Malang, PERSPEKTIF – Awal tahun 2024, Rektorat Universitas Brawijaya (UB) mengeluarkan kebijakan baru mengenai pembatasan penggunaan mobil di lingkungan kampus bagi mahasiswa. Langkah ini tertuang dalam peraturan rektor (Pertor) 1999/UN10.A06/TU/2024, yang bertujuan mendukung visi UB sebagai kampus hijau (Green Campus). Namun, kebijakan tersebut telah menimbulkan polemik di kalangan mahasiswa, terutama bagi mereka yang mengandalkan mobil sebagai sarana utama dalam mobilitas sehari-hari di lingkungan kampus.
Tri Wahyu Nugroho selaku Sekretaris Universitas Brawijaya menerangkan, selain tujuan Green Campus tersebut, pembatasan kendaraan roda empat ini juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan parkir yang terlalu padat.
“Lek gak iku angel golek parkir (Kalau tidak dilarang itu susah nyari parkir, red) mas,” ucapnya sembari tertawa (15/03).
Pembatasan mobil ini menjadi salah satu dari rangkaian rencana Rektorat dalam mengatasi permasalahan lahan parkir, setelah tahun lalu dilaksanakan kebijakan wajib stiker bagi tiap kendaraan yang masuk ke lingkungan kampus.
“Kita memang butuh infrastruktur, kita butuh lahan parkir. ” kata Tri menambahkan.
Pihaknya sendiri mengambil inspirasi dari beberapa kampus lain yang berhasil menerapkan kebijakan serupa. Tri juga tidak menutup kesempatan kepada seluruh mahasiswa untuk ikut mengevaluasi dan memberikan saran terhadap pemberlakuan pembatasan mobil ini.
“Manfaat sama mudaratnya besaran mana? Karena di media sosial banyak yang setuju kok, banyak juga yang setuju supaya nggak ‘ruwet’ cari parkir. Kalau banyak manfaatnya, saya kira ambil yang banyak manfaatnya,” imbuhnya.
Dirugikan oleh Kebijakan
Khatira, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) merasa kebijakan ini merugikan dirinya dan menambah beban finansial mahasiswa yang sebelumnya membawa mobil. Kebijakan tersebut membuatnya harus mencari alternatif lain seperti taksi atau ojek online untuk pergi ke kampus.
“Karena orang tua tidak mengizinkan untuk belajar mengendarai motor, saya terpaksa memilih untuk memesan ojek online (ojol). Menurut saya sangatlah boros dalam segi keuangan, karena setelah dihitung, seminggu memesan ojol bisa sampai Rp 200-250 ribu,” ucapnya (23/3)
Meskipun Tri menyampaikan bahwa kebijakan ini telah disosialisasikan ke beberapa pihak, Khatira merasa sosialisasi tersebut masih minim dan belum menjangkaunya.
Senada dengan Khatira, SLM (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UB, turut memberikan tanggapan terkait ketidakpuasannya terhadap kebijakan tersebut.
“Kurang maksimal untuk penyelesaian masalahnya. Membebankan mahasiswa secara sepihak yang harus memikirkan sendiri bagaimana caranya ke kampus tanpa memberikan solusi dan fasilitas apapun,” tuturnya (03/3).
Inginkan Mahasiswa Jalan
Setelah membatasi kendaraan roda empat, Rektorat UB akan melanjutkan kebijakan ini dengan memperketat kedisiplinan pengendara motor yang memasuki area kampus.
“Kalau untuk motor nanti, pelan-pelan, saya nggak akan kasih tahu semua. Terdekat ya, setelah kebijakan ini jalan, dilarang ke kampus pakai knalpot brong, tidak pakai helm, sepeda motor berboncengan bertiga,” ucap Tri.
Melalui cara ini, Tri menekankan pentingnya membangun karakter disiplin kepada anak didik mereka. Selain itu, ia juga berharap agar mahasiswa lebih rajin bersepeda dan jalan kaki di area kampus daripada menggunakan kendaraan bermotor.
