Lompat ke konten

Mencari Jejak Orde Baru di Rezim Paling Baru

Diskusi Santai “Apa Itu Neo-Orba?: Bahasa, Sastra dan Kuasa” oleh Pelangi Sastra dan PPMI Kota Malang di Kafe Pustaka (13/04) (PERSPEKTIF/Haidar)
Diskusi Santai “Apa Itu Neo-Orba?: Bahasa, Sastra dan Kuasa” oleh Pelangi Sastra dan PPMI Kota Malang di Kafe Pustaka (13/04) (PERSPEKTIF/Haidar)

Malang, PERSPEKTIF Lebih dari dua dekade setelah Orde Baru tumbang, bayang-bayangnya kembali merayap lewat wacana yang disemai oleh tindakan, gestur, hingga teror. Salah satu isyarat paling terang muncul Maret lalu, saat redaksi Tempo menerima paket kepala babi tanpa telinga dan bangkai tikus yang dialamatkan kepada salah satu jurnalisnya, Francisca Rosana. Balasan yang muncul dari istana, melalui Hasan Nasbi, sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, bukannya penyesalan, melainkan ejekan: “Dimasak saja.”

Di tengah kekhawatiran akan menguatnya tendensi otoritarianisme pasca terpilihnya pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024, diskusi publik bertajuk “Apa Itu Neo-Orba?: Bahasa, Sastra dan Kuasa” digelar oleh Pelangi Sastra dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang, pada Minggu (13/04). Bertempat di Kafe Pustaka, acara ini menghadirkan Soe Tjen Marching, seorang penulis, sastrawan, tokoh feminis, dan pengajar di SOAS University of London, sebagai pemantik diskusi.

Diskusi ini dipantik dengan membahas sikap pemerintah Indonesia yang delegitimatif dalam merespons kritik publik. Belum lama dan masih hangat, demonstrasi bertajuk #IndonesiaGelap ditanggapi secara sinis oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam sebuah forum ekonomi pada Februari 2025, Luhut menyatakan, “Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia.” Ucapan tersebut dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk pengabaian terhadap keresahan masyarakat yang diungkapkan secara terbuka. Marching menyayangkan tanggapan tersebut dengan menegaskan pentingnya hak rakyat dalam demokrasi.

“Karena dalam demokrasi itu, hak yang tertinggi di tangan rakyat. Iya kan? Kita yang memilih mereka, kita yang memilih presiden kan? Dan yang membayari presiden dan menteri-menteri dan sebagainya itu siapa? Kita kan dengan pajak rakyat kan. Ya. Jadi seharusnya mereka itu pegawai kita,” ucap Marching (13/04).

Ia mengingatkan bahwa pemimpin dan pejabat publik, terlepas dari jabatan dan kekuasaannya, harusnya sadar bahwa mereka adalah pelayan rakyat, bukan sebaliknya.

Marching juga menyoroti bagaimana kekuasaan politik Orde Baru sering kali mengarah pada penggunaan bahasa dan teknologi untuk mempertahankan legitimasi, bahkan ketika itu bertentangan dengan realitas yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, ia juga melihat ada kecenderungan tersebut di pemerintahan Prabowo-Gibran, bahkan semenjak masa kampanye.

“Jadi perangnya itu akhirnya sekarang ini di bahasa, ya. Mereka mempengaruhi dengan bahasa dan dengan AI dan sosial media, dan mereka bisa itu, mereka punya kekuasaan untuk itu karena mereka di pemerintahan, duit mereka banyak ya,” tuturnya.

Penulis novel Yang Tak Padam ini melihat bahwa dalam banyak kasus pemerintahan otoriter, negara memiliki kecenderungan untuk takut pada karya sastra. Ia mencontohkannya dengan menceritakan bagaimana pemerintahan Orde Baru melakukan kriminalisasi kepada banyak sastrawan yang vokal pada saat itu, salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer, yang diasingkan ke Pulau Buru. Tidak hanya itu, pemerintahan Orde Baru juga melakukan sensor dan pembatasan pada banyak karya sastra yang dianggap mengganggu stabilitas negara. Lebih lanjut, Marching menyatakan bahwa karya sastra, apapun bentuknya, memiliki kekuatan yang tak dimiliki oleh medium-medium lainnya.

Marching menutup diskusi ini dengan memberikan pesan kepada para audiens untuk tetap menjaga sikap kritis di tengah carut marut negara dewasa ini dengan membaca, berdiskusi, serta menyebarkan kesadaran sebagai warga sipil.

“Sebarkan dan sebarkan. Jadi, jangan berhenti dan jangan menyerah ya. Dan jangan diam, itu yang penting. Jangan diam. Ya. Dan ingatlah kalau kalian itu direndahkan, saat itulah kalian tahu bahwa yang merendahkan itu mungkin ketakutan akan kalian,” pungkas Marching.

Dengan memiliki sikap kritis, seseorang tidak hanya sedang membangun pertahanan diri terhadap hegemoni yang menindas, tetapi juga sedang membuka ruang kemungkinan bagi perubahan. (hr/alr)

(Visited 12 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?