Lompat ke konten

Supermoon

Ilustrasi oleh Zubaidah
Oleh: Anindita Kalisha Rahma*

“Kamu tau fenomena supermoon?”

Ia menggeleng, menandakan ketidaktahuan. “Apa itu? Kenapa kamu tiba-tiba membahas fenomena alam?”

Napas si perempuan menabrak udara dingin yang menyelimuti mereka berdua. “Supermoon, atau bisa disebut juga sebagai bulan merah. Dia cuma bisa dilihat sekali setiap tahun.”

Sang lelaki masih menetapkan fokus pada wajah putih pucat di depannya yang menatap telapak kaki kebiruan milik mereka berdua.

“Kalau diibaratkan, pertemuan kita ini juga sama, ya. Aku cuma bisa melihat kamu sekali dalam setiap tahunnya.”

Ia akhirnya memberikan sorot mata. Terkesan memilukan, selalu sama pula di tiap tahun mereka bertemu. Namun anehnya, garis bibir itu terus berusaha dibuat menukik ke atas.

“Sama seperti namanya, bulan merah. Warnanya juga merah. Kamu pasti jelas tau maknanya.”

Sebagai pelukis yang sudah menghasilkan berbagai macam karya rangka gambar akan perasaannya yang dituangkan dalam teriakan warna, pria itu tahu jelas apa makna dari warna merah sendiri; gairah, cinta, keberanian, marah, dan… rindu.

Namun, sang lelaki kini paham apa maksud dari pembahasan bulan merah yang secara tiba-tiba membanjiri ruangan ini. Ia baru menyadari, merahnya sorot mata perempuan di depannya penuh akan kemarahan. Kehadiran dirinya yang kembali lagi—datang dengan begitu mudah, memikul bening manik obsidian dan halusnya ukiran senyuman.

Sorot mata dan senyuman sialan. Ia kini bisa mendengar jeritan itu.

Namun, di lain sisi, ia bisa tahu, dengan merah tersebut sang jelita begitu apik menutupi kerinduan yang sama sekali tidak pernah ia mau ketahui dan akui.

Selagi, sang perempuan masih terus menahan duri tersebut yang semakin lama melukainya. Hingga semakin lamanya, ia sama sekali tidak lagi merasakan sakitnya sebab telah dipaksa tertelan oleh palpitasi.

“Kita sama-sama sudah dewasa, ya,” ucap si perempuan lagi. “You grew up so much better.”

Dari pendewasaan, si perempuan juga turut menyadari, sudah cukup baginya untuk bertahan hidup di dalam hutan ini. Waktunya ia menebas segala ranting kayu di depannya untuk menemui jalan keluar. Kalau si pria tidak bisa membawanya untuk keluar melewati hutan ini bersama, biar dia pergi keluar sendiri untuk menemukan sesercah cahaya.

Tapi, parahnya ternyata, si lelaki yang terbuai akan keluguan seekor kelinci meninggalkan dirinya sendiri di tengah hutan lebih dulu. Dalam artian lain, kelinci mungil tersebut telah membantu si lelaki untuk akhirnya bisa menghirup udara bebas. Meninggalkan si perempuan semakin kesusahan bernafas dan kedinginan di dalam hutan.

Bodohnya, ia berharap akan kemungkinan si lelaki akan kembali untuk menjemputnya. Sampai pada akhirnya, luka dari segala harapan itu berganti wujud menjadi energi baginya agar bisa keluar hidup-hidup, meski dengan merangkak-rangkak, demi menemukan sesercah cahaya.

“Ketika supermoon terjadi, bulan akan terlihat lebih besar, lebih terang, dan lebih dekat dengan bumi dari biasanya. Supermoon tidak selalu berwarna merah, terkadang bisa berwarna merah muda, oranye, bahkan biru, ataupun putih.” Si perempuan kembali membahas tentang fenomena supermoon.

Tampak jelas air muka si lelaki tau apa makna sebenarnya dari kalimat yang dikeluarkan dari bibirnya. Tidak selalu berwarna merah. Perempuan tersebut sudah tidak lagi memancarkan warna merahnya. Kini warnanya telah berubah.

Terlihat lebih besar, lebih terang, dan lebih dekat dengan bumi. Sosok dirinya kini yang benar-benar jelas di dekat mata sang dara, namun tetap tidak akan pernah bisa disentuh secara penuh.

Supermoon menandakan dimulainya musim panen. Pohon-pohon akan bermekar bunganya.”

Lagi, jelas raut muka si wira paham. Ia bisa melihat, bahwa dara di hadapannya kini, akhirnya bisa tumbuh mekar.

Kini mereka berhadap-hadapan dalam pelukan cahaya alam. Meski tampak sialan sorot mata dan senyuman tersebut, namun ia bisa melihat bahwa mereka telah berjalan di garis jalan baru yang dibuat masing-masing.

Jabatan tangan sebagai penutup antar keduanya sudah tidak memberikan efek apapun bagi si perempuan. Tidak ada lagi raungan dari si perempuan seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

Ketika masa keduanya pulang menyusuri jalan baru—meninggalkan jalan yang telah terbengkalai, lagu tersebut masih diputar oleh sang jelita untuk menemaninya pulang. Dulu serta merta mengiringi tangisannya, juga dengan darah yang semakin lama merembes deras.

Tahun ini, melodinya mengiringkan dirinya pulang dengan perasaan damai—memberikan kesan angin sepoi-sepoi yang perlahan meniup bekas-bekas luka yang terdapat di dalam dada, walau tetap—bernas si lelaki masih tersimpan jelas di dalam lagu tersebut. Ia akan tetap hidup setiap lagu itu menyala.

Waktunya merelakan.

Biar dia bahagia.

Meski, tanpa sama sekali kata maaf karena telah menjadi penyebab atas hidupnya yang tertutupi oleh kegelapan hutan, ranting-ranting, dan dedaunan lebatnya. Meski, tanpa sama sekali kata terima kasih atas luka yang bisa membuatnya disambut lagi oleh dunia.

Mencari-cari bagaimana akhir kisah ini. Ya, disinilah akhirnya. Diputuskan bahwa inilah akhir kisahnya dengan laki-laki tersebut.

Dirinya sudah merasa cukup dan baik-baik saja. Pada akhirnya, ia bisa berhasil keluar hidup-hidup dan kembali merasakan hangatnya dunia.

(Visited 77 times, 1 visits today)
*) Penulis adalah mahasiswa Psikologi angkatan 2023 yang saat ini menjadi staf magang LPM Perspektif divisi PSDM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?