Pada 18 Oktober 2023, Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) resmi dideklarasikan sebagai calon wakil presiden dari Ganjar Pranowo untuk pemilihan presiden pada tahun 2024. Mahfud MD diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan konsiderasi sebagai sosok intelektual dan berpengalaman, kapasitasnya dalam bidang hukum, serta ekspektasi akan adanya reformasi hukum untuk Indonesia. Namun, dengan adanya deklarasi tersebut, maka posisi Mahfud MD sebagai jajaran anggota dari Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Brawijaya (UB), serta status independensi dan orientasi politik universitas menjadi sebuah pembahasan.
Semenjak disahkan menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), UB mengalami perubahan struktur organisasi, dituntut untuk menyesuaikan dengan berbagai hal, dan memiliki independensi untuk meregulasi peraturan serta indikator kinerja. Tercatat ada tiga organ yang dibentuk mengikuti perubahan struktur, yakni rektor, MWA, dan Senat Akademik Universitas (SAU). Selain adanya Mahfud MD dalam jajaran anggota MWA, terdapat beberapa nama tersohor lainnya seperti Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dan Muhadjir Effendy yang kini menjabat sebagai Ketua MWA UB.
Adapun tugas dan wewenang MWA menurut Peraturan Rektor UB adalah untuk menyusun, merumuskan, dan menetapkan kebijakan, memberikan pertimbangan, dan melakukan pengawasan di bidang akademik. Dalam konteks kebijakan, MWA berwenang untuk menetapkan kebijakan umum nonakademik, rencana induk pengembangan, strategis, dan anggaran tahunan yang dicanangkan oleh rektor. Dengan tugas dan wewenang MWA yang besar serta kompleks, dibersamai majunya Mahfud MD sebagai calon wakil presiden, maka status independensi dan keberpihakan politik universitas menjadi hal yang memikat untuk dijadikan sebuah diskursus dan dipertanyakan.
Syarat untuk menjadi anggota MWA adalah tidak memiliki keterkaitan atau afiliasi dengan partai politik, terkecuali tengah menjabat menjadi posisi menteri, serta tidak memiliki konflik kepentingan dengan tugas MWA. Syarat tersebut tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 108 pasal 32 tahun 2021. Terlepas dengan adanya rumusan pasal tersebut dalam Peraturan Rektor secara legit, hal tersebut tidak mengurungkan potensi atau kemungkinan adanya keberpihakan politik oleh universitas, serta hilangnya independensi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi dipengaruhi oleh kepentingan dan adanya intervensi.
Sesungguhnya, kedudukan universitas memiliki kapabilitas untuk bertindak dengan peran sebagai lembaga akademik. Universitas harus berpihak pada ilmu pengetahuan serta kebenaran tanpa adanya keberpihakan politik. Apabila universitas terlibat dalam politik praktis dan menghilangkan netralitas, maka akan berimplikasi kepada redupnya independensi dan mimbar akademik, tidak representatifnya kedudukan politik civitas akademika universitas secara keseluruhan, dan hilangnya integritas serta kredibilitas universitas. Tenaga pendidik juga diamanahkan ekspektasi untuk mengutilisasi kompetensi dan kapabilitas mereka sebagai pedoman substansi, argumen, dan ide untuk politisi, sehingga akan terjadi transformasi menjadi kebijakan publik.
Kehadiran pemilih muda menjadi tantangan untuk perguruan tinggi untuk memfasilitasi edukasi mengenai pemilihan umum. Sebagai institusi akademik, universitas seharusnya menghadirkan wawasan mengenai visi-misi kandidat, rekam jejak kandidat, dan substansi serta kebijakan yang dihadirkan oleh para kandidat. Universitas juga dapat mendorong mahasiswa, sebagai pemilih muda untuk melakukan riset mengenai koalisi partai serta simpatisan pendukung di balik calon presiden dan wakil presiden. Riset dapat dilakukan dalam wujud tingkat korupsi dalam internal partai, keterkaitan partai dengan oligarki, rekam jejak partai, ideologi dan keberpihakan partai, serta orang-orang di balik partai dan koalisi.
Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 204,8 juta orang disahkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dan 52 persen di antaranya merupakan pemilih muda. Data tersebut mengindikasikan vitalnya edukasi politik untuk pemilih muda, mengingat terdapat apatisme dan samarnya pengetahuan politik dari pemilih muda. Akomodasi pengetahuan dan pendidikan politik akan memenuhi prinsip Tridharma Perguruan Tinggi, berkontradiksi dengan partisan dan terlibat dalam keberpihakan politik.
Menjaga reputasi sebagai perguruan tinggi ternama, diharapkan UB akan mempertahankan independensi dengan tidak menjadi partisan dan melakukan manuver politik serampangan untuk menjaga integritas dan kredibilitas. Lebih lanjut, diharapkan tidak terjadi politik partisan yang berpotensi untuk menciptakan intervensi dalam birokrasi serta edukasi, pembatasan kebebasan dalam forum akademik, serta lenyapnya netralitas dalam lingkungan pendidikan. Peran perguruan tinggi adalah untuk memfasilitasi kejujuran dan kebenaran dalam agenda akademik, menghadirkan insan akademik yang intelektual untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, serta aktor-aktor yang mengakomodasi substansi, argumen, dan gagasan, dan terakhir, menjaga etika dan integritas bangsa.