Malang, PERSPEKTIF – Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) kian menjadi perhatian para mahasiswa pasca Sidang Tengah Periode Kongres Mahasiswa (KM) FISIP yang digelar pada Senin (4/7) lalu secara virtual.
Berawal dari Ariena Azizah, salah seorang peserta sidang menanyakan Peraturan Dekan (Perdek) dan strukturasi ULTKSP FISIP yang sampai sekarang belum final, bahkan proses perumusannya juga dianggap tidak transparan. Padahal, Perdek tersebut merupakan turunan dari Peraturan Rektor (Pertor) Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Kekerasan Seksual dan Perundungan yang akan menjadi landasan susunan organisasi, keanggotaan, tugas, dan wewenang ULTKSP di tingkat fakultas sesuai dengan BAB VI Pasal 16 Ayat (3).
Selain menyoroti tentang Perdek dan strukturasi ULTKSP FISIP, ia juga menyinggung soal BEM dan DPM yang seharusnya menjadi menjadi wadah aspirasi mahasiswa, malah bungkam untuk memberikan informasi dan melakukan serangkaian gerakan mendorong pihak fakultas dalam menyelesaikan permasalahan ULTKSP ini.
“Tidak usah dibilang ini tugas bersama, tapi keresahan (tentang kendala Perdek ULTKSP, red) yang dirasakan teman-teman BEM dan DPM sekarang disimpan sendiri. Bagaimana caranya aku bisa tahu? Bagaimana cara aku bisa membantu teman-teman jika informasinya saja tidak ada?” tutur Ariena.
Menurutnya, BEM dan DPM seharusnya menginisiasi sinergitas dengan mahasiswa dalam menuntut kejelasan ULTKSP FISIP agar para mahasiswa baru yang mempunyai harapan besar tentang FISIP tidak dikecewakan dengan hal-hal yang sebenarnya bisa diperjuangkan bersama. Ariena juga menekan BEM dan DPM sebagai unsur mahasiswa di ULTKSP FISIP agar selalu transparan tentang kondisi terkini lembaga tersebut.
“Ini catatan besar untuk DPM dan BEM sekarang. Aku akan coba follow-up dua minggu dari sekarang (Dari Sidang KM, red). Jika tidak ada kejelasan lagi, mosi tidak percayalah untuk DPM dan BEM,” tegas Ariena.
Kekhawatiran seperti ini bukannya tidak berdasar mengingat ULTKSP FISIP yang masih kurang populer di kalangan mahasiswa. Mengutip lpmperspektif.com, dari dua mahasiswa yang ditanya mengenai kinerja ULTKSP di masa perkuliahan hybrid, ternyata semuanya masih awam dengan lembaga ini. Bahkan di media sosial lewat akun Instagram @ultksp.fisipub per hari Senin (15/8), jumlah pengikutnya masih sebanyak 33 dan hanya terdapat tiga postingan yang baru saja diunggah dua hari sebelumnya (13/8).
ULTKSP FISIP yang Masih Terkungkung Kesunyian
FISIP memang menjadi salah satu fakultas yang terbilang awal dalam membentuk ULTKSP di UB, tapi dengan regulasi dan strukturasi yang masih belum final memunculkan keraguan dari kalangan mahasiswa akan terjaminnya ruang aman di lingkungan kampus. Terlebih sebentar lagi UB akan melangsungkan pesta penyambutan mahasiswa baru yang rawan terjadi Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KBGO). Namun hingga saat ini, setelah lebih dari dua minggu Sidang Tengah Periode KM FISIP, BEM dan DPM masih bungkam serta kabar dari ULTKSP FISIP yang masih saja sunyi di tengah khalayak Kampus Jingga.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Maria Rosa, mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2019 yang tidak banyak melihat manfaat dari adanya ULTKSP, padahal sudah berdiri sejak tahun 2021 lalu. Rosa merasa pihak BEM dan DPM sendiri tidak melihat masalah ULTKSP sesuatu yang penting, karena menurutnya, pergerakan BEM maupun DPM tidak terlihat oleh mahasiswa dengan jelas.
