Polemik perubahan status Universitas Brawijaya (UB) dari Badan Layanan Umum (BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) terus mengalami perkembangan. Wacana perubahan UB menjadi PTN-BH pertama kali muncul ketika Rektor UB pada waktu itu membentuk Tim Persiapan PTN-BH pada November 2016. PTN-BH sendiri merupakan status perguruan tinggi negeri yang berbadan hukum dan memiliki otonomi sendiri.
Sejak Rektor UB membentuk Tim Persiapan PTN-BH, muncul pro dan kontra terkait wacana perubahan status UB. Sebagian besar mahasiswa menolak perubahan status tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Hampir di setiap aksi, isu penolakan perubahan status UB ini muncul. Alasan penolakan mahasiswa ini didominasi oleh aspek keuangan. Mahasiswa berpendapat bahwa perubahan status UB menjadi PTN-BH akan memberikan kerugian terhadap mereka. Isu yang diangkat didominasi oleh aspek keuangan, mulai dari naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga isu liberalisasi pendidikan. Sedangkan pihak universitas mengatakan perubahan status UB akan memberikan keuntungan, berupa otonomi kampus.
Pada Pasal 1 Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) No 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi menyatakan bahwa PTN berbadan hukum adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah dan berstatus sebagai subjek hukum yang otonom. Selain itu peraturan tentang PTN-BH juga tertuang dalam Pasal 76 Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa perguruan tinggi yang berstatus PTN-BH memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, perguruan tinggi juga akan memiliki hak dan kemandirian untuk melakukan pengelolaan dalam berbagai bidang, seperti keuangan dan ketenagakerjaan. Namun terdapat masalah dalam dasar hukum pengelolaan keuangan perguruan tinggi dengan status PTN-BH. Adanya kontradiksi hukum antara UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dari pemaparan di atas, Perspektif melakukan riset untuk mengetahui akar permasalahan tersebut. Selain itu, Perspektif juga mencoba menganalisa masalah lain apa yang akan timbul. Untuk mendapatkan jawaban atas masalah tersebut, Perspektif mengumpulkan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, jurnal, dan literatur yang berkaitan.
Perubahan paling mendasar dalam pengelolaan keuangan perguruan tinggi berstatus PTN-BH dan BLU adalah penerimaan anggaran dari pemerintah. Dalam salah satu literatur, ditulis oleh Ryan Surya Pradhana yang berjudul ‘Otonomi Pengelolaan Keuangan Perguruan Negeri Badan Hukum’, menyebutkan bahwa terdapat kerancuan dalam dasar hukum pengelolaan keuangan pada perguruan tinggi yang memiliki status PTN-BH.
Terdapat dua UU yang menjadi dasar PTN-BH dalam mengelola keuangan, yaitu UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam UU Dikti, PTN-BH dikategorikan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Konsep ini sama dengan status Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, tertuang dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Tujuanya agar pengelolaan keuangan pada perguruan tinggi berstatus PTN-BH dapat berjalan mandiri. Namun terdapat inkonsistensi dalam pelaksanaanya. Sesuai dengan Pasal 83 UU No. 12 Tahun 2012, pemerintah dapat mengalokasikan dana dari APBN/APBD untuk membiayai perguruan tinggi. Sedangkan Pasal 89 UU No. 12 Tahun 2012 menyebutkan pengalokasian dana APBN/APBD tersebut digunakan untuk membiayai dosen, tenaga kependidikan, dan investasi serta pengembangan. Terlebih dalam pasal tersebut juga dijelaskan bahwa pemerintah dapat memberikan dana kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang bersumber dari dana kementerian diluar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Permasalahan tersebut memiliki dampak pada penentuan kriteria audit keuangan perguruan tinggi, khususnya yang berstatus PTN-BH.
Permasalahan lain muncul ketika perguruan tinggi yang sudah berstatus PTN-BH membentuk sebuah badan usaha. Berdasarkan peraturan dan UndangUndang, perguruan tinggi diperbolehkan untuk mendirikan dan juga memiliki badan usaha. Tujuannya untuk menjadi layanan penunjang dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Apabila dilihat berdasarkan UU No 17 Tahun 2003, maka badan usaha yang didirikan oleh PTN-BH bisa disamakan statusnya sebagai Badan Usaha Negara. Hal tersebut terjadi karena kekayaan yang dimiliki oleh PTN-BH merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Namun, hal tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari UU No 12 Tahun 2012. Badan usaha yang didirikan oleh PTN-BH akan menjadi kewenangan perguruan tinggi tersebut sepenuhnya. Negara tidak dapat mencampuri pengelolaan badan usaha tersebut.
Adanya Undang-Undang yang saling kontradiktif terkait pengelolaan keuangan PTN-BH dan masalah-masalah lain yang ditimbulkan menunjukkan tidak sempurnanya dasar hukum yang dibuat oleh pemerintah. Seharusnya, pemerintah mengkaji ulang Undang-Undang tersebut mengingat adanya kerancuan dalam Undang-Undang tersebut.