Malang, PERSPEKTIF -Pemilihan Rektor (Pilrek) Universitas Brawijaya (UB) 2018 menghapus sistem grassroot, yang berarti tidak melibatkan warga kampus sendiri seperti dosen dan mahasiswa. Penghapusan sistem grassroot juga menghapuskan adanya sosialisasi terkait pilrek bahkan calon tetap rektor. Hal tersebut mendapat tanggapan dari beberapa mahasiswa.
“Tidak adanya penjaringan dari grassroot ini, yang terpilih tidak akan representative. Karena yang memilih hanya jajaran senat dan mentri dikti,” ungkap Muhammad Nur Fauzan, Presiden Eksekutif Mahasiswa UB.
Ia juga menambahkan bahwa penghapusan proses penjaringan dari bawah ini tidak hanya merugikan mahasiswa tetapi juga karyawan dan dosen.
“Idealnya teman-teman UKM, EM, DPM, BEM fakultas harus milih, karyawan UB minimal setingkat kasubag dan dosen-dosen juga harus memilih,” ungkap Fauzan.
Tanggapan senada juga berasal dari Ikhwanul Maarif Harahap Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP).
“Sebenarnya pilrek ini untuk siapa. Apakah pilrek ini hanya jabatan formal yang dimiliki kemenristekdikti atau rektor ini menjadi salah salah satu ikon dari universitas maupun penyambung lidah yang ada di universitas tersebut,” ujar Ikhwanul Maarif Harahap.
Lebih lanjut lagi Ikhwanul menjelaskan, ketika mekanisme yang dilakukan ini menghilangkan suara mahasiswa, maka secara simbolik rektor ini hanya milik kemerinstekdikti. Karena secara asas demokrasi mahasiswa tidak dilibatkan dalam pemilihan pimpinan universitas secara langsung. Akan tetapi hal tersebut dihapuskan oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
“Panitia harus berani merubah regulasi tersebut. Benar-benar melibatkan mahasiswa baik penyampaian aspirasi atau penyampaian permasalahan yang sering terjadi di lingkungan mahasiswa. Karena tidak hanya berbicara sebatas birokratis tetapi kebutuhan mahasiswa juga harus diperhatikan,” jelas Ikhwanul.
Fauzan mengungkapkan sebelumnya telah ada komunikasi antara pihak EM dengan Iwan Triyuwono, ketua panitia pilrek 2018 terkait permasalahan tersebut.
“Jawabannya dari beliau lucu, kalau dari dikti menyampaikan, ini bukan proses pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya pemilihan rektor mengapa harus ada begitu (sistem grasroot),” tutup Fauzan.(ttm/wur)