“Sejujurnya aku tidak melihat mereka ini berjalan sama sekali. Soalnya kalau kita lihat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud, red) itu harus ada sosialisasi maupun pendidikan terhadap mahasiswa kampus soal pelecehan seksual dan semacamnya. Cuman dari ULTKSP ini tidak ada sama sekali. Dan menurutku untuk melakukan hal itu tanpa ada Perdek harusnya bisa dilakukan. Toh kita tinggal bikin at least kajian gitu misalnya. Sebagai bentuk pencerdasan dari kampus,” jelas Rosa (7/8)
Rosa mengharapkan ULTKSP FISIP bisa belajar dari Fakultas Hukum (FH) yang memang sudah memiliki Perdek sebelumnya. Selain itu, ULTKSP maupun BEM dan DPM juga bisa membuat policy brief maupun Standard Operating Procedure (SOP) untuk memperjelas struktur dan alur kerja.
“Harapanku ULTKSP FISIP ini bisa berjalan dengan maksimal ya. Maksudnya kalau bisa sebelum maba (mahasiswa baru, red) masuk mereka sudah jelas, secara struktural entah tim dosen atau mahasiswanya kalau misal Perdek tidak bisa ya ada SOP yang jelas. Dan bisa diinformasikan ke mahasiswa. Tidak cuma pelaporannya, tapi juga sanksi-sanksi. Karena sering kali terjadi pada masa Ospek, seperti KGBO dan itu sudah berkali-kali. Jadi kayak kita bisa memberikan ruang aman ke maba ini,” jelas Rosa.
Mengenai hal tersebut, Halley Marvelin selaku anggota ULTKSP sekaligus Direktur Jenderal (Dirjen) Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Advokesma) BEM FISIP menjelaskan saat ini (3/8) pembahasan tersebut masih di tahap koordinasi antara internal BEM karena policy brief yang ingin dibuat tidak spesifik mengenai ULTKSP FISIP UB.
Sementara itu, Adika Irgy Fashan, anggota Badan Advokasi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FISIP UB mengaku bahwa pihak DPM juga kesulitan dalam mengakses informasi terkait Perdek Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (PPKSP). Ia juga menyebutkan hingga saat ini (5/8) dirinya masih belum mendapat informasi terkait transparansi Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) FISIP.
“Sampai saat ini kami pun belum dapat informasi mengenai transparansi dari SOTK FISIP itu sendiri bahkan untuk Peraturan Rektor (Pertor) STOK FISIP pun kami kesulitan untuk akses karena di-lock dan tidak dapat diakses oleh mahasiswa. Jadi kami kesulitan untuk sampai pada akhirnya di titik mana sebenarnya ada hambatan di step mana yang dialami dekanat dalam SOTK sehingga pada akhirnya berdampak pada Perdek PPKSP (Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual, red),” ujarnya.
Namun, sejalan dengan terkungkungnya Perdek ULTKSP tersebut, DPM dan BEM justru sepakat tidak akan mengeluarkan policy brief. Hal ini dibenarkan pula oleh Irgy, ia menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa BEM dan DPM akhirnya sepakat untuk tidak mengeluarkan policy brief.
“Kita sepakati untuk akhirnya tidak mengeluarkan policy brief, karena dari Pertornya sendiri akan ada kemungkinan untuk diamandemen, ini masih kemungkinan. Hal ini dikarenakan memang setelah Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 muncul, menyebutkan bahwa ada satuan tugas yang harus dibentuk oleh universitas dan kalau misalnya masih mengacu pada Pertor, di tataran fakultas itu ada. Ini perlu penyesuaian untuk sampai pada akhirnya koordinasi antar Satuan Tugas (Satgas) PPKS dan dari Tim ULTKSP sediri terkait hak, tugas dan wewenangnya,” jelas Irgy.
Hingga Jumat (5/8) lalu, Irgy menambahkan mengenai langkah strategis berupa konsolidasi dan koordinasi antara pihak DPM, BEM dan ULTKSP telah dilakukan.
Penjelasan Tim Dosen ULTKSP dan Pejabat Fakultas
Salah seorang anggota Tim Dosen ULTKSP, Pantri Muthriana Erza Kallian bersedia ditemui Tim Perspektif di Laboratorium Terpadu Gedung B FISIP UB. Ia menjelaskan bahwa upaya untuk menyusun Perdek ULTKSP sebenarnya sudah mulai digalakan dengan mengadakan pertemuan dan koordinasi bersama pihak Fakultas Hukum UB mengenai aspek substansi dan legalitas Perdek. Selain itu, koordinasi juga telah dibagun bersama pihak rektorat menganai tahapan-tahapan yang harus dilewati untuk mengesahkan Perdek ULTKSP FISIP.
