Malang, PERSPEKTIF – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur (Jatim) mengadakan diskusi dan nonton bareng (Nobar) film “Merawat Hidup Trenggalek” di Kedai Kopi Kalimetro, Kota Malang pada Selasa (13/7). Acara yang menjadi salah satu rangkaian Road to Java Youth Camp ini menghadirkan pembicara yaitu Lila Puspita dan Pradipta Indra Ariono selaku Eksekutif Daerah Walhi Jatim.
Acara diawali dengan nobar film “Merawat Hidup Trenggalek” yang menampilkan kisah ratusan ribu warga dari 9 kecamatan di Kabupaten Trenggalek. Dikisahkan ruang hidup warga Trenggalek tengah terancam akan kehadiran pertambangan emas milik PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) dan Far East Gold (FEG). Pasalnya pertambangan tersebut akan menguasai lahan konsesi seluas 12.833 hektar yang dikhawatirkan merusak kawasan pertanian, sumber mata air, gua, sungai bawah tanah, hutan, dan bentang kawasan karst.
Acara pun dilanjutkan dengan pemaparan hasil survei isu lingkungan di kalangan pemuda oleh Lila Puspita. Hasil survei tersebut menunjukan, mayoritas kalangan muda di Indonesia telah melek terkait persoalan lingkungan dan sadar bahwa hal tersebut merupakan akibat dari aktivitas manusia sehingga menjadi tanggungjawab semua pihak untuk mengatasi masalah ini.
“Dengan survei ini kita bisa melihat keterlibatan mereka (kalangan muda, red), kita punya basis data siapa saja yang mengisi dan nantinya bisa dihubungi. Yang tadinya hanya menanam pohon nanti bisa juga untuk gugatan publik bersama. Jadi itu maksud dari survei,” tutur Lila.
Kemudian, pada sesi diskusi film yang dipantik oleh Pradipta Indra Ariono, disebutkan olehnya bahwa film “Merawat Hidup Trenggalek” dibuat atas dasar wilayah pesisir selatan Pulau Jawa yang sedang dalam proses ancaman tambang, khususnya mineral. Indra juga menambahkan bahwa kondisi geografis Kabupaten Trenggalek yang berupa perbukitan mempunyai sumber daya alam melimpah, sehingga cukup untuk menghidupi masyarakat di sana yang bekerja pada sektor pertanian, tanpa perlu menghadirkan pola produksi baru seperti tambang emas.
Menurut Indra, jika proyek pertambangan ini dilaksanakan, maka masyarakat Trenggalek akan berdiri di atas dua pilihan, hidup berdampingan dengan aktivitas pertambangan atau musnah dari tempat tinggalnya sendiri karena ancaman penebangan hutan, pembersihan lahan, dan pemasangan alat peledak saat proses eksplorasi dengan sistem pertambangan terbuka.
“Tidak ada ceritanya nambang tanpa menyentuh itu tidak ada. Meraba tanpa menyentuh ya tidak ada. Sama, menambang tanpa mengeruk ya aneh. Tak akan mungkin,” pungkas Indra. (gra/rsa)