Aku tak tahu apa yang merasukiku, setiap kalimat dari pemuda ini seakan-akan langsung menghipnotisku. Aku menganggukkan kepala tanpa ragu dan mengikuti langkahnya yang mengarah ke ujung jalan. Setiap langkah yang aku jejakkan membuatku berpikir, “Mengapa aku mengikuti langkah pemuda asing beraroma bawang ini?”
Namun, aku mulai menyadari bahwa sifat ramahnya yang membuatku merasa aman, walaupun terasa asing. Lagipula, jika dia berniat buruk terhadapku, maka aku akan menggorok lehernya tanpa ragu. Aku merasa dia bukanlah orang yang memiliki kemampuan untuk membunuh seseorang. Dia bukanlah orang sepertiku. Aku merasa bahwa dia tidak akan mampu untuk membunuhku.
Setelah puluhan langkah yang kuayunkan sambil sekelebat pikiran tertuju pada pemuda ini, akhirnya aku menghentikan langkah di depan sebuah tempat yang disebut ‘warung’. Aku memperhatikan sekelilingnya yang terlihat kumuh. Mejanya dilapisi oleh tikar plastik yang penuh dengan robekan dan bekas cakaran. Sementara kursinya terlihat tidak simetris dengan kemiringan yang bisa terlihat walau hanya sedikit. Sekumpulan bapak-bapak juga terlihat sedang menikmati kopi hitam di tempat itu, sambil sesekali tertawa terbahak-bahak.
“Apa yang ingin kamu makan, Belial?”
Perhatianku teralihkan oleh suara Bilal, matanya memandangku dengan penuh semangat, sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah daftar menu. Aku mengikuti isyarat tangannya dan mulai memperhatikan banner yang berisikan berbagai pilihan makanan. Desainnya terlihat aneh, warnanya terlalu hijau menyala, diikuti dengan tulisannya berwarna kuning. Mataku terasa perih dengan desain seperti itu. Mungkin warung ini memiliki ciri khas tertentu untuk mengikat para pelanggannya. Aku akhirnya menatap Bilal dan memintanya membelikan sesuatu yang menurutnya enak, karena aku tak tahu apa yang enak untuk dimakan di tempat seperti ini.
Bilal tersenyum paham, dia menepuk pundakku dan menginstruksikan agar aku pergi lebih dahulu ke penginapan. Dia berkata bahwa akan membawakan makanannya ke kamarku. Rasanya dia benar-benar bisa membaca isi kepalaku bahwa aku tak nyaman berada di tempat seperti ini. Ada rasa aneh ketika mendengarkan bagaimana orang-orang di sini berinteraksi. Sungguh, Bilal terlihat sangat ramah, membuatku berpikir apakah dia berniat mengambil bayaran dariku atau ada sesuatu hal lain yang membuatnya sangat baik terhadapku.
Aku pun berjalan ke arah penginapan yang ditunjuk oleh Bilal. Bangunannya terlihat sudah tua, seperti tak pernah dihuni selama bertahun-tahun, rasanya seperti bangunan berhantu. Dindingnya lapuk dan atapnya terbuat dari dedaunan kering. Saat aku melangkahkan kaki ke dalam penginapan, rasanya ada aroma serbuk kayu dari dinding-dinding yang lapuk. Seiring aroma itu menjalar masuk ke hidungku, berdiri seorang wanita dengan wajah yang layu, rambutnya sudah memutih, kerutan memenuhi wajahnya. Dia mulai tersenyum kepadaku.
“Nak, apa kamu ingin menginap di sini?” tanya wanita itu dengan suara serak.
Aku mengiyakan ucapan wanita tua itu, aromanya seperti tanah basah yang bercampur dengan serbuk kayu. Baunya seperti tak asing, seakan aku pernah mencium aroma seperti ini. Wanita tua itu memberikanku tiga buah kunci yang sedikit berkarat dengan gantungan bonekanya yang terbuat dari akar-akaran. Di antara tiga kunci itu, salah satunya adalah kunci rumah, sementara kunci lainnya untuk kamarku. Aku pun pergi ke kamar setelah membayar biaya penginapan untuk beberapa hari.
Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan tubuh di kasur, mencoba merasakan kenyamanan di ruang yang sempit ini. Mataku rasanya hanya mampu melihat-lihat ke arah sekitar, sementara tubuhku tak mampu bergerak lagi. Ini memang biasa terjadi saat aku benar-benar lelah. Saat tubuhku bersentuhan dengan kasur, maka tubuhku tak akan mau menjauh lagi, seolah-olah kasur dan diriku telah menyatu dan mengikat satu sama lain.
Aku terus memperhatikan ruangan, mencoba untuk tidak asing dengan ruangan seperti ini. Jendelanya pun sangat kecil dan tak dilapisi dengan kaca. Hanya ada lubang berbentuk segi empat dan sebuah penutup layaknya sebuah pintu kecil.
“Bangun, Belial! Aku membawakan semangkuk bakso untukmu!“ teriak Bilal penuh kegirangan bergema di kamarku.
Mataku mulai melirik ke arah pemuda yang menerobos masuk ke kamarku. Astaga, wangi keringatnya bercampur dengan wewangian makanan yang berada di tangannya. Bilal, dia memang sangat baik hati, tetapi aku akan menghadiahkan sebotol antiperspirant untuknya lain kali sebagai ucapan terima kasih.
Setelah kedatangan Bilal itu, aku mulai mencoba mendudukkan badanku yang sebelumnya melekat dengan kasur, membiarkannya terkena cahaya matahari dari jendela kamar yang sempit ini. Sesekali, aku bisa merasakan tiupan angin berhawa panas di sekujur tubuhku. Sementara itu, Bilal melirik ke arahku dengan wajah penuh bahagia sambil menyodorkan semangkuk makanan khas Asia. Uapnya mulai menyambar ke wajahku—baunya aneh—tapi kelihatannya nikmat. Aku mulai mengaduk makanan berkuah itu, mencampurkan bumbu-bumbu berwarna hitam, merah, dan oranye. Garpuku mulai menusuk ke arah setiap bola-bola daging yang bercampur dengan kuah berwarna kemerahan. Rasanya agak pedas, sepertinya Bilal memasukkan lima sendok saus cabai ke dalamnya. Entah bagaimana, sepertinya dia tahu kalau aku menyukai rasa pedas yang menusuk.
Makanan ini rasanya sangat nikmat, ditambah perutku yang sedari tadi keroncongan, akhirnya bisa diredamkan juga. Aku mulai memasukkan makanan itu ke mulutku, membiarkan rasa nikmat menyentuh lidahku pada setiap suapan. Aku menelan semua makanan itu dalam sekejap mata sambil membiarkan Bilal keheranan melihatku yang kelaparan. Aku rasanya seperti merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya.
Entah pikiran dari mana yang membuatku terpikir untuk menjadikannya sebagai rekanku. Sepertinya dia adalah tipe penurut dan bisa memahami isi kepalaku, dan juga tidak banyak tanya. Aku juga baru mengetahui bahwa dia adalah anak dari wanita pemilik penginapan sempit ini. Ruangannya hanya ada tiga buah kamar, dan salah satunya adalah kamar yang sedang aku tempati ini. Akan tetapi, aku tak bisa membiarkan orang yang baru saja kukenal menjadi rekanku, walaupun dia sangat ramah dan baik hati. Mungkin perasaan ramah ini sangatlah jarang untuk aku rasakan, sehingga membuatku merasa bahwa keramahannya sangat berbeda, seakan-akan sangat tulus.
Aku mulai menghilangkan semua pikiranku itu, sambil melihat ke arah Bilal yang sedari tadi menunggu mangkuk makanku untuk dibawanya pergi. Aku terlalu banyak berpikir karena pemuda ini sehingga lupa untuk menyerahkan mangkoknya. Setelah aku menyerahkannya, dia pun pergi dan menyuruhku untuk beristirahat. Aku mulai berpikir, “Apa ini bisa dinamakan teman yang sebenarnya?”