Malang, PERSPEKTIF – Revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kota Batu memunculkan banyak polemik. Mulai dari perancangannya yang tidak berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tetapi berdasarkan Perda yang sudah dicabut, yaitu Perda No. 7 Tahun 2011, hingga dampak lingkungan yang bisa diakibatkan oleh revisi Perda ini.
Purnawan D Negara, Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur mengatakan bahwa revisi Perda ini akan menjadi bencana bagi warga Batu. “Pemkot Batu sebetulnya sedang merancangkan sebuah bencana untuk warga batu lewat tata ruang. Bencana yang dibuat, berdasarkan lewat kebijakan,” tegasnya (23/9).
Salah satu hal yang cukup terlihat pada revisi Perda ini adalah adanya rencana pembangunan geotermal. Geotermal merupakan sumber energi yang berasal dari panas bumi yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Sumber energi ini dinilai ramah lingkungan, jika dibandingankan dengan batu bara. “Sebetulnya tidak juga. Kenapa? Airnya sudah kritis,” celetuk Purnawan atau yang akrab dipanggil Pupung.
Hal ini karena dalam pemanfaatannya, geotermal membutuhkan banyak sekali air. Sedangkan kebutuhan air masayarakat Batu juga cukup banyak pula. “Pembangunan geotermal itu otomatis menyedot air yg sangat banyak, tidak mungkin cuma butuh air 10-20 liter saja. Otomatis kan pasokan air warga berkurang,” ungkap Aris Fuadin, dari Komunitas Nawakalam (17/9).
Hal ini diperparah dengan data yang didapat WALHI sepanjang 2007 hingga sekarang. Data tersebut menyebutkan bahwa terjadi penurunan jumlah titik mata air di sepanjang hulu sungai berantas, dari 520 menjadi 220 titik saja saat ini. Di Batu sendiri dari total 111 titik menjadi 57 titik saja sekarang. “Grafiknya turun, krisis air kita. Airnya harusnya untuk kehidupan, sekarang airnya untuk listrik,” kritik Pupung.
Alirkan – Aliran sumber air gemulo disalurkan ke beberapa pipa menuju beberapa daerah sekitar Batu, salah satunya Malang (PERSPEKTIF/Putri)
Terkait rencana pembengunan geotermal ini, Genta Mahardhika Rozalinna, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) menyarankan pemerintah untuk terbuka dengan masyarakat. Listrik yang dihasilkan geotermal ini nantinya untuk siapa. Lalu kira-kira berapa liter air yang akan digunakan. “Apakah energi terbarukan ini tidak merugikan yang lain, dalam artian tidak menghilangkan sumber mata air yang lain. Jangan sampai semua orang bisa menghidupkan listrik tetapi tidak bisa minum,” ungkapnya (25/9).
Selain geotermal, dalam revisi Perda yang baru tersebut juga menyebutkan tentang pembangunan kereta gantung. Pupung mengungkapkan rasa keberatannya terkait rencana kebijakan ini. Ia mengatakan ketika ada kereta gantung, usaha-usaha kecil milik warga akan terancam mati. Hal ini karena dengan menggunakan kereta gantung, pengunjung akan langsung sampai ke titik-titik wisata tanpa melewati usaha-usaha kecil milik warga.
“Hal yang sama terjadi di Gunung ijen. Gunung ijen itu juga akan dibangun kereta gantung. Selama ini pemandu-pemandu wisata itu mengantar sampai puncak, penjual-penjual itu berjualan, dengan adanya kereta gantung pemandu wisata lokal yang jumlahnya ratusan, mati,” sesal Pupung.
Terkait hal tersebut, Genta pun mempertanyakan, “Apakah kemudian kebijakan-kebijakan yang dibuat itu sudah berdasarkan pada keinginan masyarakat. Potensi masyarakatnya itu apa secara lokal,” ungkapnya. Ia juga juga bertanya-tanya, jika dikatakan bahwa Batu itu memiliki dua potensi, potensi pertanian dan pariwisata. Tetapi pariwisata yang seperti apa? “Apakah pariwisata yang memanfaatkan alam, atau kah sebenarnya pariwisata buatan,” tanyanya.
Genta menegaskan bahwa pemerintah harus lebih mendukung masyarakat, bukannya condong kepada korporat. Kalau pariwisata Batu berkembang, masyarakat Kota Batu sendiri lah yang seharusnya ikut mengembangkan. “Jangan sampai korporat terlalu banyak ambil porsi. Kalaupun korporat mengambil porsi dalam pariwisata Kota Batu, setidaknya pekerjakanlah orang-orang sekitar,” tegasnya
Menanggapi rencana kebijakan diatas, Pupung berkomentar singkat. “Ini kapitalisasi yang jelas,” ujarnya. Selain geotermal dan kereta gantung, ia juga menyoroti adanya pertambangan di hutan lindung. “Prinsipnya, kawasan hutan lindung tidak boleh sama sekali ada tambang. Tapi dengan Perda ini, kalau disitu ada tambang, diizinkan. Dengan catatan, ada izin dari Menteri dengan sistem pinjam pakai,” jelasnya.
Oleh karena itu, status hutan lindung harus diturunkan dulu menjadi hutan produksi. Sedangkan menurut Pupung, hutan lindung di Jawa sangatlah sedikit. Kira-kira hanya 20% dari keseluruhan hutan di Pulau Jawa.
Menanggapi ini, Mohammad Fajar Shodiq Ramadlan, Dosen Politik Ruang FISIP UB menghubungkannya dengan materi. Ia menjelaskan jika suatu wilayah hanya menjadi hutan, tidak memberikan keuntungan yang besar secara material. Berbeda dengan wilayah hutan yang telah menjadi pabrik atau tempat wisata. “Maka disitu ada tambahan pendapatan bagi daerah, dari retribusi, pajak, kemudian penyerapan tenaga kerja jadi, ada logika pertumbuhan disitu,” ujarnya (19/9)
Meskipun begitu, Fajar menegaskan bahwa wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah perhutanan, persawahan, pertanian berkelanjutan dalam konteks konservasi, secara aturan awal tidak boleh diubah. Wilayah konservasi atau wilayah berkelanjutan harus sesuai dengan fungsinya. Logika pertumbuhan didalam pengelolaan lahan dan ruang itu jadi salah satu persoalan dalam konteks ruang di Indonesia, tidak hanya di Batu atau Jawa Timur.
Terkait dengan dugaan adanya unsur kapitalis pada revisi Perda RTRW ini, Pupung mengatakan bahwa uang bisa membutakan nurani. “Ketika kornea mata berubah menjadi mata uang, nurani tidak bisa lagi melihat dengan terang karena yang terlihat semuanya adalah uang. Siapa yang menguasai ruang, dia menguasai uang. Sehingga tata ruang menjadi tata uang,” pungkasnya. (rkd/ais/chr/ptr)