Lompat ke konten

Evaluasi Kampus Merdeka: Ketidaksesuaian Regulasi hingga Kecenderungan Industrialisasi

Ilustrasi: Annisa Dzata

Malang, PERSPEKTIF Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mempelajari berbagai keilmuan yang mereka minati, di dalam maupun di luar kampus, guna menyiapkan diri untuk terjun ke dunia kerja. Program ini dinilai sejalan dengan fokus utama pemerintahan Joko Widodo untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Dilansir dari Cnnindonesia.com dan Detik.com, Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, mengatakan bahwa program MBKM bertujuan untuk memerdekakan mahasiswa dari berbagai sekat-sekat keilmuan yang masih membatasi dunia pendidikan Indonesia saat ini, dengan semua program ditetapkan bernilai 20 SKS (satuan kredit semester). Tidak hanya itu, menurut Nadiem, program MBKM juga memberikan bekal kombinasi disiplin ilmu kepada mahasiswa agar dapat menjawab tantangan industri kerja yang semakin granular.

Pernyataan-pernyataan Nadiem dan pelaksanaan program MBKM sejauh ini mendapat tanggapan yang beragam dari sivitas akademika dan pengamat pendidikan. Salah satunya adalah Yatsabita Nabila Andriana, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB) yang mengikuti program Magang Merdeka. Ia mengatakan bahwa program MBKM sudah cukup mencerminkan adanya merdeka belajar. 

“Aku mendapatkan apa yang dibilang merdeka belajar karena dapat belajar hal-hal baru yang sesuai dengan background aku dan cukup membantu karir ke depannya. Program ini juga membantu membuka jalur karir ke depannya karena kita diberikan pembekalan-pembekalan seperti soft skill dan hard skill yang sesuai dengan tempat magang yang dipilih,” ungkap Yatsabita (20/12).

Ia kemudian menambahkan hal-hal yang masih perlu diperbaiki dalam program MBKM, terkhusus subprogram Magang Merdeka yang diikutinya. 

“Kalau dari aku yang perlu diperbaiki seperti regulasi pembiayaan dan rekrutmennya. Tetapi, teman-teman yang lain juga punya masalah terkait akademis seperti konversi SKS dan lain-lain,” jelas mahasiswa angkatan 2018 ini.   

Tanggapan berbeda muncul dari salah satu mahasiswa peserta MBKM, tepatnya Indonesia International Student Mobility Award (IISMA), Putra Satria. Satria mengaku sebelum mengikuti program MBKM ini, banyak hal yang terlintas dalam pikirannya hingga kemudian membuat dirinya tertantang untuk mengkritik beberapa hal dari program MBKM. Namun, Satria mengungkapkan ada perubahan pemikiran antara setelah dan sebelum ia mengikuti program ini. 

“Setelah mengikuti program IISMA dan ada di sini, aku mengomparasi beberapa sistem pendidikan di beberapa negara, dan ternyata program Kampus Merdeka ini aku pikir adalah salah satu progres bagi sistem pendidikan di Indonesia. Karena pada akhirnya 8 subprogram yang ada pada program Kampus Merdeka ini benar-benar mewadahi kita, mahasiswa Indonesia, untuk punya experience yang tidak dapat kita peroleh di kelas biasa,” ungkap awardee IISMA di Palacky University, Republik Ceko ini.

Meskipun demikian, Satria juga sempat menyinggung perihal ketentuan dan regulasi di lapangan yang tidak sesuai dengan arahan dari Mendikbudristek. Bahkan, ketidaksesuaian tersebut juga mengakibatkan beberapa mahasiswa sempat menunda kelulusannya.

“Seperti yang aku bilang tadi, kayak kita tidak takut soal SKS, ternyata di beberapa kampus dan di beberapa prodi itu masih ditemukan ada beberapa mata kuliah yang diambil tidak dapat dikonversi dengan mata kuliah di prodi itu. Karena prodi tidak mengakui, itu tentu tidak sesuai dengan arahan Menteri Pendidikan, dong,” jawab mahasiswa Sosiologi UB 2018 ini. 

Selain itu, Satria juga berharap ke depannya pemerintah dapat melakukan kontrol pengawasan dan pengarahan yang lebih tegas kepada awardee, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi—seperti banyaknya awardee yang justru lebih fokus travelling dibandingkan belajar. Ia juga menyebutkan pemerintah seharusnya bisa memberikan pelatihan khusus kepada awardee mengenai budaya dan pendidikan di negara yang akan dituju. 

Kritik terhadap program MBKM juga dilontarkan oleh salah satu dosen Hubungan Internasional UB, Arief Setiawan, khususnya mengenai pengarahan program MBKM ke arah industrialisasi. Menurutnya, bentuk ideal pendidikan, khususnya di universitas, ialah membentuk pemikiran.

“Pendidikan itu kan tujuannya untuk membangun peradaban. Apakah peradaban itu adalah industrialisasi? Kita akan kesulitan mengejar negara-negara yang melakukan industrialisasi terlebih dahulu. Aspek lain yang perlu ditingkatkan seharusnya di aspek kebudayaan. Kalau industri itu pendidikannya, ya, di poltek (Politeknik, red), terapan, bukan di universitas. Universitas saya kurang sepakat kalau soal industrialisasi,” jelas Arief.

Arief juga menambahkan beberapa hal yang seharusnya diperbaiki dalam program MBKM ini. 

“Yang harus diperbaiki yaitu satu, penekanan pada bidang akademik itu harus menjadi champion-nya. Yang kedua, tentang bagaimana mahasiswa dapat belajar multidisipliner untuk melengkapi keilmuan yang utama, dan yang ketiga yaitu bagaimana mahasiswa itu dapat berpikir bebas. Itu tiga hal yang menurut saya penting dalam merdeka belajar,” jelas Arief kepada awak Perspektif (14/12). 

Sementara itu, Novada Purwadi, anggota Komite Pendidikan UB, menganggap bahwa sejatinya Program MBKM memiliki potensi besar untuk memberikan dampak positif kepada segmen mahasiswa tertentu. 

“Kampus Merdeka ini mempunyai potensi yang cukup besar terhadap mahasiswa yang pragmatis, yang selalu mencari keuangan, pendapatan, dan lain-lain, maka program magang ini bagus untuk memberikan pengetahuan pengalaman kerja yang rigid,” kata Novada (14/12). 

Ia kemudian menjelaskan bahwa program MBKM perlu untuk dievaluasi, khususnya terkait dengan perlindungan terhadap mahasiswa dan perhatian terhadap program-program kemanusiaan.

“Masih diperlukan perbaikan dalam perlindungan, seperti kepada mahasiswa magang yang mendapat upah tidak sesuai dengan jam kerjanya. Selain itu, proyek kemanusiaan perlu diutamakan juga. Karena yang saya lihat program Kampus Merdeka ini cenderung mengarah ke industrialisasi saja, dan tidak ada keseimbangan dengan kerja-kerja kemanusiaan,” jelas Novada. (rsa/gra/rff)

========

Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam Buletin Redaksi Edisi 3 Tahun 2021 dengan judul “Diorama Kampus Merdeka” pada 28 Desember 2021.

(Visited 937 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?