Lompat ke konten

DWARFSHHHON

Ilustrator: Shadinta Aulia & Patricia Citraning

oleh : Debby Kusuma Wardhani*

Dwarfshhhon. Ada yang pernah mendengar istilah ini? Tentu saja tidak! Para manusia payah di luar sana tentu tidak mengerti istilah itu. Siapa kami dan di mana kami berada tentu mereka tidak tahu. Dwarfshhhon adalah distrik di mana kami tinggal. Kami adalah makhluk-makhluk kerdil. Sangat kerdil. Dwarfshhhonzens—sebutan untuk penghuni Dwarfshhhon, disebut dewasa jika tinggi badannya sudah mencapai dua puluh senti. Jika belum mencapai duua puluh senti, maka disebut anak-anak. Sedangkan Dwarfshhhonzens tua ditujukan pada mereka yang tinggi badannya mencapai dua tujuh hingga tiga lima senti. Sangat jarang Dwarfshhhonzens tua memiliki tinggi badan di atas tiga lima senti, perbandingannya 1:250.

Secara anatomi, kami adalah manusia. Kami memiliki dua tangan, dua kaki, dua bola mata, jantung, hati dan semua yang dimiliki manusia. Hanya saja tubuh kami yang aneh dan tidak dapat bertumbuh menyebabkan kami dibuang dan pada akhirnya kami berkumpul dan mendirikan satu bangsa yang besar. Bangsa kami sangat makmur, kami hidup berdampingan dengan sejahtera, sampai pada hari itu segalanya berubah.

                                                            *****

“Chicco bangunlah! Sudah pukul enam pagi. Mandi dan bantu ibu menyiapkan sarapan!” Suara nyaring ibuku membangunkanku. Dengan malas kulangkahkan kakiku menuju toilet dan mandi. Selepas mandi kuhampiri ibuku di dapur. Ibu tengah menyiapkan sarapan. Menu sarapan yang setiap harinya selalu sama, karena hanya menu inilah yang disukai para Dwarfshhhonzens, es krim. Setiap hari, setiap saat, kami makan es krim. Yang membedakan adalah varian rasanya. Dan pagi ini ibu menyiapkan es krim rasa barley mint dan rasa kopi, sama seperti kemarin.

“Kenapa barley mint dan kopi lagi, Bu? Aku ingin es krim rasa ayam.”

“Hei, sudahlah! Kau hanya tinggal makan. Persediaan es krim di distrik ini sudah menipis. Berhenti mengeluh dan makanlah!”

Ibuku selalu saja seperti itu, selalu beralasan bahwa es krim di distrik ini menipis, padahal sebenarnya tidak seperti itu. Es krim di distrik ini disubsidi oleh pemerintah dan kami—para Dwarfshhhonzens—bebas memilih varian rasa sesuai kesepakatan tiap-tiap keluarga.

Setiap bulannya, ibuku selalu meminta rasa kopi, barley mint, wortel, bayam, merica, pokoknya rasa yang tidak kusukai. Dan kini aku harus puas dengan semangkuk es krim rasa barley mint dan kopi ini. Benar-benar memuakkan.

“Hei, kenapa sedari tadi kau hanya mengaduk-aduk es krimmu? Cepat makan sebelum mencair!”

“Aku tidak suka es krim ini, Ayah. Aku ingin es krim rasa ayam.”

“Ayah tahu, Nak, pasti sangat memuakkan bila makan es krim yang sama setiap harinya. Ayah janji bulan depan akan memintakanmu es krim rasa ayam.” Ayahku adalah satu-satunya di rumah ini yang paling mengerti aku.

Tok-tok.

Suara ketukan di pintu membuyarkan percakapanku dengan ayah. Ketika pintu kubuka, ternyata kawanku, Oliver namanya, tengah berdiri dibalik pintu dengan perut gembul dan mulut yang penuh dengan es krim. “Hei, Chicco, persediaan es krim di rumahku habis. Boleh aku minta es krimmu?”

“Tentu saja boleh tapi hanya rasa barley mint dan kopi yang kupunya.”

“Hah? Hanya itu?”

“Masuk dan lihatlah sendiri!” Kataku sembari mempersilakan Oliver masuk.

“Baik… baik, aku percaya padamu. Hei! aku baru ingat, hari ini ada pesta besar-besaran di balaikota. Pasti banyak es krim di sana. Mau ikut aku ke balaikota?”

“Bukankah pesta itu hanya untuk pegawai pemerintah?”

“Ah… gampang itu, kita bisa menyelinap.”

“Oh, berani sekali kamu Oliver. Tapi… baiklah aku ikut.”

Dengan semangat kuikuti si Oliver menuju balaikota. Hari ini adalah hari pelantikan beberapa Dwarfshhhonzens yang telah memenuhi syarat menjadi Dwarfshhhonzens tua. Biasanya setelah pelantikan akan diadakan syukuran dan pesta dari keluarga yang bersangkutan di halaman balaikota. Pasti banyak es krim yang enak di sana, batinku dengan riang. Aku dan Oliver berjalan cepat, berlari lebih tepatnya, melewati akar-akar pohon yang menyembul di permukaan tanah dan merintangi kami. Sembari menikmati angin yang membelai tubuh kecil kami. Kami tertawa-tawa dan tanpa sadar telah tiba di pelataran balaikota.

