Oleh: Zulfikar Hardiansyah*
Warung Kopi Sebagai Ruang Terbuka Publik
Berdasar informasi yang didapat dari official website Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia mengenai ruang terbuka publik pada tahun 2014, yang dimaksud dengan ruang publik adalah ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum untuk kegiatan sosial, seperti berkumpul, rekreasi, wadah edukasi, dan lain sebagainya. Warung kopi sebagai ruang terbuka publik merupakan sebuah tempat dimana setiap orang dapat berkumpul sambil menyeruput kopi dan makan jajanan, sendiri atau bersama teman, kolega, dan lain sebagainya. Alasan orang-orang untuk datang ke warung kopi itu banyak macamnya. Ada yang datang ke warung kopi untuk membicarakan hal yang serius, seperti diskusi ideologis, rencana mendirikan perusahaan, hingga membicarakan solusi strategis terhadap berbagai permasalahan negara. Di sisi lain, ada juga yang datang ke warung kopi untuk mencari ketenangan dan merekreasi diri. Memang nikmat sekali rasanya ketika lelah beraktivitas seharian lalu istirahat sejenak di warung kopi, untuk kemudian bisa menenangkan pikiran dan badan sebelum menghadapi rutinitas yang sama di keesokan harinya.
Namun, terlepas dari alasan-alasan setiap orang untuk datang ke warung kopi. Kita dapat melihat bahwa warung kopi sebagai ruang terbuka publik, dimana setiap insan dengan latar belakang yang berbeda dapat berkumpul. Maka, jelas disana akan terdapat interaksi sosial yang didalamnya otomatis juga ada pertukaran informasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan menurut Soerjono Soekanto (dalam Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar, 2007:58) interaksi sosial terdapat dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi. “Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu Adanya kontak sosial dan Adanya Komunikasi”
Pertama adalah adanya kontak sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak sosial yang terjadi dalam warung kopi merupakan kontak sosial relatif secara langsung, yang mana saat itu satu orang cenderung saling bercengkerama atau ngobrol seru dengan lawan bicara yang ada disekelilingnya. Syarat yang kedua adalah komunikasi, dalam kontak yang dilakukan orang-orang di warung kopi tentu ada komunikasi untuk mengutarakan maksud atau pesan. Proses menyampaikan dan tersampaikannya pesan oleh orang satu ke yang lainnya, inilah yang mengandung informasi dan saling bertukar seiring berjalannya kontak sosial dalam interaksi yang terjadi di warung kopi.
Pertukaran informasi tentu berjalan dengan sangat cepat setiap harinya, bahkan setiap menitnya di warung kopi. Pertukaran informasi tersebut bisa berjalan dengan sangat cepat tidak hanya disebabkan karena banyaknya orang yang silih berganti datang ke warung kopi. Tetapi juga dikarenakan bertambah banyaknya jumlah warung kopi yang berdiri. Kota Malang sebagai Kota tempat penulis berdomisili saja, saat ini terdapat lebih dari 100 warung kopi dengan tipe dan gaya yang berbeda-beda. Seperti tipe warung kopi yang buka selama 24 jam sampai gaya warung kopi ala western, semuanya ada di Kota Malang. Hal ini tentu akan membawa dampak positif karena dengan bertambah banyaknya jumlah warung kopi maka akan bertambah pula jumlah ruang terbuka publik yang dapat digunakan sebagai sarana mengemukakan pandangan dan pemikiran. Bertambah banyaknya warung kopi juga seperti menjadi representasi yang cukup baik dari berjalannya demokrasi pada era reformasi. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mendukung adanya ruang terbuka publik untuk tempat berkumpul dan saling menyampaikan pendapat. Oleh sebab itu, pemerintah dalam konteks ini telah menjalankan konstitusi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan baik, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 E ayat 3 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
PBB dan Warung Kopi Merupakan Wadah
Tetapi menurut penulis kondisi atas peristiwa seperti itulah yang membuat adanya warung kopi sebagai ruang terbuka publik, malah akan menjadi sebuah dilematis tersendiri terhadap kebebasan kita dalam berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat. Pernakah kita berpikir dengan adanya wadah akan lebih mudah untuk mengontrol sesuatu yang ada dalam wadah tersebut. Analogi mudahnya adalah kita mempunyai ikan dan kita menempatkannya pada akuarium, tentu kita akan lebih mudah untuk memelihara seperti memilihkan makanan yang sesuai dengan uang kita misalnya. Jika ditinjau dari salah teori ilmu hubungan internasional yang dikemukakan dalam perspektif neoliberal institution mengenai wadah, institusi, atau lembaga, bahwa fungsinya adalah untuk menjadi tempat pusat kordinasi dan informasi (Keohane, 1989). Contohnya seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wadah yang didirikan untuk menghimpun negara-negara serta menjamin terciptanya dan terjaganya kondisi dunia yang aman, ditengah-tengah kondisi dunia yang tidak pasti. Sehingga adanya PBB tentu akan memudahkan untuk melakukan kontrol terhadap setiap negara yang ada didalamnya agar tidak berbuat “nakal”.
