Tiga puluh tahun lalu aku masih berumur enam tahun. Saat itu dunia terasa ramai, menyenangkan, mendebarkan, dan segala kata sifat lain yang mungkin menggambarkan perasaanmu ketika membaca karya Tolkien. Beranjak dewasa, banyak orang bilang aku bohong, semua hanya dongeng semata, atau imajinasi anak kecil yang kelewat kupercaya sampai dewasa. Aku tak mengerti maksudnya. Sebab, ceritaku ini asli. Aku benar-benar tinggal di rumah ajaib saat aku masih kecil. Semua dimulai dari semangkuk sup ayam buatan Ibu.
***
Hari-hari di rumah berjalan seperti ilustrasi buku IPS. Buku bersampul hijau itu sejauh ini menjadi buku favoritku setelah seminggu masuk kelas 1 SD. Didalamnya penuh ilustrasi berwarna. Berbeda dari buku lain, buku itu dari awal memperkenalkanku dengan tokoh seorang anak kelas 1 SD juga bernama Budi, adiknya Ani, dan orang tua mereka. Mereka tinggal di sebuah rumah berlantai dua yang bagus sekali, dengan teras luas dan berbagai jenis tanaman yang hidup di pot-pot kecil dan besar.
Bersama Budi dan Ani, aku dibawa menuju kegiatan mereka sehari-hari yang tercetak di buku tersebut. Suatu saat, Budi melihat dua kawannya bertengkar dan ia melerai. Ada kalanya pula Ani menangis karena mainannya rusak, dan Budi membuatkan ia mainan lain. Aku membaca kisah mereka saat berkunjung ke rumah Nenek, mengikuti kerja bakti di lingkungan rumah, dan pembicaraan makan malam mereka mengenai nilai Matematika Budi yang bagus.
Jika bisa dibilang, keluargaku hampir mirip seperti itu. Kami tinggal di rumah yang mirip dengan keluarga Budi. Ayahku bekerja kantoran, pergi pagi pulang sore, dan Ibuku adalah ibu rumah tangga. Setiap hari kami sarapan bersama, Ayah mengantarku ke sekolah, lalu menyuruh Bang Joni—tetanggaku—menjemputku, aku bermain sebentar, tidur siang, mengerjakan PR di sore hari, makan malam bersama-sama dengan Ayah dan Ibu, dan tidur tepat pukul sembilan malam. Bedanya, adikku tidak disini. Aku punya adik, seorang perempuan. Aku tidak pernah tahu bagaimana wajahnya, tapi aku memanggilnya Nara. Ibu bilang Nara tinggal di planet lain, jaraknya lima juta tahun cahaya. “Kenapa ia disana?” tanyaku suatu hari. “Karena Nara suka menari,” jawab Ibu. “Di planet itu semua orangnya suka menari dan menyanyi, tertawa-tawa dan berbahagia. Nara sudah tahu apa yang ingin ia lakukan sejak ia dilahirkan. Karena itu, Ibu harus merelakan Nara pergi, karena Ibu tahu itu yang terbaik untuknya.”
“Jadi, suatu saat nanti, jika aku tahu apa yang ingin kulakukan, aku akan meninggalkan Ibu?”
“Mungkin saja. Makanya, selagi bisa, kita harus sering-sering bersama ya, Arma.” ucap Ibu, lalu mengelus kepalaku dan menyanyikan lagu pengantar tidur.
***
Sebagaimana ibu Budi, Ibuku seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia menemaniku sehabis pulang sekolah, mengajakku bermain, dan menyanyikan nina bobo setiap kali aku berangkat tidur. Namun, ada dua kebiasaannya yang paling kusuka. Kebiasaan pertamanya adalah pura-pura tidur di sampingku. Setiap kali nina bobo-nya selesai, mataku akan terlelap, dan sudah pasti aku ngantuk berat. Sebelum mataku benar-benar tertutup, aku melihat Ibu berbaring di depanku, tersenyum, dan ikut menutup mata. Suatu kali, saat aku tak sengaja terbangun, Ibu sudah tidak ada di sampingku. Saat itulah aku tahu ia pura-pura menemaniku tidur dan lima menit kemudian terbangun untuk melakukan hal lain. Aku tidak marah, justru kagum. Sejak saat itu, jika tiba-tiba aku terbangun di tengah-tengah tidur siangku, aku akan mendengar suara Ibu mencuci piring, atau memasak kue, atau menonton TV. Apapun itu. Aku menjadi lega sekali dan bisa tidur lagi dengan nyenyak.
