“Hadeh… FISIP UKT-nya aja elit, parkir doang sulit,” gurauan ini tiba-tiba dilemparkan salah seorang teman saat kami sedang nongkrong usai kelas di lorong sekretariat LSO. Keluhan tersebut dilontarkannya mengingat fasilitas parkiran yang tak pernah dibenahi, padahal selama perkuliahan daring dua tahun, UKT yang dibayarkan mahasiswa tak pernah berubah walaupun fasilitas kampus tak pernah digunakan.
Lahan parkiran yang minim untuk menampung mobilitas kendaraan mahasiswa hanyalah satu contoh dari permasalahan fasilitas kampus yang sekiranya masih belum siap menghadapi perkuliahan luring semester ini. Sebut saja jangkauan wifi yang tak merata, bangku dan meja kuliah yang uzur, lift Gedung C yang tak kunjung diperbaiki, sampai ruang kelas yang begitu padat, menjadi potret bagaimana ironi antara biaya kuliah dan fasilitas yang diperoleh mahasiswa.
Penambahan jumlah mahasiswa yang masuk juga menjadi problem lain dari penyediaan fasilitas. Teringat Dekan FISIP yang begitu bangga memamerkan fakultasnya menjadi pendaftar terbanyak dalam lingkup fakultas sosio-humaniora UB saat pembukaan PKKMB 2022, kemudian disambut tepuk-tangan meriah. Hal ini malah membuat geli, lantaran kampus seolah-olah berlomba menjadikan mahasiswa sebagai komoditas semata – semakin banyak mahasiswa, semakin banyak profit – tanpa pernah serius memperhatikan kualitas layanan dan fasilitas untuk menunjang kegiatan perkuliahan demi menciptakan lulusan yang berkualitas pula.
Mahasiswa bukan komoditas, melainkan civitas yang perlu dipenuhi hak-haknya untuk mendukung pengembangan diri dalam dunia perkuliahan, entah itu dalam aspek akademik maupun non-akademik. Fasilitas dan layanan yang berkualitas seharusnya menjadi taruhan utama para pejabat kampus, bukan lagi banyak-banyakan jumlah pendaftar dan penerimaan yang merendahkan esensi mahasiswa sebagai komoditas ekonomi.
Redaksi LPM Perspektif – bagian dari komoditas mahasiswa
Galeri Fasilitas FISIP UB
