Oleh: Kendita Agustin Maudy Apsari*
Sebagai seorang mahasiswa, mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) merupakan suatu kewajib- an. Pengisian KRS dilakukan guna menjadwal dan menyusun mata kuliah maupun menyesuaikan kelas di hari dan tanggal yang diinginkan. Tentu saja sesuai dengan mata kuliah yang ditawarkan dan persetujuan dari dosen pembimbing masing-masing. KRS sendiri seolah menjadi momok bagi mahasiswa, biasanya mahasiswa akan menganalogikan KRS sebagai perang. Karena mahasiswa akan berusaha secepat dan sebisa mungkin untuk mendapatkan jadwal yang diinginkannya. Jadi, KRS seolah menjadi momentum yang bisa dijadikan bahan bercandaan dengan menjuluki mahasiswa sebagai “pejuang KRS”. Menarik, bisa dijadikan intermezzo yang lucu.
Dalam tata caranya, maha- siswa akan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) terlebih dahulu untuk bisa melakukan KRS. Ada berbagai sistem KRS yang diterapkan oleh universitas. Mulai dari yang pembayaran UKT dan penyusunan KRS memiliki jadwal yang berbeda hingga pembayaran UKT dan penyusunan KRS memiliki jadwal yang sama.
Perbedaan penjadwalan pem bayaran UKT dan penyusunan KRS yang berbeda ini bisa dikatakan adil. Mengapa? Karena mahasiswa memiliki waktu sendiri untuk membayar UKT, sehingga mahasiswa yang belum bisa membayar UKT di hari pertama memiliki waktu banyak tanpa takut didahului temannya yang sudah membayar. Hingga pada akhirnya jadwal penyusunan KRS, bukan berarti akan tenang-tenang saja. Namun inilah saatnya perang. Mereka akan secepat mungkin mengoneksikan laptop maupun ponsel mereka dengan jaringan internet. Tentu saja ini karena sistem KRS yang sudah online maka diperlukan jaringan internet. Mahasiswa pun berlomba-lomba mulai dari mengisi paket data hingga mencari jaringan Wifi atau bahkan menitipkan KRS kepada temannya agar bisa satu kelas.
Sedangkan, pada sistem KRS dengan jadwal pembayaran UKT dan penyusunan KRS yang sama mungkin akan memberatkan mahasiswa yang belum bisa mem- bayar di hari pertama. Setiap mahasiswa akan mencoba membayar secepat mungkin agar bisa melakukan KRS secepat mungkin pula. Kalau belum bayar tentu belum bisa KRS, sedangkan teman- teman lain sudah semangat empat lima mengisi KRS nya. Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum bisa membayar hari itu juga? mungkin karena ada kebutuhan lain ataupun menunggu hasil penurunan UKT mereka. Ketika kelas sudah memenuhi kuota maka mahasiswa akan mengajukan pembukaan kelas baru. Kemudian menunggu lagi, tidak masalah untuk menunggu. Mereka tidak dapat menyesuaikan jadwal yang sudah dibuat karena kelas yang mereka inginkan tidak bisa diubah karena hanya kelas itu yang tersisa. Padahal ma- ta kuliahnya wajib. Apakah harus merelakan kelas tersebut dan menunggu akan duduk bersama adik tingkat di semester selanjutnya?
Mungkin bisa berlaku sama dengan sistem KRS yang satunya. Mereka yang tidak memiliki kuota internet atau jaringan wifi akan merasa tertinggal dengan teman- teman yang sudah terkoneksi dengan internet. Tetapi, perbandingan harga kuota dan pembayaran UKT tentu berbeda. Mahasiswa bisa menyisihkan uangnya untuk membeli kuota internet yang harganya jauh lebih murah dari UKT, tentu saja jauh.
Sebenarnya masalahnya adalah mahasiswa tidak bisa mendapatkan jadwal yang mereka inginkan, sehingga mau tidak mau harus ikut dengan jadwal yang tersisa. Pada sisi universitas mereka sudah mempertimbangkan matang-matang hingga bisa mengambil sistem yang pertama maupun yang kedua. Begitupun mahasiswa ada yang biasa saja dengan sistem KRS yang pertama maupun kedua, ada pula yang keberatan.
Intinya, anatara kedua sistem tersebut, yang dipilih oleh univer-sitas. Penyusunan Kartu Rencana Studi itu adalah saat-saat mahasiswa berperang. Kecuali sudah dipaketkan oleh fakultas. Hem sudah habis. Lalu bagaimana jika kelas yang diambil benar-benar sisa dan ada beberapa mata kuliah yang jadwalnya bertabrakan? Sedangkan jadwalnya benar-benar tidak bisa diubah karena hanya kelas itu yang tersisa. Padahal mata kuliahnya wajib. Apakah harus merelakan kelas tersebut dan menunggu akan duduk bersama adik tingkat di semester selanjutnya?
Mungkin bisa berlaku sama dengan sistem KRS yang satunya. Mereka yang tidak memiliki kuota internet atau jaringan wifi akan merasa tertinggal dengan teman- teman yang sudah terkoneksi dengan internet. Tetapi, perbandingan harga kuota dan pembayaran UKT tentu berbeda. Maha- siswa bisa menyisihkan uangnya untuk membeli kuota internet yang harganya jauh lebih murah dari UKT, tentu saja jauh
Sebenarnya masalahnya adalah mahasiswa tidak bisa mendapatkan jadwal yang mereka inginkan, sehingga mau tidak mau harus ikut dengan jadwal yang tersisa. Pada sisi universitas mereka sudah mempertimbangkan matang-matang hingga bisa mengambil sistem yang pertama maupun yang kedua. Begitupun mahasiswa ada yang biasa saja dengan sistem KRS yang pertama maupun kedua, ada pula yang keberatan.
Intinya, anatara kedua sistem tersebut, yang dipilih oleh universitas. Penyusunan Kartu Rencana Studi itu adalah saat-saat mahasiswa berperang. Kecuali sudah dipaketkan oleh fakultas. Hem.
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UB 2016. Anggota Divisi Sastra LPM Perspektif.
Apakah setelah membayar UKT kita masih dikenakan biaya KRS?
Jika iya, berapa besaran nya ?
Apakah di hitung persemester atau bagaimana?
Trimakasih