Malang, PERSPEKTIF – Integritas perguruan tinggi Indonesia sedang dihantam gelombang besar setelah Rektor Universitas Lampung (Unila), Karomani, bersama dua pejabat lainnya yaitu Heryandi, Wakil Rektor (WR) I Bidang Akademik dan Ketua Senat Universitas, Muhammad Basri ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (19/8) lalu. Mereka diduga melakukan praktik suap dalam Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) jalur mandiri Unila tahun 2022.
Melansir dari cnnindonesia.com, uang sejumlah Rp 414, 5 juta dan slip setoran deposito bank sebesar Rp 800 juta menjadi barang bukti yang turut diamankan KPK saat melakukan operasi tangkap tangan. Terakhir diketahui bahwa Rektor Unila telah mengantongi suap kurang lebih Rp 5 miliar.
“Terkait nominal uang disepakati jumlahnya bervariasi berkisar Rp 100 juta sampai Rp 350 juta untuk setiap orang tua peserta seleksi yang ingin diluluskan,” ujar Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK (21/8).
Kasus ini sontak membuat perhatian publik membuncah lantaran perguruan tinggi yang menjadi tempat penyemaian insan penerus bangsa, justru tersandung ke dalam pusaran korupsi. Bahkan tindakan kotor ini menyasar calon mahasiswa yang belum juga duduk di bangku perkuliahan.
Kini Karomani bersama dua pejabat lainnya, disangkakan melakukan pelanggaran terhadap Pasal 12 huruf a atau huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apa Kabar UB?
Di tengah-tengah sorotan publik terhadap kasus korupsi suap penerimaan jalur mandiri di Unila, perlu ditilik kabar Universitas Brawijaya (UB) dalam menanggulangi permasalahan seperti ini. Mengingat status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) telah disematkan kepada UB sejak 2021 lalu.
Kemudian, disusul dengan peningkatan kuota jalur mandiri dari 30% menjadi 50% pada tahun 2022. Hal ini lantas menempatkan UB sebagai kampus dengan kuota penerimaan jalur mandiri terbanyak kedelapan secara nasional dengan total 8.570 mahasiswa, seperti yang dikutip dari kompas.com.
Baca Juga:
UB Pangkas Kuota SNMPTN dan Tambah Kuota Mandiri, Mahasiswa Duga Karena Status PTN-BH
Wakil Rektor I Bidang Akademik UB, Aulanni’am angkat bicara mengenai upaya penanggulangan UB terhadap berbagai bentuk pelanggaran dalam proses penerimaan mahasiswa baru.
“UB secara terus-menerus memberikan peringatan dan informasi bahwa semua proses penerimaan tidak ada menggunakan uang agar dapat diterima. Semua diterima berdasarkan kemampuan riil mahasiswa,” jelasnya dalam keterangan tertulis kepada Tim Perspektif (29/8).
Aulanni’am menyatakan dalam proses penerimaan jalur mandiri, UB melibatkan tim dari Lembaga Penjaminan Mutu untuk mempertahankan kualitas calon mahasiswa dan Petugas Jaga Kampus yang telah ditunjuk KPK agar memantau proses penerimaan mahasiswa baru dari seleksi sampai pengumumannya.
“Telah dibuat Pertor (Peraturan Rektor, red) tata cara penerimaan mahasiswa baru di UB. Dan jika ada yang menemukan penyimpangan, dapat melapor ke sistem whistleblowing UB,” tambahnya.
Mengenai anggapan jalur mandiri yang rentan korupsi, Aulanni’am berpendapat bahwa kasus yang mendera salah satu kampus tidak bisa dipukul rata jika semua kampus melakukan hal yang sama. Ia mengaku UB telah menerapkan prosedur yang benar dan tidak terjadi penyimpangan selama ini.
“Kalau ada isu-isu (suap, red) di luar, bukan dari UB. Bisa saja perseorangan yang mencari keuntungan dari penerimaan mahasiswa baru,” katanya.
Duduk Perkara Penerimaan Mahasiswa Jalur Mandiri
Sejatinya praktik-praktik korupsi di ranah akademik bukan hanya kali ini saja terjadi, istilah seperti “membeli kursi” cukup sering dijumpai ketika dibukanya jalur penerimaan mahasiswa baru, terlebih pada jalur mandiri yang merupakan jalur non nasional. Masih langgengnya praktik korupsi di dunia akademik ini tentunya akan sangat berdampak pada ketimpangan akses pendidikan di masyarakat nantinya, hal ini pula yang diungkapkan oleh Ahmad Adi Susilo, Ketua Divisi Advokasi Malang Corruption Watch (MCW).
