Lompat ke konten

Kampus Merdeka Hanyalah Sebuah Janji

Ilustrasi: Shofi Amalia
Oleh: Dhesia Rohmatul N.*

Kampus Merdeka merupakan inovasi paling terkini yang dilakukan Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Kampus merdeka pertama kali diluncurkan pada 24 Januari 2020 dengan empat kebijakan,  yaitu kebebasan perguruan tinggi mendirikan program studi baru, re-akreditasi universitas hingga program studi, peningkatan status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), dan yang terakhir kebebasan mahasiswa mengambil mata kuliah di luar program studi. Kebijakan inilah yang menjadi awal mula program-program kampus merdeka. Sampai saat ini, program kampus merdeka semakin berkembang dan beragam. Terdapat 12 program yang dijalankan hampir secara serentak, membuat mahasiswa bisa mendaftarkan diri di program yang lain jika memang tidak diterima di program unggulannya. Kampus Merdeka menjanjikan 20 SKS (Satuan Kredit Semester) konversi yang dapat dilakukan mahasiswa setelah program diselesaikan. Namun, dalam praktiknya masih banyak sekali kebingungan dan ketidakpastian yang diterima mahasiswa perihal konversi SKS maupun masalah lainnya.  

Program yang paling banyak melibatkan partisipasi mahasiswa adalah Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), yaitu program yang memberikan kesempatan mahasiswa mengikuti perkuliahan di luar program studi (prodi), bahkan di luar universitasnya. Program ini melibatkan sekitar 20.000 mahasiswa seluruh Indonesia. Banyak dari mahasiswa yang tertarik dengan program ini karena kesempatan dapat berkuliah di luar bidang studinya. Namun nyatanya, pelaksanaan program ini mengalami permasalahan saat melakukan konversi Kartu Rencana Studi (KRS) dari perguruan tinggi asal masing-masing. Ternyata banyak prodi yang hanya menerima mata kuliah yang relevan dengan mata kuliah mahasiswa dari kampus asal. Alhasil tidak sesuai janji Mendikbud, tidak semua mata kuliah yang diambil di perguruan tinggi penerima program PMM diterima oleh prodi asal mahasiswa.

Karena melibatkan mahasiswa langsung dengan Kemendikbud, masalah tidak hanya berupa konversi KRS yang rumit. Baru-baru ini, mahasiswa PMM berusaha membuat trend #PMM_Menderita untuk menarik perhatian Mas Menteri. Dalam hal ini, pencairan yang sangat terlambat melatarbelakangi tagar yang mulai ramai tersebut. Menurut Buku Panduan PMM, mahasiswa berhak mendapat uang bantuan biaya hidup sebesar Rp 700.000 selamat empat bulan kegiatan. Namun, melihat dari tagar yang berusaha diramaikan, bantuan biaya hidup yang dijanjikan belum diterima mahasiswa hingga kini. Yang lebih memprihatinkan adalah banyak mahasiswa yang berhasil dikirim ke luar pulau untuk menjalankan kegiatan pertukaran/perkuliahan secara langsung. Tetapi nasib mereka di tempat yang jauh dari kediamannya tidak terjamin sebab uang biaya hidup dan biaya kepulangan mereka belum diterima. 

Selanjutnya, baru-baru ini diberikan terjadi kasus pelecehan seksual yang diterima oleh mahasiswa PMM. Kejadian tersebut terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar awal Desember 2021. Mahasiswa peserta PMM yang mengikuti perkuliahan tatap muka di universitas penerima memang mendapat fasilitas tempat tinggal yang dibiayai oleh Kemendikbud. Dalam kasus di Makassar tersebut, tempat tinggal yang didapat peserta program adalah hotel yang dimiliki oleh universitas yang saat itu tidak memiliki fasilitas kamar mandi. Alhasil, mahasiswa yang memerlukan kamar mandi harus keluar hotel terlebih dahulu. Ternyata kamar mandi yang berada di dekat parkiran salah satu gedung kampus tersebut menyimpan kamera handphone di dalamnya. Mirisnya adalah sudah banyak video yang terekam sebelum mahasiswa yang menemukan kejanggalan di kamar mandi tersebut melaporkannya pada pihak yang terkait. 

Dari beberapa keresahan kampus merdeka di atas, dapat dilihat bahwa masih sangat jauh dari kata “merdeka”. Merdeka dari kebebasan pilihannya, merdeka dari haknya, dan merdeka dari rasa aman. Bahkan masalah-masalah yang tertulis di atas hanyalah berasal dari salah satu program saja. Banyak hal yang sebenarnya belum disiapkan Kemendikbud untuk kebijakan kampus merdeka. Tidak hanya mahasiswa, pihak-pihak program studi juga belum sepenuhnya siap akan target waktu pelaksanaan program yang harus dikejar. Terutama mengenai  pedoman konversi KRS yang dibutuhkan dengan segera. Prodi harus melayani berbagai kebutuhan mahasiswa dari berbagai program yang ditawarkan Kemendikbud. Meskipun demikian, pihak prodi juga tidak menyerah begitu saja melarang para mahasiswanya menjajal program kampus merdeka. Karena memang tujuan dari program-program tersebut memang baik dan dibutuhkan mahasiswa. Prodi maupun fakultas ikut mendorong mahasiswa mencoba dengan memberikan dukungan dan bimbingan. Tetapi memang tidak semua program relevan dengan cabang ilmu setiap prodi. Sehingga hal ini menjadi masalah tersendiri bagi prodi dan fakultas. 

Alangkah baiknya, pemerintah maupun Kemendikbud lebih sabar dalam mengelola program. Misalnya dengan mengeluarkan tiga program unggulan yang paling ditunggu mahasiswa. Baru selanjutnya program yang lain dikeluarkan di tahun setelahnya. Tujuannya adalah agar mahasiswa maupun pihak program studi mempersiapkan hal-hal yang bersangkutan lebih baik. Inspirasi dari program kampus merdeka ini juga tidak diragukan lagi. Misalnya program PMM yang terinspirasi dari kampus-kampus Ivy di Amerika Serikat, yang mana mahasiswa di berbagai kampus yang tergabung dalam Ivy League bisa mengikuti perkuliahan di luar kampusnya. Namun tentu saja, masih harus melalui proses yang panjang untuk dapat sampai di tahap tersebut. Dan sekitar satu tahun program kampus merdeka ini terlaksana, pemerintah harus dapat mengambil evaluasi dari semua jenis program, mengingat setiap program melibatkan banyak pihak yang perlu penjelasan. 

Sumber:

https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20211209194424-20-732178/unm-segera-pecat-satpam-terduga-perekam-mahasiswi-di-kamar-mandi/amp

https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1499641/kampus-merdeka-ideal-secara-konsep-beban-bagi-program-studi

========

Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam Buletin Redaksi Edisi 3 Tahun 2021 dengan judul “Diorama Kampus Merdeka” pada 28 Desember 2021.

(Visited 259 times, 1 visits today)
*) Penulis bernama Dhesia Rohmatul Ni’mah, mahasiswa Ilmu Politik FISIP UB 2019. Saat ini, penulis aktif sebagai Bendahara Umum LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?