Kebiasaan kedua Ibu adalah membaca pikiran. Ibu itu semacam pesulap yang bisa tahu apapun yang aku pikirkan. Dan setiap kali aku datang kepadanya dengan beban yang tak bisa kusampaikan, ia akan mengelus punggungku, menyajikan semangkuk sup ayam yang entah darimana datangnya (padahal aku tak melihatnya sedang memasak sup ayam), dan meninggalkanku sebentar. Sup ayam ibu begitu hangat, sedap, entah bagaimana memberiku dorongan untuk menumpahkan semuanya. Dan mulutku pun terbuka. Mataku memerah. Aku pun menangis sekencang-kencangnya.
Saat itulah kemudian Ibu datang. Mendengarkan tangisanku yang tidak jelas isinya tentang apa. Ia mendengarkanku dengan sabar, memberikan nasihat, dan memelukku erat-erat. Akupun kembali tenang. Ibu lalu menemaniku menghabiskan sup ayam itu sambil bercerita banyak-banyak. Kadang aku mendengarkan, kadang Ibu yang mendengarkan dan aku yang bercerita banyak-banyak.
***
“Momen itu seperti kembang api.”
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku, semacam paduan suara buta melodi yang tak karuan kesana kemari. Ada yang berteriak nyaring, ada yang bersuara rendah sekali. Memenuhi rongga-rongga kepala seperti ketika layar TV kami dipenuhi semut abu-abu entah darimana. Kepalaku tiba-tiba membesar, seperti balon, tapi berat sekali, yang terus membesar seiring dengan kalimat tersebut terulang-ulang di telinga. Sebentar saja, hanya sebentar saja kepala ini akan meletus. Setidaknya itulah yang aku percaya, sebelum kata-kata Ayah menyeretku keluar dari paduan suara aneh dan kepalaku berhenti membesar.
“Mengerti, ya, Arma?” panggil Ayah.
Aku mendongak. “Iya.” jawabku singkat, entah apapun yang dikatakan Ayah sebelumnya. Aku beranjak meninggalkan Ayah dan menuju tempat tidur.
Momen itu seperti kembang api. Kata-kata itu muncul darimana, ya? Aku lupa. Aku cari-cari di buku IPS, tidak ada kata-kata seperti itu keluar dari mulut Budi. Aku cari-cari di semua buku yang pernah kubaca, tidak pernah ada kata-kata itu tertera. Apakah itu berasal dari sebuah lagu? Mungkin tidak. Kalau iya pasti lagu itu hancur sekali, paduan suara jelek tadi benar-benar menyebalkan.
Hari sudah malam, jauh lebih malam dari biasanya aku terlelap. Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Ini kan’ sudah hari yang baru, pikirku dalam hati. Anehnya aku tidak merasa takut terlambat sekolah. Besok mungkin hari Minggu, jadi tidak ada sekolah.
Aku memikirkan kalimat aneh yang terus berulang di kepalaku, yang semakin membuatku resah karena aku tidak tahu artinya. Tanya Ayah juga percuma. Ia pasti tidak tahu. Perasaanku bilang seperti itu. Lebih baik aku simpan saja kalimat ini, biar bersembunyi di kepala. Jika aku sudah tujuh belas tahun nanti, aku pasti paham. Benar, kan? Semua orang bilang aku anak kecil, aku tidak mengerti apa-apa. Hanya orang dewasalah yang mengerti. Dewasa jadi semacam pujian. Sebenarnya, apa itu dewasa? Mungkin ia punya asal-usul. Seorang dewa bernama Sa yang bijaknya minta ampun. Karena bumi ini kecil, dan dinosaurus itu raksasa, maka manusia tidak bisa hidup berdampingan dengan dinosaurus. Dimusnahkannyalah dinosaurus dan menggantinya dengan manusia. Manusia pasti lebih cocok tinggal di bumi. Soalnya manusia itu pintar. Sebagai bentuk puji-pujian, secara turun temurun manusia yang bijak dipanggil dengan kata dewasa.
