Jika Anda adalah seorang mahasiswa, maka tidak asing lagi dengan yang namanya organisasi mahasiswa, entah itu intra maupun ekstra kampus. Perguruan tinggi menawarkan pilihan yang beragam kepada mahasiswa untuk memilih organisasi sesuai dengan minat dan bakatnya. Mulai dari organisasi yang mewadahi aktivitas olahraga, penalaran, hingga “politik”.
Organisasi mahasiswa sendiri telah mempunyai payung hukum yaitu pada pada Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi yang berbunyi mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses Pendidikan. Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler tersebut dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan. Dengan ini, maka ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan tersebut diatur lebih lanjut melalui statuta perguruan tinggi masing-masing.
Lebih lanjut, pada Pasal 77 ayat 1 dan 2 mengamanatkan bahwa mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan dengan tujuan sebagai: Pertama, mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi. Kedua, mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa kebangsaan. Ketiga, memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa. Keempat, mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Dari payung hukum tersebut, akhirnya membuat banyak mahasiswa memilih untuk bergabung ke dalam organisasi. Banyak dari mereka yang berharap dapat mengembangkan diri dan belajar hal baru di luar kuliah. Ada juga yang masuk organisasi dengan tujuan mendapatkan jejaring yang akan menjadi modal sosial yang kelak akan membantunya dalam menjalani perkuliahan atau kehidupan setelah perkuliahan.
Namun sangat disayangkan, terkadang semangat yang tinggi dalam berproses dan berkembang mahasiswa disalahgunakan menjadi ajang unjuk gengsi oleh mahasiswa yang lebih tinggi tingkatnya dalam organisasi. Mahasiswa yang hanya menjadi anggota atau staf cenderung menjadi seperti lebah pekerja. Mulai dari aktivitas – seperti rapat– yang tak berhenti dari siang hingga malam. Sampai di beberapa organisasi seolah terjadi perenggutan hak dasar manusia yaitu beristirahat yang seharusnya dihargai oleh organisasi mahasiswa.
Bahkan dalam beberapa peristiwa, staf yang rendah tingkatannya terlihat seperti budak-budak dunia modern. Bahkan mungkin, jika dikritisi organisasi mahasiswa kebanyakan sama layaknya VOC pada zaman penjajahan dahulu. Staf dengan jabatan lebih rendah hanya akan menjadi objek ambisi staf yang lebih tinggi jabatannya.
Menurut penulis, kebobrokan sistem di banyak organisasi mahasiswa sudah dimulai sejak tahap perekrutan staf. Calon-calon staf diiming-imingi memperoleh banyak keuntungan dalam berorganisasi. Dari iming-iming keuntungan tersebut, mahasiswa yang menjadi calon staf secara otomatis akan membangun harapan-harapan dan impian yang kelak akan dia dapatkan saat memasuki organisasi tersebut. Namun, lagi-lagi kebanyakan organisasi mahasiswa hanya memberikan harapan palsu diawal. Sehingga harapan mahasiswa yang masuk organisasi pun pupus di tengah proses.
Oleh karena itu, perlu rasanya setiap organisasi mengubah pola pikirnya mengenai organisasi mahasiswa. Seperti yang disinggung pada Pasal 77 UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi, organisasi mahasiswa berfungsi untuk mengembangakan minat, bakat, kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa kebangsaan. Bukannya organisasi mahasiswa sebagai ajang persaingan dan pembuktian dengan organisasi mahasiswa lainnya. Hal tersebut akhirnya hanya berimplikasi kepada penelantaran harapan dan impian staf-stafnya.