Memang terdengar seperti kontras sekali, apabila membandingkan wadah sekaliber PBB dengan warung kopi. Tapi, poin penting yang harus kita ketahui antara dua wadah tersebut adalah kesamaan yang dimiliki, yakni sama-sama memiliki kemudahan untuk melakukan kontrol terhadap apa yang ada didalam wadah tersebut. Adanya warung kopi sebagai pusat pertukaran informasi maka akan memudahkan pihak tertentu atau pemerintah dalam mendapatkan informasi. Sehingga dengan adanya perolehan informasi yang didapat dengan mudah tersebut pihak tertentu atau pemerintah juga dapat lebih mudah mengontrol masyarakat. Bisa dikatakan lebih mudah dalam mengontrol karena pihak tertentu atau pemerintah tidak perlu repot-repot mencari kesana kemari-kemari, jadi bisa dilakukan di warung kopi. Sehingga penulis rasa mengenai kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat tidak lagi bebas. Bentuk ekstrim dari kontrol oleh pihak tertentu atau pemerintah di warung kopi tersebut adalah dengan membubarkan diskusi di ruang terbuka publik saat itu juga. Seperti yang dimuat dalam official website Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Malang, pada tanggal 29 September 2016 terdapat diskusi di salah satu warung kopi yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Diskusi tersebut membahas mengenai kekerasan rezim yang dilakukan pada tahun 1965. Kemudian pada pukul 21.05 WIB diskusi tersebut dibubarkan oleh pihak kepolisian dan Ormas. Peristiwa pembubaran diskusi juga terjadi pada tanggal 13 April 2017 di salah satu warung kopi di Kota Makassar. Diskusi tersebut digelar oleh komunitas lentera yang membahas bagaimana proses mendapatkan beasiswa dan pengalaman kuliah di luar negeri. Akhirnya diskusi tersebut juga dibubarkan oleh ormas (TribunMakassar, 14/04/2017)
Bukannya penulis ingin berburuk sangka terhadap banyaknya jumlah warung kopi yang berdiri dan menuduh warung kopi sebagai tempat yang tidak aman untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat. Tapi penulis merasa bahwa warung kopi merupakan tempat strategis yang memang dengan mudah dapat ditemukan oleh semua orang disetiap sudut kota. Warung kopi sebagai ruang terbuka publik yang banyak tersebar akan menghimpun banyak orang di masing-masing wilayah, dengan kata lain juga akan menghimpun banyak informasi secara cepat. Di samping itu untuk melakukan jajak pendapat dengan teman misalnya, di warung kopi juga biayanya murah dan nyaman, paling cuma pesan dan bayar minuman untuk menghargai si empunya warung. Tentu dengan kekuatan menghimpun serta kelebihan lainnya yang ada dalam warung kopi, kondisi tersebut akan membuat beberapa pihak memanfaatkan situasi tersebut. Hal inilah yang membuat mengapa warung kopi lebih urgent tempatnya dibanding ruang terbuka publik lainnya, semisal aula kelurahan. Idealnya sebagai ruang terbuka publik dapat menampung segala aktivitas sosial selama tidak melanggar konstitusi.
Mari kita berpikir sejenak apakah banyaknya warung kopi saat ini memang ada karena sebagai representasi dari bentuk demokrasi era reformasi, yaitu yang semata-mata untuk wadah dalam menjunjung tinggi kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat atau malah sebaliknya. Warung kopi malah sebagai wadah manupulatif yang menguntungkan pihak tertentu atau pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap kebebasan tersebut. Sehingga orang-orang akan lebih mudah dikontrol seperti halnya analogi memelihara ikan dalam akuarium. Melihat peristiwa pembubaran diskusi di salah satu warung kopi di Kota Malang dan Kota Makassar oleh aparat serta ormas. Apakah hal tersebut bisa menunjukkan bahwa warung kopi telah menjadi ruang terbuka publik dimana semua orang memiliki kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat yang sesuai dengan marwahnya.
*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional 2016 dan aktif sebagai anggota Divisi PSDM LPM Perspektif 2017.