Belum selesai memikirkan kalimat momen itu seperti kembang api, aku sudah memikirkan hal lain. Di dalam remang-remang kamar tidurku, aku berpangku tangan menghadap jendela. Membayangkan banyak hal, terutama kalimat momen itu seperti kembang api, dan bintang-bintang yang begitu banyak. Salah satu di antara berbagai macam benda langit yang berserakan itu pastilah tempat dimana aku harus pergi. Aku menebak-nebak, di planet mana Ibu berada? Karena ibu suka memasak, pastilah ia berada di Planet Sup Ayam. Aku membayangkan Planet Sup Ayam adalah tempat yang hangat, berbau sedap, dan semua orangnya bisa membaca pikiran. Aku tak perlu mengatakan pada mereka kalau aku sedang kesal dengan buku IPS-ku. Aku sudah habis membaca buku itu, tapi tidak ada satupun cerita tentang Budi sebagaimana yang kualami sekarang. Di akhir cerita, keluarga Budi pergi liburan ke pantai. Aku tidak menemukan Budi sedang marah, Budi sedang menangis, Budi sedang kesepian. Aku tidak melihat Budi sendirian, kehilangan sesuatu, kehilangan seseorang. Aku tidak melihat Budi kehilangan sesuatu yang tidak dapat ditukarnya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika mengalami kesemuanya. Aku kehilangan buku panduanku.
***
Saat memperhatikan langit itulah, aku bertemu dengan Cip. Pertemuan yang megah dan bergaya. Langit malam yang suram tiba-tiba jauh lebih bercahaya, berwarna-warna lembut seperti gula kapas. Bulan yang biasanya kecil, tiba-tiba jadi besar sekali. Bulan memuntahkan semacam jalan tempat orang-orang dapat berlalu lalang. Kampungku yang semula sepi tiba-tiba jadi ramai sekali. Makhluk-makhluk aneh berlalu-lalang, ada seorang bapak tua yang pendek, gemuk, dan memakai topi yang lebih tinggi dari dirinya, seorang gadis dengan gaun seperti angsa, dan seekor kuda putih yang sebenarnya tampak normal.
“Armaaaaa!!!!!” seru seseorang. “Tumben banget bangun jam segini,”
Aku mendongak. Seekor kuda putih itu berbicara, wajahnya terlihat konyol, ia cengar-cengir saja. “Sudah lama ya, tidak bertemu! Hehehe,” gaya bicaranya semangat sekali. Ia tertawa-tawa.
“Namaku Cip! Salam kenal untuk kedua kalinya! Hehehe,”
Aku tersenyum melihat Cip. Ia lucu untuk ukuran seekor kuda.
“Pasti kaget ya? Padahal, biasa saja, lho. Setiap malam kami memang suka jalan-jalan di sekitar sini. Kami suka sekali bercerita. Tentang apa saja. Arma bisa tanya pada kami apa saja.”
Aku masih diam saja. Mendengarkan Cip terasa menyenangkan. Aku suka bertanya. Aku akan bertanya apapun, pada siapapun, tapi terutama pada Ibu. Tapi aku sedang tak punya pertanyaan. Aku kebingungan, tapi tidak ada yang mau kutanyakan.
“Semua pertanyaan pasti punya jawaban. Semua jawaban pasti bermuara ke pertanyaan.” Cip mengedipkan sebelah mata. Aku tiba-tiba tersadar akan sesuatu.
“Cip, momen itu seperti kembang api, artinya apa?”
“Arma pernah lihat kembang api? Kembang api itu cepat sekali. Baru saja dinyalakan, ia akan membumbung tinggi, membentuk permainan cahaya yang indah, dan push! Sekejap hilang begitu saja. Momen juga seperti itu. Ketika ia ada, kau harus pastikan benar-benar telah melihat dan mengalaminya, dengan segenap jiwa, raga, dan seluruh yang kau punya. Sebab, suatu ketika ia akan hilang. Dan ketika ia hilang, kau baru sadar betapa cepat momen itu pergi.”
Aku terdiam. Lalu mengangguk. Aku pun ingat, kalimat itu pernah kubaca dimana. Pernah kudengar dari siapa. Caranya membacakan kalimat itu pun masih dengan jelas kudengar di telinga.
“Cip, kehilangan itu apa?”
Cip menghela napas panjang, lalu tersenyum.
“Nah, untuk itu Arma, aku harus menceritakan sebuah cerita kepadamu.”
Bersambung
Pingback: Boy dan Si Anjing Kurus – LPM Perspektif