Lompat ke konten

PPMI Kota Malang dan AJI Malang Soroti Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

MENJELASKAN - Dhandy Dwi Laksono tengah menjelaskan tuduhan melakukan pencemaran nama baik melalui tulisan opininya berjudul “Suu Kyi dan Megawati” di lama Facebooknya (13/9). (PERSPEKTIF, Ana)

Malang, PERSPEKTIF – Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar diskusi terbuka bertema “Kebebasan  Berpendapat di Era Digital” di Kampus III Universitas Widyagama pada Rabu (13/9), sebagai bentuk keprihatinan atas pembungkaman kebebasan berpendapat yang menimpa beberapa tokoh di Indonesia.

Dalam siaran pers disebutkan bahwa tiga tahun terakhir terdapat kasus kriminalisasi dan tuduhan pencemaran nama baik yang dialami oleh Saut Situmorang (sastrawan dari Yogyakarta), Adlun Fiqri (aktivis literasi di Ternate) hingga Muhadkly Acho (komedian). Kasus terbaru, Dhandy Dwi Laksono, praktisi dokumenter dan pendiri Watchdoc Documentary Maker, dituduh melakukan pencemaran nama baik melalui tulisan opininya berjudul “Suu Kyi dan Megawati” di lama Facebooknya. Mereka dijerat pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) tahun 2008.

Dhandy dilaporkan oleh DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Redpem) Jawa Timur karena dituduh menghina dan menyebarkan ujaran kebencian kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, dan Presiden Jokowi. Padahal menurut Dhandy, hal ini dianggap menyalahi aturan dalam amademen UU ITE dimana korban sendirilah yang harusnya melapor. Akan tetapi Dhandy tidak melihat usaha dari ketiga pihak yang bersangkutan untuk menyatakan, apakah mereka tidak merasa terwakili oleh aduan pelapor atau kejengkelan atas tulisannya sehingga melaporkannya.

“Saya tidak menangkap adanya sinyal itu. Ini terlihat seolah memberikan lampu hijau untuk kasus ini tetap diteruskan. Jika sudah begitu, ini bisa saja menjadi varian baru bentuk represi negara dengan menggunakan pihak lain agar negara atau kekuasaan tetap terlihat demokratis,” jelas Dandhy dalam diskusi yang dimulai pukul 13.00 WIB itu.

Disisi lain, ia juga menyampaikan kekhawatiran akan publik yang tidak menganggap hal ini sebagai hal yang serius. Padahal, kasus serupa juga bisa menjerat siapa saja.

“Saya beruntung masih memiliki protect social.  Yang mengkhawatirkan adalah jika kasus serupa terjadi pada masyarakat biasa, masyarakat yang tidak memiliki protect social,” terang pria kelahiran Lumajang ini.

Sementara itu, Ramadhana Alfaris, sebagai dosen Fakultas Hukum Univeritas Widyagama, menyebutkan bahwa tulisan opini Dhandy berdasarkan fakta dan bukan tergolong ujaran kebencian. Sebab menurutnya, ujaran kebencian adalan ungkapan emosi tanpa dasar.

Kemudian Rochmad Effendy, selaku salah satu pembicara, juga menjelaskan bahwa seacara analisis semiotika pernyataan mengandung penistaan atau pencemaran nama dilihat dari dua hal yakni adanya niat jahat dan faktanya benar atau tidak.

“Tulisan opini ini disampaikan sangat logis. Kalau kemudian dari cerita-cerita banyak menyamakan (antara Suu Kyi dan Megawati), saya kira bukan. Menyamakan secara verbal juga tidak ada. Tapi secara konstektual bila dikait-kaitkan bisa saja. Tapi di sini dari sub-judulnya `Apa hubungannya dengan Megawati?` dan disampiakan dengan fakta kok,” terang dosen Ilmu Komunikasi Universitas Merdeka tersebut.

Dari sisi hukum, Ibnu Subarkah sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama menyatakan UU ITE tidak benar apabila digunakan untuk menyerang orang-orang yang ingin mengungkapkan pendapat.

“Yang kita pelajari di sini adalah analisis dalam keadilan hukum. Undang-undang ini, pasal tiga punya asas. Pemanfaatan teknologi berdasarkan asas iktikad baik. Jadi jika menulis niatnya tidak untuk mencemarkan nama baik asal dengan syarat berdasarkan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta ini dapat dipertanggungjawabkan,”

Menurutnya, undang-undang terseut berhubungan antara asas, hukum, dan nilai. Nilai-nilai yang sekarang dikembangkan adalah bebas pendapat dengan nyaman dan tentram. Nilai yang harus ditegakkan adalah bebas dan bertanggungjawab. Maka undang-undang tersebut menurut keadilan hukum, tidak mencerminkan keadilan itu sendiri, ternyata nilai-nilai berpendapat itu masih beku.

“Bahwa undang-undang ini perlu diperbarui lagi,” tutup Ibnu. (anw/wnd/zil)

(Visited 268 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?