Lompat ke konten

Nyala

Illustrator: Sari Rimayanti

Oleh: Sara Salim*

Apa guna kita berteriak ketika para wakil rakyat sengaja menutup telinga-telinga mereka? Apa dengan turun ke jalan dan meluap habiskan segala kemuakan dapat menyentil moral yang sudah begitu bobroknya?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di awang-awang pikiran Renjana. Benarkah ia dan berbondong-bondong manusia yang turun ke jalan bisa mengubah sesuatu, barang sekecil biji zarrah. Sampai subuh datang, ia belum menemukan jawaban kecuali kata-kata Wiji Thukul, Aku berpikir tentang gerakan tapi mana mungkin kalau diam?”

***

Renjana berlari mundur menghindari serangan gas air mata yang ditembakkan. Beberapa mengaduh dan mengeluarkan carut marut sambil terus menjauh. Tapi kerumunan massa yang luar biasa besar membuatnya sulit bergerak, dengan tinggi 155 cm, ia kalah jauh dari orang-orang.

Suara-suara carut marut lantang terdengar dari segala penjuru. Belum lagi kabut asap karena bakar-bakaran ban di ujung sana. Di tengah riuh-riuh orang berlarian, Renjana tak sengaja menginjak bom molotov hingga membuat dia tergelincir. Ia segera bangun tapi kembali tertubruk jatuh oleh orang-orang yang panik.

Tiba-tiba seseorang menyeretnya dari belakang dengan cepat. Renjana bahkan tidak bisa melihat sayup-sayup wajah orang itu dan ke mana dia akan dibawa. Ah, tapi semalam aku sudah belajar menghadapi situasi kalau-kalau ditangkap aparat, pikirnya, masih dengan degup khawatir di dada.

Orang tersebut berhenti menyeret dan Renjana segera sadar, ia ternyata diseret keluar dari kerumunan orang-orang panik, menjauhi serangan aparat. Di sampingnya sudah duduk Sang Penolong dengan nafas tersengal. Bukan hanya itu, di pelipisnya mengucur darah segar seperti habis terkena serangan benda tumpul.

“Kau sendirian?” tanya laki-laki dengan almamater gombrong itu.

“Tidak, tapi aku tidak tahu di mana teman-temanku.”

Dia menunjuk tangan Renjana, mengisyaratkan ada luka yang belum disadarinya. “Mungkin ini tadi karena salah injak orang panik.”

Renjana membalas menunjuk pelipis orang itu.

“Oh, ini kena tongkat aparat,” jawabnya sambil mengelap darah yang sudah mengucur sampai dagu.

Di depan sana kericuhan makin menjadi-jadi. Massa yang tadi dipukul mundur kembali bergerak maju dan semua orang tampak membabi buta mengerahkan emosinya. Orang-orang yang belum makan sejak pagi ini sudah tidak bisa dibendung lagi. Habis, habislah.

“Kenapa kau sanggup seret aku sejauh ini?”

“Apalagi yang bisa aku lakukan?” tanyanya balik.

“Aku tidak melindungimu, aku melindungi apa yang tersisa. Kalau kau mati di sana, aku pun kehilangan satu suara. Dan suara itu kubutuhkan untuk melawan,” sambungnya.

“Orang-orang bilang kita tidak mengubah apa-apa dari perlawanan ini, katanya kita sama jahatnya dengan mereka yang membuat kita marah. Katanya ada cara lain, katanya kita tidak seharusnya ada di jalanan berteriak seperti orang gila kehabisan harapan.”

“Orang-orang yang bicara cuma ‘katanya’ itu, kebanyakan dari mereka makan enak tanpa khawatir memikirkan besok bisa makan atau tidak, kebanyakan dari mereka yang bicara ‘katanya’ itu sudah punya rencana liburan tanpa terbeban suatu waktu terusir dari kontrakan, jadi apalagi yang bisa mereka bikin selain berkomentar? Aku muak dan bukan kali ini saja. Aku bingung kenapa kita yang dikunci di rumah sendiri, dalam kondisi kelaparan dan ketidakpastian. Dengan orang sebanyak ini, spektrum emosi itu tidak bisa disamaratakan kecuali semangat yang kita bawa. Bangunlah, Renjana!”

Renjana langsung mengernyitkan dahi seketika mendengar namanya disebut. “Itu di bajumu,” kata lelaki itu lagi buat menjawab pertanyaan Renjana yang tersirat.

“Dengarkan aku, meski hasil kita hari ini cuma keringat, darah, asap, atau abu, teruslah bersuara dan berteriak, dan meski teriakan itu tidak didengar kuping-kuping congek yang suka tidur di kursi empuk itu, pasti akan terdengar di langit.”

Seketika itu pula mereka telah berdiri berhadap-hadapan. Mata mereka bertemu seolah sedang bersiap pada suatu pertempuran. Di sana, beberapa meter dari tempat mereka berdiri, iring-iringan tank keluar menumpas yang masih berteriak-teriak menuntut.

Belum sempat Renjana menjawab, laki-laki dengan tubuh kurus itu segera berlari mendekati kerumunan, sorai-sorai manusia yang menuntut keadilan. Pandangan Renjana terus mengikuti sampai ia benar-benar hilang di tengah orang-orang.

Dan itu adalah kalimat terakhirnya sebelum mereka akhirnya tidak pernah bertemu lagi.

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan, apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu: pemberontakan!”

-Wiji Thukul-

*)Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2018 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai Pimpinan Divisi Sastra LPM Perspektif.

(Visited 128 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?