Lompat ke konten

Dispersi dalam Depresi Jeruji Besi: Berperang dengan Kepala

Ilustrasi oleh Anggi Eka
Oleh: Anggi Eka*

Cerita ini merupakan cerita bersambung milik LPM Perspektif dari karya yang berjudul “Asumsi di Balik Jeruji: Tawa” yang dapat anda akses pada tautan berikut:

https://lpmperspektif.com/2023/10/29/asumsi-di-balik-jeruji-tawa/

Asumsi-asumsi. Segala asumsi. Semua asumsi. Asumsi-asumsi liar mulai memenuhi kepalaku, berteriak kepadaku, mengumpati kepalaku. Lalu, dia betanya kepadaku. Bertanya tentang sesuatu yang jawabannya pun tak aku tahu. 

“Kapan kamu mati?” bisiknya, diakhiri dengan tawa keji. 

***

Ada banyak asumsi yang masuk di kepalaku. Asumsi tak berujung dan tak beralasan. Terkadang ada, terkadang hilang. Kadang juga lenyap ditelan bayang. Bayang-bayang distraksi yang terlihat menyenangkan. 

Mengapa aku seperti ini? Di mana awalnya? Dari mana ini berasal?

Aku tak pernah tahu kapan semua ini terjadi. Tiba-tiba saja, semua datang, menyerang diriku yang rapuh. Perlahan mengambil alih hangat matahari dan menggantinya dengan kelabu awan. Menggantikan siang dengan dinginnya malam. Kertas kehidupan yang berwarna kini penuh dengan tinta hitam. Kosong. Aku tak bisa merasakan apapun selain kesedihan, amarah, ketakutan, ketidakberdayaan, kesengsaraan dan semua hal menyeramkan lainnya. Mereka datang, menyambutku dan memberi kata selamat. 

“SELAMATKAN AKU!” teriakku. Namun, tiada satu pun yang mendengar.

“Kamu sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri yang bahkan tak lagi mampu menopang tubuhmu,” bisiknya, kepalaku.

 “Bagaimana rasanya?” lagi, dia kembali bertanya. 

Kepala yang sangat paham dengan perasaanku sedang berdiri di hadapanku, menertawakanku. Menertawakan diriku yang hancur. Bahkan, bagian-bagian dalam diriku tak bisa bersatu. Lalu apa yang masih aku harapkan? 

Ketidakberdayaan dan hal mengerikan lainnya sudah siap untuk mengambil alih diriku. Apa lagi yang ingin aku pertahankan? 

“Tak bisakah kau melihat dirimu hancur? Tak bisakah kau merasakan semua kekosongan? Takut. Kau perpengangan erat pada rasa takut. Tak bisakah kau menyadarinya? Sampai kapan kamu akan terus bertahan? Sampai kapan kamu bisa bertahan? Apakah kamu bisa bertahan?” gerutuku, omong kosong yang kuucapkan pada diriku sendiri. 

Jiwaku telah hilang entah kemana. Ragaku membisu. Diam tak karuan, bergerak ditelan bayang. Bertahan dan hancur kemudian. 

“Tapi aku masih ingin di sini. Mengembalikan jiwa yang hilang untuk melengkapi ragaku,” bantahku. 

Jiwa siapa yang hilang? Kinan? Perempuan yang telah kau nodai dan kau hancurkan? 

Sadarkah? Kamu sendirian. Kamu tidak memiliki apa-apa. Semua yang kamu miliki sudah hancur. Dihancurkan oleh dirimu sendiri dan orang-orang yang selama ini bersamamu. 

Iya, oleh orang-orang yang selama ini bersamamu. Tenanglah, bukan hanya kamu seorang yang membuat dirimu hancur. Ada campur tangan orang lain. Kamu bisa menyalahkan mereka. Benci. Bencilah mereka seperti halnya kamu membenci dirimu sendiri!

Sudah puas kah kau membohongi dirimu sendiri? Tidakkah kau lelah? Tidakkah kau ingin rehat untuk sejenak? Atau bahkan rehat untuk selamanya. 

Kepala, kau membungkamku!

Mulutku membisu seribu kata. Hanya air mata yang dapat berbicara. Aku sadar aku sudah hancur. Aku sadar aku telah tenggelam ke dasar palung paling gelap yang pernah kurasakan. Namun, aku masih ingin bertahan. Tak bisakah kamu mengulurkan tangan? Tak bisakah seseorang mengulurkan tangan? Haruskah aku terus-menerus berjuang sendirian?

“Tolong! Aku masih ingin bertahan!”

***

Esok hari ketika sipir menghampiri jeruji besi, aku memohon kepadanya. 

“Tolong! Matikan aku! Aku sudah tak tahan lagi. Segera sidang dan eksekusi diriku!”

Bersambung …

(Visited 83 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Psikologi angkatan 2022 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai staff magang di divisi sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?