Lompat ke konten

Namaku Alam

Sumber: perpustakaan.jakarta.go.id
Oleh: Yasmin Nawawi*

Judul Buku: Namaku Alam
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit: 2023
Halaman: 438
ISBN: 978-623-134-082-5

Saya adalah pembaca buku Leila S. Chudori yang militan, terlebih dalam buku-bukunya yang berlatar belakang sejarah di Indonesia, baik tragedi ‘98 ataupun ‘65. Pulang, Laut Bercerita, dan yang teranyar yaitu Namaku Alam sudah rampung saya lahap semuanya. Kali ini saya ingin berfokus pada buku garapan Leila yang terbaru, yaitu Namaku Alam. Buku ini sejatinya adalah lanjutan kisah dari Pulang dengan sudut pandang dari Segara Alam, putra dari Hananto Prawiro yang mati dieksekusi karena dianggap sebagai pengkhianat negara akibat kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Seperti bukunya yang lain, Leila tidak pernah gagal dalam menggarap sebuah cerita untuk mengingat tragedi kelam di negeri ini yang kini semakin buram. Kita akan banyak diperlihatkan sekaligus diajak berkelana mengenai bagaimana awut-awutannya negara ini setelah tragedi ‘65 meletus, dengan banyaknya nyawa tak berdosa harus gugur karena pernah berdekatan dengan PKI, sekaligus melihat kehidupan orang-orang yang harus terseret dan menanggung “dosa abadi” seumur hidupnya karena keluarganya dianggap bagian dari komunis. Itulah kehidupan Segara Alam, tentang bagaimana dirinya mengalami berbagai macam kejadian tidak menyenangkan karena dirinya adalah anak dari seorang “pengkhianat negara” dan dengan photographic memory yang ia miliki semakin membuat hal itu menjadi penderitaan berlapis-lapis untuk dirinya.

Namaku Alam, selayaknya Pulang, menyoroti kesulitan-kesulitan yang dirasakan seseorang dan keluarga yang tergerus insiden ‘65. Alam dan keluarganya harus merasakan ditahan di suatu rumah tahanan di Jalan Budi Kemuliaan. Surti Anandari (ibu Alam) harus diinterogasi berulang-ulang untuk menanyakan ayah Alam dan Kenanga (kakak Alam) yang turut melihat kebengisan orang-orang yang menahan mereka di rumah tahanan tersebut. Tentunya penderitaan bagi Alam adalah ketika dirinya memasuki usia sekolah, ketika banyak stigma dan diskriminasi karena ayahnya seorang “pengkhianat negara” pada akhirnya membuat alam seringkali terlibat dalam perkelahian dan memendam dendam yang besar di dalam dirinya.

Catatan Lain untuk Namaku Alam
Di luar penuturan Leila mengenai kisah dalam buku ini yang luar biasa, saya merasa ada kebosanan dalam membacanya karena tokoh-tokoh dalam buku ini semuanya menggilai cerita pewayangan Mahabarata. Jika disimak secara seksama dalam buku Leila yang lain, hal serupa juga sering terjadi, seperti ada obsesi dalam diri Leila untuk menuliskan setiap tokohnya adalah pecinta cerita pewayangan. Tentu saya tidak mengerdilkan hal tersebut, akan tetapi bagaimana Leila secara berulang memberikan narasi bahwa tokoh-tokoh dalam setiap bukunya memiliki kesamaan yaitu keranjingan pewayangan tersebut membuat saya sebagai pembaca menjadi jenuh karena pola berulangnya.

Selanjutnya, dalam novel ini dibagi ke dalam subbab mengenai beberapa tokoh lain dari sudut pandang Alam. Sebagai pembaca ketika dihadapkan dengan rentetan daftar isi yang mengandung nama-nama orang terdekat Alam, maka di setiap subbab akan diperlihatkan interaksi atau setidaknya sudut pandang Alam mengenai orang-orang terdekatnya tersebut. Namun sayangnya ekspektasi saya tidak terpenuhi. Alih-alih menggambarkan kedekatan Alam dengan orang-orang terdekatnya, malah kadang kala keluar konteks.

Dalam subbab “Bening Bulan” contohnya, Bulan adalah kakak kedua Alam. Dalam sub bab ini saya kira akan banyak diperlihatkan Bulan sebagai anak kedua dari keluarga Prawiro dalam sudut pandang Alam. Sebagai pembaca, tentunya saya merasa cukup kecewa karena sedikitnya porsi yang diberikan Leila sebagai penulis dalam memperlihatkan interaksi Alam dengan kakak keduanya. Mungkin pada awal bab, kita diperlihatkan bagaimana kedua kakak Alam sangat berpengaruh terhadap selera buku dan musik Alam. Setelah itu pembahasan menjadi tumpang tindih dengan masalah Bimo (sahabat Alam) dan kisah cinta monyet Alam serta hormon remajanya yang meletup-letup ketika berhadapan dengan teman Bulan, yaitu Rena.

Catatan-catatan ini lumayan membuat saya merasa ada yang kurang ketika membaca buku ini. Meskipun demikian, buku ini sama masih lumayan menyenangkan untuk dibaca, pun demikian bisa memberikan perspektif lain tentang peristiwa sejarah yang tidak terekam di buku-buku sekolah.

(Visited 159 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya tahun 2021. Saat ini aktif di Divisi Redaksi LPM Perspektif

1 tanggapan pada “Namaku Alam”

  1. Dear Yasmin, resensimu ttg buku Namaku Alam dari Laila Chudori sungguh bagus. Teruskan bakatmu menulis, semoga menjangkau banyak pembaca. Salam dari NL????

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?