Malang, PERSPEKTIF – Kasus Baiq Nuril yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan masyarakat menjadi topik kajian Komunitas Kalimetro bersama TAMMPIL (Tiang Malang Angkatan Muda Mahasiswa Indonesia Lombok) Malang pada Minggu (14/7) di Kafe Kalimetro, Malang. Acara yang bertajuk Diskusi Publik “Kemanakah Baiq Nuril Mencari Keadilan?” ini menghadirkan Farid Ramadhan dan A.S Rosyid sebagai pemantik. Keduanya merupakan praktisi dan akademisi dalam bidang hukum.
Farid beranggapan bahwa kasus Baiq Nuril hanya mengedepankan asas kepastian hukum berdasar Undang-Undang yang berlaku. Namun, upaya penegakan hukum kasus pelecehan seksual Baiq Nuril menjadi buram ketika ia yang seharusnya menjadi korban justru dijerat dengan tuntutan pidana.
“Penegakan kasus ini melupakan posisi Nuril sebagai korban,” ungkap Farid ketika memantik diskusi.
Farid menambahkan bahwa Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi sorotan dalam diskusi ini. Undang-undang tersebut ditujukan untuk menekan penyebaran konten pornografi dan menghukum pelakunya. Namun, di sisi lain, korban yang ingin melapor justru dipidana karena alat bukti pelecehan seksual yang mereka simpan –seperti yang dialami Baiq Nuril.
“UU ITE ibarat pisau bermata dua. Substansi hukum UU ITE perlu diperbaiki dengan justifikasi yang lebih jelas,” ujar Farid Ramadhan.
Di sisi lain, A.S Rosyid mengangap budaya patriarki menjadi faktor yang mendukung terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap Baiq Nuril. Ia menganggap budaya tersebut telah terinternalisasi dalam berbagai institusi dan organisasi di Indonesia dengan stigma dominasi maskulinitas.“Sayangnya, banyak institusi yang masih berpandangan patriarki dalam menjalankan fungsi hierarkisnya,” ujarnya.
Rosyid juga menganggap advokasi terhadap Nuril yang kurang, sehingga ia harus terjerat pasal UU ITE, walaupun ia menjadi korban pelecehan seksual. Hal tersebut tak terlepas dari posisi Nuril sebagai korban pula. Rosyid juga menganggap bahwa kasus sejenis juga terjadi pada banyak orang.
“Masih banyak korban lain di luar sana yang memiliki nasib seperti Nuril, tetapi tidak berani melapor,” Ungkap Rosyid.
Pada akhir sesi diskusi kedua pemantik sepakat bahwa amnesti adalah jalan terakhir bagi Nuril dalam memperoleh keadilan.
“Amnesti adalah harapan akhir bagi kasus Baiq Nuril,” tegas Rosyid.
“Saya juga berharap ada langkah advokasi nyata terhadap Nuril untuk memperoleh keadilan,” pungkas Farid.(mim)