Berdasar kajian sosio-historis dengan diputuskannya bahasa Indonesia-Melayu sebagai bahasa persatuan merupakan upaya penegaskan identitas bangsa Indonesia. Dalam Burung-Burung Rantau tulisan YB Mangunwijaya mendedahkan istilah “pasca Indonesia” untuk memotret kenyataan sosial masyarakat Indonesia di kancah dunia. Identitas “pasca-Indonesia” dalam novel itu telah memajang prestasi kultural melalui bahasa. Keterhubungan antara bahasa dan bangsa ini juga galib disebutkan Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah jauh-jauh hari.
Dengan begitu bahasa menempati urutan wahid untuk menegukuhkan identitas bangsa. Dalam tilikan kritis Amartya Zen (2016) identitas akan melahirkan gelora heroisme dan semangat protektif yang menyala-nyala pada diri dan akal mereka. Identitas akan selalu berkelindan dalam setiap pribadi meski kadang dengan desain yang paradoksal: diamini sekaligus dicerca, dipuji tapi dihujat, ditolak tapi diam-diam disukai.
Pada titimangsa tertentu, identitas merupakan kebanggaan yang tidak boleh sobek. Sejarah mencatat, identitas bahasa Indonesia menjadi marka pemisah antara yang terjajah dan si penjajah. Dari sinilah, genderang perlawanan terhadap Belanda berdentum begitu nyaring. Kaum pribumi pada fase itu telah terkondisikan dalam satu identitas yang sama, yakni bahasa Indonesia. Situasi tersebut sekaligus menjadi jawaban atas politik pecah belah (devide et impera) yang dijalankan Belanda dan kroninya.
Sketsa biografis dan perjalanan bangsa Indonesia yang penuh dengan kobaran semangat patriotis itu digerakkan oleh kaum muda. Itulah masa—yang dalam istilah Takaishi Siraishi disebut—”zaman bergerak”. Kaum muda yang “marah” memantapkan tekad melalui pledoi heroik: penjajah harus pulang, jika tidak mau, akan dipaksa hingga darah penghabisan. Pada saat yang sama bahasa Indonesia juga menjadi instrumen perlawanan terhadap koloni.
Salah satu sebab digunakannya bahasa Melayu ialah etos revolusioner dan antielitisme sebagai dimensi paling subtil yang terkandung di dalamnya. Atas dasar tersebut Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) menjadi momen patriotik pemuda Indonesia yang menahbiskan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Meski pada saat itu bahasa Belanda secara ajeg digunakan oleh kaum kolonial di mimbar-mimbar akademik, para pemuda dengan tegas menolak menerimanya.
Revolusi Bahasa Modernitas-Alay
Tulisan ini dibuat sebagai kancah tatap aksara yang akademis dan refleksi terhadap kebahasaan. Agar siapa pun saja yang berupaya mendiskreditkan bahasa Indonesia bisa memaknai tulisan ini sebagai penebusan kecanggungan rohaniah terhadap lahiriah bahasa Indonesia.
Setelah beberapa dekade berlalu, tentu bahasa Indonesia-Melayu yang menyimpan etos revolusioner tersebut mengalami suatu perubahan. Bahasa memiliki sifat yang dinamis, tidak kedap, tidak final. Tergelarnya era globalisasi bukan sekadar menjadi indikator yang bisa memancing potensi perubahan dalam bidang ekonomi, politik, atau budaya, melainkan juga pada terma bahasa. Memang, globalisasi mensyaratkan sikap reseptif terhadap berbagai bahasa yang datang dari luar.
Seturut dengan itu, globalisasi bersanding dengan merebaknya saluran budaya pop. Budaya pop hakikatnya merupakan implikasi dari budaya industri. Produk budaya pop dilipatgandakan dan didistribusikan secara masif agar bisa dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat. Dalam budaya pop kuantitas menjadi tolok ukur. Para pencipta budaya pop cenderung acuh pada kualitas karena target mereka ialah pasar dan kuntungan ekonomis yang melimpah. Akibatnya, budaya pop sering dianggap sebagai budaya rendahan, remeh, dan kampungan.
Fenomena yang tak bisa dilepaskan dari munculnya budaya pop ialah perilaku alay. Kata alay sebenarnya singkatan dari anak layangan. Istilah ini menunjuk pada gaya hidup yang kampungan dan yang berlebihan. Istilah ini relevan, tidak hanya karena alay begitu dekat dengan kalangan muda, melainkan juga sekaligus menjadi identitas penutur anyar. Fenomena perilaku alay anak muda di Indonesia ini setali tiga uang dengan Jajemon di Filipina, Redneck di Amerika Serikat, Bogan di Australia, Truzzi di Italia, Prool di Jerman, atau Zef di Amerika Latin.
Di Indonesia, fenomena itu “meledak” di media sekira tahun 2008 ketika seorang anak SMP berhasil menciptakan anak alay menjadi topik dengan rating tertinggi di twitter. Dalam aspek bahasa, khususnya bahasa tulis alay mengacu pada kegandrungan remaja menggabungkan huruf besar-huruf kecil, menggabungkan huruf dengan angka dan simbol, atau menyingkat kata secara berlebihan. Dalam gaya bicara mereka berbicara dengan intonasi dan gaya yang berlebihan.
Setidaknya, dalam kajian lebih detail fenomena tersebut muncul dari fitur SMS (short massage service) atau pesan pendek di telepon genggam. Kenyataan ini masih terus berlangsung hingga saat ini. Bahasa alay ini dibuat bisa dengan cara menambahkan huruf yang tidak semestinya atau justru menguranginya, seperti kata aku menjadi aquwh atau aq. Pada sisi yang berbeda bahasa alay juga dapat dilihat dari variasi angka, huruf kecil, dengan huruf kapital yang tidak jelas tujuannya misalnya kata sakit menjadi atit dan cAkiDz atau seperti ungkapan 4ku ciNT4 K4moe maksudnya aku cinta kamu.
Munculnya bahasa alay di kalangan remaja merupakan alarm lunturnya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah dalam bentuk tulis ataupun tutur. Ironisnya, bahasa seperti ini sangat sulit dibendung mengingat saat ini media sosial begitu memanja tumbuhnya kronik-kronik modern yang kadang nyeleneh, seperti bahasa alay. Di samping itu suburnya bahasa alay juga menjadi penanda munculnya bahasa gaul. Keduanya sebenarnya nyaris berjalin seimbang, hanya model penulisan yang menjadi titik pembeda. Bahasa gaul cenderung lebih tertata. Akan tetapi, dua entitas tersebut termasuk rumpun bahasa slang.
Sumber referensi:
Sen, Amartya, (2016) Kekerasan dan Identitas. (Arif Susanto, Terjemahan). Serpong: Marjin Kiri.