Malang, PERSPEKTIF – Kehadiran aset Universitas Brawijaya (UB) menuai protes dari warga sekitar, diantaranya adalah UB Forest dan Rumah Sakit (RS) UB. Petani kopi di UB Forest mengeluhkan perpindahan kepemilikan lahan tanpa adanya sosialisasi. Sedangkan warga perumahan Griya Shanta, mengaku terganggu dengan kehadiran RS UB karena menimbulkan beberapa masalah.
5 Januari 2016 lalu, Kementrian Lingkungan Hidup menghibahkan UB hutan seluas 554 hektare yang berada di daerah Karang Ploso, Desa Sumbersari. Dalam pemanfaatannya UB bekerjasama dengan Perusahaan Hutan Indonesia (Perhutani).
“Perhutani itu juga ingin memanfaatkan hutan dia yang produktif, maupun hutan lindung secara maksimal. Maka mereka melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi,” terang Mochammad Sasmito Djati, Wakil Rektor IV bidang Perencanaan dan Kerjasama.
Nosumari, salah satu petani kopi di lahan tersebut, mengaku masyarakat tidak tahu bahwa lahan tempatnya sering bertani kopi telah pindah kepemilikan ke pihak UB.
“Perubahan itu tidak tahu, tiba-tiba sudah jadi punya UB, gak dilibatkan (sosialisasi), katanya itu urusan menteri, orang Perhutani saja tidak tahu-menahu,” ungkap Nosumari.
Sejak kepemilikan lahan berpindah ke pihak UB, para petani yang bercocok tanam di lahan tersebut harus menyetor 30% keuntungannya ke pihak UB.
“Kalau kopi arabika itu Rp.7000, merah aja tapi, kalau ditengkulak cuma Rp.5000, tapi kan Rp.7000 diambil 30%, terus kalo kopi robusta kan nggak sama, kopi robusta itu di UB dijual cuma Rp.4750, tapi kalau diluar Rp.5000,” tambah Nosumari.
Ia menambahkan bahwa ada pemotongan sebesar 30% setiap penyetoran sebesar satu kwintal. Hal tersebut berbeda dengan dahulu ketika masih kepemilikan dari Perhutani yang hanya 25% namun tidak selalu sebesar itu. Selain itu rencananya tahun depan masyarakat yang menanam selain tanaman kopi akan memberikan 15% hasil penjualan kepada UB.
“Katanya kalau panen cabe, terus kayak pisang, itu akan kena potong 15% lagi. Tapi itu untuk tahun depan,” ungkapnya
Pihak UB memang ingin menjadikan UB Forest sebagai sumber pendapatannya. Mochammad Sasmito Djati, mengungkapkan, sudah ada rencana pengembangan untuk menjadikan UB Forest sebagai agrowisata.
“Jadi agrowisata ada konsep agriculture dan juga tourismnya. Misalnya nanti untuk tempat penginapan, tempat memetik kopi dan lain sebagainya,” tambah Sasmito yang ditemui diruangannya.
Disisi lain, protes juga datang dari warga perumahan Griya Shanta, tempat bangunan RS UB berdiri. Haryono, salah satu warga di perumahan Griya Shanta, mengaku terganggu dengan bunyi bising yang dihasilkan oleh pompa pembangkit listrik yang beroperasi pada malam harinya.
RS UB memang sempat bermasalah dalam proses pembangunannya. Tahun 2009 lalu, rencana pembangunan RS UB di sekitar perumahan Griya Shanta mendapat tentangan dari warga sekitar. Pada tahun 2011, RS UB bermasalah pada regulasi, yakni belum mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Terus itu, kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) katanya belum menerima, dari pasien yang pakek BPJS bisa ke situ, nah itu kan belum, pasien BPJS belum menerima,” pungkasnya (ttm/yud/knd/lta)