Lompat ke konten

Inkonsistensi Tata Kelola Kendaraan Brawijaya

LARANGAN – Plang larangan masuk tanpa stiker terpasang di area Gerbang Veteran UB (PERSPEKTIF/Ridha)

Malang, PERSPEKTIF– Universitas Brawijaya (UB) merupakan salah satu kampus yang menerima mahasiswa baru (maba) dengan jumlah yang cukup banyak setiap tahun.Dalam kurun dua tahun terakhir UB telah menerima sejumlah 11.313 maba pada 2017, 10.838 pada 2018 dan masih akan terus bertambah tahun ini. Dari jumlah tersebut, tidak sedikit mahasiswa yang membawa kendaraan pribadi. Hal ini memunculkan beberapa permasalahan, diantaranya meningkatnya volume kendaraan, menurunnya ketersediaan lahan parkir, serta meningkatnya jumlah kasus kehilangan kendaraan bermotor di area UB. Oleh sebab itu, kebijakan mengenai tata kelola kendaraan perlu dirumuskan.

Guna mengatasi permasalahan-permasalahan diatas, UB telah memberlakukan beberapa kebijakan mengenai tata kelola kendaraan berupa pengecekan identitas kendaraan pada saat keluar-masuk gerbang. Kebijakan ini mencakup pengecekan kendaraan menggunakan stiker UB dan juga Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Meskipun diterapkan untuk meningkatkan keamanan dan menekan kemacetan di UB, Munculnya dua kebijakan ini masih menuai kritik, salah satunya adalah tindak pengecekan yang dirasa kurang maksimal.

Kebijakan Pengecekan Menggunakan Stiker UB dan STNK

Stiker UB dan pengecekan STNK merupakan dua kebijakan yang difokuskan pada aktivitas keluar masuk  gerbang pada kendaraan bermotor. Kedua kebijakan ini bertujuan untuk memberikan identifikasi bahwa kendaraan tersebut milik civitas akademika UB. Kebijakan stiker UB sendiri sudah beberapa kali diberlakukan. Pertama kali diberlakukan sekitar tahun 2012 dengan model stiker berbayar. Setiap semester mahasiswa diharuskan membayar Rp50.000untukmendapatkanstikertersebut. Kebijakan ini kemudian dihentikan karena mendapat kritikan dari mahasiswa.

Pada 2015, kebijakan stiker UB diberlakukan kembali. Stiker bisa didapatkan secara gratisdan berfungsi sebagai tanda pengenal bagi civitas akademika UB pada saat memasuki gerbang kampus. Namun tak lama diberlakukan, kebijakan ini pun dihentikan karena banyaknya oknum yang mencuri stiker dengan merobeknya serta banyak pula yang memalsukan stiker untuk kemudian diperdagangkan.

Masih belum kapok, UB kembali memberlakukan kebijakan serupa pada awal 2019. Fungsinya masih sama dengan stiker 2015, namun diakui Muhammad Choiri, Koordinator Parkir UB bahwa kebijakan stiker tahun ini merupakan bentuk pengembangan dari tahun sebelumnya. Desain stiker yang baru akan menyulitkan untuk ditiru maupun dicuri. “Stiker tidak gampang dipalsu, tidak mudah dicuri. Kalau dulu kan dicuri bisa, sekarang tidak bisa karena desainnyayang putus-putus itu,” ungkapnya (6/5).

Sedangkan kebijakan pengecekan STNK pertama kali diberlakukan pada 2017. Fungsi kebijakan ini sama dengan kebijakan stiker UB, yaitu untuk proses pengecekan pada saat keluar-masuk gerbang. Kebijakan ini kemudian mandek dan dinilai tidak efektif karena kurangnya personel keamanan yang bertugas di area gerbang masuk.

Sholeh Hadi Pramono, Staf Ahli Wakil Rektor (WR) II menjelaskan bahwa tujuan diberlakukannya stiker serta pemeriksaan STNK adalah untuk keamanan dan kenyamanan warga UB. “Kebijakan stiker dan STNK itu dibuat untuk memperlancar sirkulasi kendaraan di Brawijaya, sehingga masyarakatnya bisa nyaman dan mengurangi kemacetan. Nah, stiker ini juga berfungsi untuk mengidentifikasi apakah yang bersangkutan ini adalah civitas akademika atau bukan,” tuturnya (20/5).

