Malang, PERSPEKTIF – Penerapan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) di Program Studi (Prodi) Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) masih terdapat berbagai persoalan mulai dari konversi Sistem Kredit Semester (SKS) sampai dengan regulasi yang dianggap ‘aneh’ oleh berbagai pihak.
Hal ini seperti yang disampaikan Alvin Wicaksono, mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 2019 yang pernah mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Merdeka. Ia mengungkapkan bahwa terkendala sistem konversi SKS saat mengikuti program MBKM.
“Seharusnya aku mendapatkan 20 SKS di semester kemarin, tetapi di Ilmu Pemerintahan belum bisa mendapat 20 SKS secara penuh. Jadi, terpaksa aku harus kuliah di UB sebanyak 24 SKS ditambah 20 SKS dari MBKM. Setelah UTS, aku hanya mendapatkan konversi 3 SKS sementara sisanya harus kuliah seperti biasa,” ungkap Alvin (21/3).
Selain itu, ia juga menyayangkan regulasi di Ilmu Pemerintahan yang hanya membolehkan mahasiswa mengikuti program MBKM satu kali saja, padahal dari Fakultas sendiri memperbolehkan dua kali.
“Yang menjadi kendala dan permasalahan cukup buat geregetan aku sama temen-teman Ilmu Pemerintahan adalah di saat Kampus, Fakultas, dan Prodi yang lain memperbolehkan buat ikut MBKM dua kali, tapi di Ilmu Pemerintahan sendiri hanya boleh ikut MBKM cuma satu kali. Padahal aku sudah lolos tahap dua dan mau aku terusin, tapi sudah pasti gak dapat surat rekomendasi. MBKM ku terhalang surat rekomendasi,” ujar Alvin.
Permasalahan lain juga dialami Marselinus, mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 2019 yang mengaku tidak mengikuti program MBKM karena merasakan kurang leluasanya ruang gerak dalam mengambil program yang ditawarkan oleh kampus merdeka.
“Kami mahasiswa Ilmu Pemerintahan hanya mendapatkan surat rekomendasi sebagai syarat pemberkasan Magang Merdeka dengan ketentuan maksimal tiga prioritas tempat magang. Sementara itu, di jurusan Ilmu Komunikasi atau mungkin di kampus lain seperti UNDIP (Universitas Diponegoro) tidak memberikan batasan tersebut,” jelas Marsel kepada awak Perspektif (17/3).
Terkait permasalahan tersebut, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan, Alifiulahtin Utaminingsih mengkonfirmasi bahwa semua syarat dan ketentuan yang diterapkan Prodi sebagai strategi untuk mengatasi permasalahan MBKM. Ia lalu menambahkan bahwa masalah seperti kesulitan konversi mata kuliah akan membuat masa studi mahasiswa menjadi lebih lama.
“Jika mahasiswa mengikuti MBKM sementara tidak bisa mendapatkan konversi penuh pada mata kuliah berjalan, kemudian harus mengambil mata kuliah sisa di semester berikutnya, maka dikhawatirkan akan menambah masa studi mahasiswa tersebut dan berdampak pada akreditasi Prodi,” tutur Alif (16/3).
Berbeda pandangan dengan Alif, Wakil Dekan (WD) I FISIP UB, Faishal Aminuddin menganggap batasan tiga prioritas tempat magang MBKM yang ada di Prodi Ilmu Pemerintahan ‘aneh’ karena berbeda dengan kebijakan Fakultas.
“Pemerintahan mungkin agak aneh ya sendiri karena semua Prodi tidak membatasi mau MBKM di mana, asal sesuai dengan kriteria yang sudah ada mulai dari pertukaran pelajar, membangun desa dan sebagainya dari delapan kategori yang sudah ada. Fakultas tidak pernah meminta Prodi atau mahasiswa secara spesifik dan membatasi mahasiswa hanya boleh ditempatkan di mana,” tegas Faisal (18/3).
Ia menyarankan agar mahasiswa dapat menyurati WD I mengenai keluhan-keluhan program MBKM agar menjadi evaluasi Fakultas terhadap semua Prodi. Faisal mengatakan jika tidak ada surat aduan maka keluhan seperti pembatasan tempat magang di Ilmu Pemerintahan tidak dapat diketahui olehnya. (nts/pii/los)