Oleh: Mitha*
Derap-derap langkah berlari ke perhentian
Menemani datangnya Sang Mentari
Alarm hingga deru kendaraan sudah tak asing terdengar
Seakan sudah menjadi makanan keseharian
Bukan hanya aku dan kamu
Tapi dia, kita juga mereka
Tak pernah sepi dengan kesibukan masing-masing
Layaknya sebuah pusaran, berulang tak ada henti
Bergelut dengan target dan waktu
Semua serba tergesa-gesa
Memburu segala yang bisa diburu
Menumpuk hingga menjadi sandungan
Hingga pada suatu hari
Langkah saja yang pergi tanpa ditemani hati
Tak tahu lagi apa yang sedang dicari
Berjuang sekerasnya tanpa didampingi empati
Bagaimana bisa ini dikatakan hidup
Ketika orang berlomba memuaskan hidup itu sendiri
Ketika orang tidak lagi bisa bercermin
Ketika orang bahkan dapat memuaskan diri dengan mengorbankan yang lain
Tak jarang hasrat dipupuk dengan membenci
Demi memuaskan sebuah ambisi
Atau hanya mencari sesuap nasi
Padahal membenci butuh banyak energi
Hingga pada puncak tertinggi
Malah sepi yang dirasa
Lelah akan bermain peran
Hampa, seperti ada yang hilang
Dan seandainya saat itu datang
Yang dibutuhkan hanya kembali
Kembali melihat titik awal
Kembali merasakan kehangatan yang selama ini diabaikan
Kembali kepada Yang Mengembalikan Kehidupan
*)Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2017 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.