Inkonsistensi Kebijakan Pengecekan Stiker UB dan STNK

Kebijakan pengecekan kendaraan baik stiker maupun STNK dinilai kurang efektif karena tindakan pengecekannya sendiri tidak dilakukan secara konsisten. Sehingga tujuannya untuk menjaga keamanan serta kenyamanan warga UB pun tidak bisa tercapai dengan maksimal.

Erdyana Faridhotul Khusna, salah satu mahasiswa pengguna kendaraan bermotor Fakultas Ilmu Budaya (FIB) 2016 mengaku pengecekan gerbang cederung kurang konsisten, khususnya terkait kebijakan stiker tahun ini. Ia cukup menyayangkan kebijakan stiker ini terkesan sia-sia. “Dalam pengecekan di setiap gerbang juga kurang konsisten, apalagi yang di Gerbang Teknik itu sudah tidak pernah diperiksa. Stiker juga gitu, harusnya ada pengecekan. Jadi percuma banget dikasih stiker tapi tidak diperiksa,” ungkapnya (29/4).

Kritik mengenai kebijakan pengecekan kendaraan di pintu gerbang masuk UB ini juga datang dari Revan Christian Guniarto, mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) 2018. “Saya rasa apabila ingin memperketat keamanan, perketat saja di ranah fakultas daripada di gerbang masuk UB,” tuturnya (2/5).

Padahal terkait hal ini, Sholeh mengatakan dengan tegas bahwa pengecekan stiker maupun STNK itu bersifat wajib. “Pengecekan kendaraan di gerbang itu wajib. Tujuannya apa? Untuk keamanan, kalau tidak diperiksa apa konsekuensinya? Kendaraan bisa hilang. Apa yang diperiksa? Bisa STNK. Intinya, mahasiswa itu kuliah dengan aman, nyaman, tenang,” tegasnya.

Menurut Syambodo Rahman selaku Komandan Markas Komando (MAKO) UB, tidak perlu dilakukan pengecekan lagi jika mahasiswa sudah menempel stiker pada kendaraannya. “Sekarang kan sudah banyak mahasiswa yang stikernya sudah ditempel pada kendaraan, sehingga kalau memang sudah kelihatan ada stikernya tidak kami hentikan untuk memeriksa stiker tersebut,” ujarnya (26/4).

Menanggapi hal tersebut, Budi Sugiarto, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) UB berpendapat bahwa petugas seharusnya tetap melakukan pengecekan meskipun stiker sudah ditempel. “Harusnya kalau sudah pakai stiker, satpamnya harus melakukan pengecekan. Sekarang kan tidak, di awal diperiksa setelah itu tidak pernah lagi. Nah, itukan tidak benar. Seharusnya satpamnya ditegur supaya rutin mengadakan pengecekan. Kan dibayar mahal, semestinya harus melakukan pengecekan,” ujar Budi (29/4).

Budi mengakupernah mengusulkan adanya zona parkir terpusat yang berada di luar area kampus. Sehingga untuk mencapai fakultas masing-masing mahasiswa harus berjalan kaki, karena menurutnya area UB masih dalam jangkauan pejalan kaki. “Jumlah populasi mahasiswa dan kendaraan terus bertambah, tapi parkirnya tidak bertambah. Sekarang sudah tidak ada lagi lahan parkir. Kalau usulan saya dulu harusnya di luar parkirnya, tidak ada kendaraan di dalam karena menurut saya kampus ini masih dalam jangkauan jalan kaki. Paling panjang kampus ini 2 km dari ujung ke ujung. Kalau mau ideal ke depannya, mobil harusnya berhenti di zona parkir, sisanya ditempuh dengan jalan kaki,” jelasnya.

Ia menambahkan harusnya mahasiswa dilarang membawa kendaraan ke dalam area kampus, kecuali untuk alasan tertentu. “Nah, kebijakan kampus harusnya sudah tidak boleh membawa kendaraan bermotor, kecuali dosen, staff, dan mahasiswa yang lembur di kampus. Mereka punya izin untuk membawa kendaraan bermotor. Tapi yang lain parkir di luar,” tambahnya.

Terkait kinerja petugas, Sholeh mengungkapkan akan identifikasi, penyegaran, serta pembinaan pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat. “Ya nanti dicek, diidentifikasi, lalu kemudian diadakan penyegaran dan pembinaan,”  tutupnya (20/5).(rkd/jab/ptr)

(Visited 675 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?