Malang, PERSPEKTIF – Pelantikan Brigadir Jenderal (Brigjen) Andi Chandra As’aduddin sebagai Pejabat (Pj) Bupati Seram Barat, Provinsi Maluku pada 24 Mei lalu menambah daftar anggota aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang menjadi Pj kepala daerah. Sebelumnya, telah ada satu nama jenderal polisi bintang tiga yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yaitu Paulus Waterpauw sebagai Pj Gubernur Papua Barat.
Langgengnya anggota aktif TNI/Polri menjadi Pj kepala daerah ini tidak bisa lepas dari kondisi 272 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tahun 2024. Dari angka tersebut, 101 diantaranya akan purnatugas pada tahun ini. Maka dari itu, Mendagri, Tito Karnavian berhak untuk menunjuk Pj kepala daerah sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74 Tahun 2016.
Dua nama anggota aktif TNI/Polri yang menjadi Pj kepala daerah ini sontak mendapatkan respon negatif dari publik. Namun, seperti yang dikutip dari kompas.com, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Polhukam), Mahfud MD menyatakan hal tersebut tidak ada salahnya. Ia berdalih bahwa penunjukan anggota TNI/Polri sebagai Pj kepala daerah sesuai dengan Undang-Undang (UU) tentang TNI, UU Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Pemerintah (PP), dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tanggapan Akademisi Universitas Brawijaya
Polemik penunjukan anggota aktif TNI/Polri sebagai Pj kepala daerah ini kemudian mendapatkan respon dari kalangan akademisi seperti Dhia Al-Uyun, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB). Ia menjelaskan bahwa kepala daerah seharusnya dipisahkan dengan kewenangan yang lain sebagaimana yang tercantum pada Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis, sedangkan jika melalui mekanisme penunjukan, menurutnya hal tersebut tidak bisa dikatakan demokratis.
“Yang dipermasalahkan adalah adanya konflik kepentingan Andi Chandra yang memiliki kewenangan sebagai penegak hukum dan sebagai pejabat daerah yang sering disebut dengan rangkap jabatan. Hal ini sangat berbahaya karena memungkinkan terjadinya kekuasaan tak terbatas dan memperbesar peluang terjadinya kesewenangan sehingga rentan terhadap korupsi,” tuturnya dengan tegas (4/7).
Dhia melanjutkan bahwa penunjukan Pj kepala daerah ini dapat menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia karena seyogyanya semua lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menjadi kepala daerah sehingga aspirasi masyarakat dapat tersampaikan dengan baik. Ia kemudian memberikan beberapa saran agar kekosongan jabatan kepala daerah dapat diisi dengan mekanisme yang lebih demokratis seperti memanfaatkan jabatan sekretaris daerah (Sekda) dan membuka kesempatan bagi pihak independen.
“Jadi, adanya permasalahan kekosongan Pj kepala daerah ini bisa dilakukan oleh fungsi- fungsi administrasi lainnya bukan oleh fungsi kebijakan karena sebenarnya daerah itu sudah bisa berjalan tanpa pemimpin,” ujarnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Rizqi Bachtiar, Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB. Ia menyatakan bahwa TNI/Polri seharusnya fokus ke pertahanan dan keamanan. Jika memang ada minat untuk masuk ke dunia politik tidak ada masalah, tetapi menurutnya ada tahapan yang harus dilalui seperti mengundurkan diri dahulu dari status Prajurit TNI/Polri.
“Biarkan urusan politik itu menjadi urusan partai politik, elit-elit politik, dan kita sebagai bagian sentral dari sistem politik di Indonesia, yaitu kedaulatan rakyat,” jelas Rizqi (27/7).
Apabila fenomena ini dilihat dari sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu desentralisasi, maka menurut Rizqi memang kurang tepat. Sejatinya desentralisasi merupakan pembagian kekuasaan kepada daerah, sementara dalam sistem militer semua hal lumrahnya dilakukan dalam satu komando, sehingga pihak-pihak yang lebih dekat dengan masyarakat lebih baik untuk memimpin daerah.
“Selama ini yang kerja di eksekutif misalnya wakil walikota, wakil bupati, atau misalnya sekretaris daerah, mereka yang lebih paham teknis di daerah daripada militer yang secara serta-merta ditempatkan di sana (wilayah Pj kepala daerah, red),” ujarnya.
Mengingat Kembali Dwifungsi ABRI
Randika Pradayana, mahasiswa Ilmu Pemerintahan UB 2020 berpendapat bahwa fenomena TNI/Polri menduduki jabatan birokrasi akan membuka peluang kembalinya Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sarat problematika. Selain itu, hal ini juga telah mencederai cita-cita reformasi yang menghendaki militer tidak masuk dalam ranah politik.
“Dari segi legalitas memang hal ini sah karena dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 menyebutkan bahwa anggota TNI/Polri diperkenankan bertugas di birokrasi sipil jika diberi jabatan struktural yang setara dengan pangkat atau tugasnya. Namun, dari segi rasionalitas menurut hemat saya pribadi, tidak ada parameter yang jelas dalam penunjukannya sebagai Pj kepala daerah sehingga kapabilitas dalam mengelola daerah harus dipertanyakan,” jelasnya.
Pendapat lain disampaikan oleh Qisthy, mahasiswa Ilmu Hukum FH UB 2020 yang menyatakan fenomena rangkap jabatan ABRI di institusi sipil ini tidak sesuai dengan UU dan menyebabkan kinerja anggota TNI/Polri aktif mengalami penurunan karena dalam UU TNI hanya memperbolehkan prajuritnya untuk menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. UU Polri juga mengatur bahwa anggota Polri aktif hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Namun, ada tumpang-tindih peraturan di dua UU tersebut bahwa TNI/Polri bisa menjabat sebagai birokrat pada kantor yang membidangi Polhukam, Search and Rescue (SAR), dan Sekretaris Militer Presiden. Penyebab dari fenomena ini menurut Qisthy juga terdapat pengaruh dari jumlah perwira yang tidak sebanding dengan posisi yang tersedia sehingga ada fenomena anggota TNI/Polri yang masuk ke dalam jabatan sipil.
Hal serupa juga disampaikan oleh Randika bahwa penyebab fenomena ini bisa terjadi karena dalam UU memang memberikan peluang TNI/Polri mengisi jabatan birokrasi. Kemungkinan lain dikarenakan Mendagri, Tito Karnavian memiliki latar belakang sebagai anggota Polri. Ia kemudian menyatakan seharusnya TNI/Polri menjalankan tugas pokoknya yaitu pengayoman rakyat dan pelindung negara serta menjaga netralitas dengan tidak masuk ranah politik agar berbagai tragedi di masa Orde Baru (Orba) yang berkelindan dengan fenomena Dwifungsi ABRI tidak terjadi lagi. (alv/vny/nnfd/gra)