Malang, PERSPEKTIF – Gemuruh sorak-sorai menghiasi seluruh penjuru negeri kala Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola Indonesia berhasil menaklukan kesebelasan Gajah Putih dengan Skor 5-2 di Final Sea Games Kamboja 2023. Hasil pertandingan tersebut menyudahi penantian 32 tahun untuk menyabet medali emas bagi olahraga paling populer di negara ini.
Semua pihak mulai dari Presiden, Menteri Pemuda dan Olahraga, Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), awak media, dan masyarakat umum perhatiannya tertuju pada gemilang penampilan para pemain dan prestasi yang diraih mereka.
Namun, di tengah gegap-gempita tersebut, Agus (bukan nama sebenarnya) masih menyimpan duka mendalam tentang sepakbola Indonesia. Ia adalah satu dari puluhan ribu korban hidup dan 135 keluarga korban nyawa Tragedi Kanjuruhan yang masih menuntut keadilan bagi kejahatan yang menimpa mereka pada 1 Oktober 2022 lalu.
Hal ini tak lepas dari hasil upaya hukum yang telah mereka lakukan, malah dikebiri oleh putusan hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis ringan para tersangka tragedi kemanusiaan tersebut. Sebut saja, AKP Has Darmawan, Abdul Haris, dan Suko Sutrisno yang divonis ringan dengan satu tahun enam bulan penjara. Apalagi Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi yang divonis tidak bersalah atas kematian 135 orang.
“Hasil sidang malah menyalahkan angin. Memang banyak kejanggalan yang terjadi juga waktu persidangan,” tutur Agus menyatakan sikap bahwa putusan hukum belum memenuhi keadilan dia dan para korban lainnya.
Menurutnya, vonis yang dijatuhkan pasti belum adil terutama untuk pihak korban arek Malang. Seharusnya hukuman yang didapatkan setimpal dengan perbuatan yang diperbuat. “Saya rasa hukuman seberat-beratnya sesuai tindakan yang diperbuat sampai menghilangkan nyawa orang. Kalau bisa penjara seumur hidup atau hukuman mati seperti Sambo. Soalnya ini juga sama-sama pembunuhan berencana,” ungkap Agus.
Kini, ia hanya bisa berharap negara memiliki peran dan keseriusan dalam menanggapi Tragedi Kanjuruhan karena 135 nyawa manusia bukan sekedar angka, melainkan korban kezaliman yang seharusnya dibela dan dipenuhi haknya oleh negara. “Sehingga keadilan buat korban harus ditegakkan,” tutupnya.
Rasa tak puas atas penegakan hukum mengenai Tragedi Kanjuruhan tak hanya dirasakan oleh Agus seorang. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras hasil putusan sidang Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya.
“Vonis tersebut jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan para terdakwa dapat diputus pidana seberat-beratnya juga seadil-adilnya serta dapat mengungkap aktor high level dibalik tragedi ini,” ungkap mereka dalam rilis pers bersama (16/4).
Sejak awal, Koalisi Masyarakat Sipil telah mencurigai proses hukum tidak secara sungguh-sungguh mengungkap Tragedi Kanjuruhan. Mereka menduga proses hukum tersebut dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran atau intended to fail. “Hal tersebut terlihat dari berbagai keganjilan yang kami temukan,” jelas mereka.
Keganjilan-keganjilan tersebut adalah aktor yang diproses secara hukum hanyalah aktor lapangan, diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, minim keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan, serta Hakim dan Jaksa Penuntut Umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil.
Persidangan tersebut juga menurut mereka ada pengaburan fakta seperti penembakan gas air mata kebagian tribun penonton, hingga peristiwa kekerasan dan penderitaan suporter baik di dalam maupun di luar stadion yang tidak diungkap secara utuh. “Kami menilai proses persidangan ini telah menunjukan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak benar-benar berpihak kepada korban dan keluarga korban kejahatan,” ujar mereka.
Koalisi Masyarakat Sipil kemudian mendesak pihak-pihak yang berkepentingan untuk meninjau kembali putusan ini. Salah satunya, mereka meminta Dirkrimum Polda Jawa Timur untuk melakukan penyidikan kembali dan menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kepada Komnas HAM RI. Selain itu, mereka juga meminta Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa Majelis Hakim yang mengadili perkara Tragedi Kanjuruhan atas dugaan pelanggaran kode etik. (msr/feb/bob/gra)