kesalahan nakirah dan ma’rifat, kesalahan mudzakkar dan muannats, kesalahan penggunaan harf bermakna, kesalahan penggunaan dhomir, kesalahan bentuk jama’, muannats, dan mufrad, serta seperti contoh di atas, yaitu kesalahan penggunaan fi’il (kata kerja).
Saat bersekolah di tingkat menengah atas, saya juga mempelajari Bahasa Jerman yang dalam penerjemahan mengalami beberapa kesalahan-kesalahan penerjemahan. Misalnya sistem makna kata bahasa sumber yang tidak sepadan dengan sistem makna kata bahasa sasaran. Kata das Haus yang berarti dalam Bahasa Indonesia “rumah”, sesuai dengan satu maknanya, yaitu gedung yang digunakan untuk tinggal/bertempat tinggal. Misalnya juga kata der Reis yang bisa diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi dua kata atau lebih, yaitu padi, beras, dan nasi yang masing-masing memiliki makna khusus daripada der Reis. Menurut saya, untuk menghindari kesalahan penerjemahan ini adalah dengan melakukan pemilihan diantara kata-kata yang mengandung pengertian diferensial dan non-diferensial.
Contoh lain, kata salju dalam Bahasa Indonesia yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris menjadi snow akan memiliki pemaknaan tersendiri. Apa yang orang Indonesia bayangkan dengan apa yang orang Inggris bayangkan tidak akan 100% sama persis. Akan ada perbedaan latar belakang, sejarah kebudayaan, geografis, dan sebagainya. Di sinilah pentingnya memahami sastra terjemahan. Kita juga akan memahami imajinasi-imajinasi orang dari bangsa lain dalam karyanya.
Dewasa ini, menurut saya karya-karya terjemahan memiliki beberapa implikasi yang saling mendukung. Implikasi pertama adalah semacam upaya pemberdayaan proses demokrasi dan hak manusia karena dalam menerjemahkan, seorang penerjemah akan dengan bebas menulis kembali teks sastra dengan tidak keluar dari konteks aslinya. Yang kedua adalah adanya pengakuan perbedaan budaya dan identitas yang akan membuat kesepahaman. Yang terakhir adalah terjadinya komoditas. Misalnya, terjemahan karya-karya Kahlil Gibran yang meledak sebagai contoh yang tidak lebih sebagai komoditas saja.
Fakta lain dalam menerjemahkan sebuah teks sastra, kita akan dipertemukan dengan dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah memindahkan arti suatu kata dengan ketat sehingga akan dicapai pemaknaan yang “sesuai”. Kedua, sudut pandang penerjemahan secara kreatif. Di sinilah kreativitas penerjemah ditunjukkan. Seorang penerjemah yang andal akan menghadirkan bacaan terjemahan yang apik dan menarik pembaca bahasa sasaran.
Menurut saya, menggunakan sudut pandang yang mana saja itu terserah. Karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang lebih penting adalah bagaimana karya terjemahan tersebut dapat menarik minat serta memikat pembaca. Saya sering menemui buku terjemahan yang lebih bagus daripada buku aslinya, begitu pula sebaliknya. Maka hal itu bergantung pada proses penerjemah menerjemahkan teksnya. Menerjemahkan memang bukan perihal mudah. Namun, membuat terjemahan yang menarik jauh lebih susah.