Bukan hanya koordinasi dengan pihak dalam UB saja, ia mengatakan ULTKSP FISIP telah mempelajari berbagai Perdek mengenai kekerasan seksual di universitas lain seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) yang sudah mapan regulasinya.
Erza lalu menuturkan bahwa selama ini yang menjadi kendala Perdek ULTKSP tidak kunjung disahkan adalah perubahan status UB dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Badan Hukum (PTN-BH) sehingga membuat perubahan terhadap Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) di UB sendiri.
“Fungsi ULTKSP ini juga berubah, apakah dia menjadi unit sendiri atau digabung dengan BKM (Badan Konseling Mahasiswa, red)? Jadi itu menjadi kendala kami (Tim ULTKSP FISIP, red) soal Perdek-nya,” jelas Erza (2/8).
Ia lanjut menjelaskan meskipun Perdek ULTKSP FISIP berhasil lolos, tapi saat proses transisi ke PTN-BH, tentunya nanti akan berubah juga isi dari Perdek tersebut.
“Perdek ini bukan hanya soal wewenangnya saja, tetapi juga soal strukturnya. Jadi ketika kami buat Perdek soal kekerasan seksual dan ULTKSP-nya berubah, maka Perdeknya juga akan berubah,” imbuhnya.
Namun ketika ditanya mengenai kapan Perdek ini dapat disahkan, Erza masih belum bisa memberikan jawaban pasti.
“Kalau boleh jujur saya belum tahu pastinya kapan, karena saya tidak mengetahui lama waktu transisi UB ke PTN-BH,” ujarnya.
Mengenai tata cara penanganan kasus, Erza mengatakan dalam Pertor Nomor 70 Tahun 2020 sudah dijelaskan secara detail, sehingga ULTKSP FISIP tetap bisa menjalankan fungsinya tanpa perlu terbit Perdek terlebih dahulu. Begitu juga dengan pembagian tugas dalam ULTKSP FISIP sendiri tidak ada kendala karena sudah membentuk tiga divisi yaitu Advokasi, Kaderisasi, dan Penanganan. Hanya ada beberapa hal di Pertor yang masih sulit diakomodasi ULTKSP FISIP seperti penyediaan Save House untuk penyintas.
Hal ini pun dibenarkan oleh Bambang Dwi Prasetyo, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan FISIP UB bahwa pembagian tugas, alur pelaporan ULTKSP di website sudah ada. Tinggal Perdek-nya yang masih diproses karena terkendala transisi UB setelah menjadi PTN-BH.
“Kalau tunggu proses Perdek-nya (karena masih terkendala transisi PTN-BH, red) nanti kelamaan dan tidak jalan-jalan nanti,” tuturnya (4/8).
Ia lalu mengatakan bahwa kinerja ULTKSP FISIP sudah baik karena telah melakukan pelatihan dengan mengajak mahasiswa agar nantinya bisa memberikan informasi tersebut kepada mahasiswa yang lain.
Hal serupa juga disampaikan Erza bahwa sekarang ULTKSP FISIP memprioritaskan program kerja yang lebih kelihatan penerapannya daripada menunggu pengesahan Perdek, seperti penguatan kapasitas internal serta menerbitkan Buku Saku Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan. Meskipun ketika ditanya mengenai proses pembuatan buku saku tersebut, Erza mengaku masih dalam tahap menampung referensi dari berbagai pihak.
“Kami sudah mempunyai contoh (Buku Saku, red) karena dari UI mereka kerja sama dengan salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, red) tentang perempuan di Jakarta yang sudah mempunyai pedoman penanganan kekerasan seksual. Ini akan menjadi model buku saku kami yang tentunya akan ada perubahan sesuai dengan kondisi yang ada,” jelas Erza.
Ia kemudian berharap agar Buku Saku Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan dalam waktu dekat dapat diterbitkan dan para mahasiswa FISIP lebih mengenal lagi ULTKSP sebagai tempat pengaduan kasus kekerasan seksual dan perundungan di kampus. (gra/dhs/rsa/los)
===========
Jika ingin melaporkan kasus kekerasan seksual dan perundungan kepada ULTKSP FISIP, silahkan klik tautan .