“Nah saya memimpikan mungkin suatu saat kalau di sini parkirnya tidak di pinggiran (jalan, red), jadi ke kampus kalau nggak jalan kaki ya naik sepeda,” jelasnya.
Nantinya, pihak kampus akan berupaya mendukung kelompok-kelompok ini, dan berencana memberikan bantuan insentif kepada mereka yang tidak menggunakan kendaraan bermotor di area kampus.
Hingga saat ini, UB masih melakukan riset mengenai pengadaan berbagai fasilitas pendukung rencana ini, mulai dari konektor antar gedung, autonomous car, hingga bus feeder yang mengantar mahasiswa dari beberapa titik tertentu.
“Nah kita pelan-pelan ingin menata sebenarnya, tapi masih menunggu anggaran antar gedung itu ada konektornya supaya nggak kehujanan,” kata Tri.
Ia kemudian menyampaikan akan memberikan dispensasi khusus bagi teman-teman penyandang disabilitas agar dapat membawa kendaraan bermotor di area kampus. Pihaknya juga mengaku tidak akan memberikan dispensasi kepada mahasiswa yang tempat tinggalnya jauh, maupun hanya diperbolehkan membawa mobil ke kampus.
“Kenapa mahasiswa harus bawa mobil? Orang yang lain bisa. Kenapa tidak bawa sepeda motor? Yang lain bisa jalan kaki. Kenapa si X harus bawa mobil? Kalau memang dia secara fisik ada disabilitas, maaf, ya saya izinkan,” ucap Tri menjelaskan.
Kenyataan Berbeda di Lapangan
Kontras dengan pernyataan yang diungkap Tri, Jarwo (bukan nama sebenarnya) mahasiswa Fakultas Teknik mengaku tetap mendapatkan dispensasi, kendati bukan penyandang disabilitas. Ia mengaku mendapatkan dispensasi ini karena dirinya tinggal di Asrama UB.
Untuk mendapatkannya, Jarwo melakukan pengaduan ke pihak fakultas untuk kemudian mengisi formulir pengajuan dispensasi. Nantinya, mahasiswa yang diizinkan akan mendapatkan tanda barcode sebagai akses masuk wilayah UB.
Meski tidak terdampak signifikan, Jarwo merasa kebijakan ini merugikan beberapa temannya hingga tidak bisa masuk kelas. Ia juga berharap kampus menerapkan sistem lain, seperti ganjil-genap yang tidak melarang mobil seutuhnya.
Selain menyasar mahasiswa, UB juga memperketat akses para pengemudi ojek online di sekitar kampus. Kebijakan ini ditujukan agar pengemudi ojek online tidak berdiam di dalam kampus untuk menunggu pesanan, yang disinyalir dapat mengganggu lalu lintas dan parkir kampus.
“Misalnya ada order ke kampus, tinggal tunjukin order. Ketika order (diperlihatkan, red) berarti kita izinkan masuk kampus,” ucap Tri.
Akan tetapi, melalui observasi LPM Perspektif, masih terdapat beberapa pengemudi ojek online yang kerap kali ‘mangkal’ di depan Gedung C FISIP UB. Selain itu, didapati beberapa pengemudi ini masuk ke area kampus tanpa pengecekan order seperti yang dijelaskan Tri.
Pihaknya kemudian mengakui adanya kelengahan dari pihak penjaga keamanan, dan berharap agar seluruh komponen UB dapat bekerja sama melaksanakan kebijakan ini.
“Ya memang harus ada yang dikorbankan, tetapi untuk manfaat coba deh evaluasi terus mas. Ini aja agak lengah tak evaluasi lho, mungkin kecapekan. ‘Mau tetep jalan terus atau saya ganti’ sederhana saya,” kata Tri menegaskan.
Ia juga berharap pemerintah kota Malang dapat memberikan fasilitas kendaraan umum yang memadai agar mahasiswa tidak perlu membawa kendaraan bermotor ke kampus. Tri juga berpesan agar mahasiswa sabar dan patuh terhadap kebijakan penataan lalu lintas dan lahan parkir ini. (yn/bob/ahi)