“Karena ketika sebuah universitas menerapkan harga sekian (praktik suap, red) agar seorang mahasiswa baru dapat diterima di kampus tersebut, ini kan berarti jadinya pendidikan itu menjadi sebuah hal yang ekslusif, tidak bisa diakses semua lapisan masyarakat dan jadinya pendidikan hanya untuk sebagian orang yang memang memiliki privilege saja,” jelas Adi (26/8).
Merunut kembali akar masalahnya, Adi menjelaskan, rentannya kasus korupsi pada seleksi mandiri karena sistematika yang dipakai dalam tes tersebut hanya diketahui oleh otoritas kampus saja. Kurangnya transparansi dan tidak adanya pengawasan dari pihak luar menjadikan seleksi mandiri sebagai sasaran empuk untuk praktik korupsi.
“Seleksi jalur mandiri ini kan mutlak wewenang kampus yang bersangkutan, hak otonom mereka. Jadi yang tau pasti mekanisme penerimaannya seperti apa itu hanya pihak-pihak yang terlibat saja, yang tentunya pihak luar tidak bisa mengawasi,” ucapnya (26/8).
Selaras dengan Adi, Novada Purwadi dari Komite Pendidikan Universitas Brawijaya juga mengatakan praktik calo dan nepotisme lumrah terjadi. Hal ini dikarenakan jalur mandiri merupakan jalur terakhir penerimaan mahasiswa dan banyaknya kuota yang disediakan di jalur ini.
“Untuk memanfaatkan itu, mereka menghalalkan segala cara. Bahkan hingga mendatangi pihak berkepentingan dan langsung bayar,” ujar Novada (26/8).
Terkait rentannya praktik korupsi pada jalur seleksi ini, Adi menjelaskan bahwa harus adanya standarisasi nilai tertentu yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di setiap perguruan tinggi sebagai upaya agar sistematika penerimaan mahasiswa baru lewat jalur mandiri bisa lebih transparan.
“Menurut kami sudah seharusnya dari Kemendikbud membuat semacam nilai pasti, misalnya lewat tes tulis harus sekian atau lewat nilai raport harus sekian, yang mana nilai ini nantinya bisa digunakan sebagai standar untuk penerimaan mahasiswa baru lewat jalur mandiri. Selama ini dalam penerimaan jalur mandiri hal semacam itu tidak ada, mungkin Kemendikbud bisa mengisi ruang yang kosong tersebut,” tutup Adi.
Di sisi lain, penerimaan mahasiswa jalur mandiri UB dengan dua kali gelombang pendaftaran, yang pertama menggunakan nilai rapor dan yang kedua menggunakan hasil tes Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), hingga kini masih memiliki beberapa kekurangan.
Menurut Novada, penggunaan nilai rapor untuk pendaftaran mandiri dinilai kurang efektif. Hal ini dikarenakan banyak dari sekolah yang menggunakan sistem katrol nilai kepada siswanya.
“Karena kalau berbicara rapor ini kan sudah praktik umum kalau di SMA itu melakukan katrol kepada nilai supaya akreditasi sekolah bagus dan siswanya dianggap berkompeten,” ujar Novada.
Beberapa kekurangan pada jalur mandiri akhirnya menimbulkan narasi-narasi untuk menghapus jalur mandiri. Menanggapi hal ini, Novada mengatakan, sangat kecil kemungkinan universitas menghapus jalur mandiri, karena jalur mandiri dianggap sebagai pemasok dana terbesar untuk suatu universitas.
“Kalau jalur mandiri dihapus, konsekuensinya besar juga untuk kesejahteraan kampus. Ketika jalur mandiri dihapus, ruang-ruang untuk mendapatkan dana lebih besar akan berkurang. Jadi saya rasa secara moral itu tepat, tapi siapa yang mau kasih kompensasi?” jelas Novada kepada Tim Perspektif.
Hal ini kemudian dibenarkan oleh Aulanni’am. Ia menyatakan kebijakan jalur mandiri merupakan jalur yang diperlukan untuk pengembangan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sehingga tetap pantas dipertahankan.
“Secara umum kebijakan jalur mandiri ini merupakan jalur yang diperlukan untuk pengembangan PTN, lebih baik tetap dipertahankan dengan perbaikan mekanisme dan pengawasan yang terpadu,” pungkasnya. (gra/fy/prd/yn/rsa)