Suasana balaikota sangat ramai. Berbagai hiasan mewah dan pernak-pernik memeriahkan pesta. Beberapa meja penuh dengan boks-boks berisi es krim aneka rasa. Aroma coklat leleh turut meramaikan suasana pagi itu. Aku dan Oliver berpisah dan segera membaur dengan kerumunan Dwarfshhhonzens agar tidak dicurigai oleh pihak keamanan balaikota. Untuk pemanasan kuambil semangkuk es krim rasa tomat yang bertengger di atas meja kecil. Kemudian tangan mungilku mengambil semangkuk es krim lagi. Rasa ayam tepatnya, kesukaanku. Es krimnya benar-benar lembut dan enak.

Tetapi, tiba-tiba seorang paman datang sambil berteriak, “persediaa  es krim di Dwarfshhhon habis!” Teriakan paman itu membuyarkan keasyikan kami semua. Suasana menjadi hening sebentar. Kami semua saling bertukar pandang dengan heran.

Paman itu kemudian berkata lagi, “ini nyata. Sisa es krim di Dwarfshhhon hanya yang ada di depan kalian.” Tiba-tiba para Dwarfshhhonzens, termasuk aku berteriak panik ketakutan. Bahkan beberapa Dwarfshhhonzens menjarah apa yang ada di hadapannya. Banyak di antara kami yang berteriak histeris bahkan menangis.

Tak lama kemudian, satu per satu penduduk mulai berdatangan dan mereka merintih kepada walikota untuk diberi makan. “Pak walikota, kasihani lah kami, kami belum sarapan, kami lapar!” teriak salah satu paman berjenggot.

 “Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini, mengapa persediaan es krim bisa habis?” timpal gadis berbaju merah.

“Rakyatku, tenanglah!” suara walikota memecah keributan kami. “Sebenarnya pabrik es krim yang kita punya telah terbakar 3 hari yang lalu. Usut punya usut, anak-anak manusia yang  jahil bermain kembang api dan mercon hingga ke wilayah kita. Meskipun pabrik tidak hancur seluruhnya, namun tetap saja kerusakan itu menghambat proses produksi.”

“Lalu kami harus bagaimana, Pak?”

“Jangan khawatir, kemarin malam aku telah mengutus lima ratus Dwarfshhhonzens untuk menyeberang ke dunia manusia dan mengambil es krim sebanyak yang mereka bisa temukan, sembari pekerjaku membenahi pabrik yang terbakar.”

“Tapi, beberapa waktu ini apa yang harus kami makan?” sahutku.

“Masuklah ke kantorku. Aku masih memiliki persediaan es krim untuk tiga hari ke  depan. Untuk menghemat persediaan es krim, setiap keluarga diwajibkan mengambil 2 kotak es krim.”

Keesokan paginya, kami bertiga—ayah, ibu dan aku—sarapan bersaam di ruang makan. Pagi ini kami makan es krim rasa kedelai. Sejujurnya rasa kedelai tidak lah enak, tetapi mau bagaimana lagi? Di situasi seperti ini tentunya aku tidak bisa memaksakan kehendakku.

Dua hari kemudian, persediaan es krim di keluargaku habis. Ibuku dan aku datang ke balaikota tetapi ternyata persediaan es krim juga habis. Kuhampiri rumah Oliver untuk meminta es krim, tetapi ternyata persediaan es krim di rumahnya sudah habis sejak kemarin pagi. Sekarang Ia malah menangis di hadapanku. Tangis seorang yang kelaparan. Begitu pula dengan tetangga yang lain yang mulai mengeluh kelaparan.

Hari demi hari kami lalui dengan rasa lapar. Para pekerja tak bisa melanjutkan pembangunan pabrik tanpa asupan energi. Perut kami setiap hari menjerit minta diberi makan. Tetapi apa daya, para utusan walikota belum juga kembali. Satu pun belum. Hingga akhirnya, kami terpaksa memakan dedaunan pohon yang jatuh.

Hari berganti bulan, utusan walikota belum juga kembali. Walikota berupaya mencari jejak mereka, tetapi gagal. Mungkinkah mereka dibunuh oleh manusia? Tidak ada yang tahu mengenai hal ini.

Kami, para Dwarfshhhonzens, semakin kurus. Bahkan banyak di antara kami yang sudah tidak kuat dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

Mentari di angkasa seolah tersenyum pada distrik kami sebelum hilang di balik megahnya gunung. Aku berkata dalam hati, mungkinkah ini senja terakhirku? Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku sudah tidak kuat lagi. Begitu juga dengan Dwarfshhhonzens yang tersisa, yang kini terbelenggu oleh ketidakpastian akan harapan. Kubaringkan tubuhku dan kupejamkan mataku menikmati sisa hari itu.

*****

*Penulis merupakan mahasiswa program studi ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saat ini sedang aktif sebagai anggota LPM Perspektif divisi litbang

(Visited 111 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?