Lompat ke konten

Pesta Aklamasi PEMIRA UB 2021

Ilustrator: Fadya Choirunnisa
Oleh: Gratio Ignatius Sani Beribe*

Pada hari Jumat (14/1) telah dirilis Berita Acara hasil Pemilihan Mahasiswa Raya (PEMIRA) Universitas Brawijaya (UB) 2021 untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dari empat fakultas yaitu FK, FKG, FKH, dan FIKes. Pelaksanaan PEMIRA susulan ini sebagai tindak lanjut dari hasil PEMIRA sebelumnya yang dianggap belum representatif karena masih kekurangan perwakilan anggota DPM dari empat fakultas di atas. Dengan berakhirnya PEMIRA susulan ini, maka telah ditetapkan satu pasangan Presiden dan Wakil Presiden Eksekutif Mahasiswa (EM) serta 18 anggota DPM UB terpilih.

Namun, yang miris dari penyelenggaraan PEMIRA tahun ini adalah meriahnya aklamasi yang terjadi baik pada ranah legislatif maupun eksekutif. Hal ini bisa dilihat dari 18 kursi DPM UB yang diperebutkan, sebanyak 13 kursi didapatkan secara aklamasi, sehingga hanya 5 daerah pemilihan saja yang melaksanakan pemungutan suara.  Bahkan untuk memilih Presiden EM saja tidak bisa dilakukan oleh mahasiswa UB tahun ini karena telah ditetapkan secara aklamasi juga. Banyaknya jabatan yang diperoleh secara aklamasi menyebabkan penyempitan terhadap ruang partisipasi mahasiswa, sehingga wajar jika PEMIRA sebagai agenda pesta demokrasi mahasiswa terbesar di UB dipertanyakan esensinya pada tahun ini.

Untuk menjawab bagaimana permasalahan di atas bisa terjadi, maka kita perlu memutar waktu untuk kembali pada awal bulan Desember tahun lalu, di saat semua hal ini dimulai. Dilansir dari lpmperspektif.com, pada tanggal 2 Desember 2021, DPM UB beserta Panitia Pelaksana melaksanakan sosialisasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Dalam sosialisasi itu, Ketua DPM UB, Fajar Nur Ramadhan menyatakan bahwa timeline PEMIRA 2021 belum bisa ditampilkan karena masih dalam pembahasan di tingkat rektorat. Dari sini bisa kita ketahui bahwa adanya intervensi yang kuat dari pihak rektorat terhadap penyelenggaraan PEMIRA tahun ini. 

Selepas dari sosialisasi tersebut, butuh waktu hampir dua minggu untuk mendapatkan kejelasan mengenai timeline PEMIRA yaitu pada tanggal 15 Desember 2021, dengan diadakannya sosialisasi kedua yang turut dihadiri oleh Wakil Koordinator Panitia Dosen PEMIRA 2021, Dr. Setiawan Noerdajasakti. Sosialisasi ini bukan hanya menjelaskan tentang timeline saja, melainkan juga memberikan informasi tentang perubahan Undang-Undang PEMIRA UB 2021 menjadi Peraturan Mahasiswa (PERMA) PEMIRA UB 2021 yang ditetapkan secara tiba-tiba. Walaupun alasan utama dari perubahan ini adalah ketidaksesuaian hierarki Perundang-undangan di kampus, namun terdapat beberapa perbedaan krusial pada isi peraturan. Contohnya seperti penghapusan Ayat 1 Pasal 23 UU PEMIRA 2021 yang mengatur tentang perpanjangan waktu pendaftaran jika jumlah calon sementara masih belum memenuhi syarat untuk dilakukan pemungutan suara. Selain itu. Terdapat penghilangan frasa “Dapil bebas” pada Pasal 21 PERMA PEMIRA 2021 sehingga Dapil yang tidak mengirimkan delegasi, tidak mempunyai hak suara lagi dalam PEMIRA. 

Penghapusan perpanjangan waktu pendaftaran membuat peluang partisiasi mahasiwa untuk berkontestasi dalam PEMIRA dibatasi oleh waktu yang sangat singkat. Akibatnya banyak calon tunggal DPM di daerah-daerah pemilihan dan hal serupa juga muncul pada pemilihan Presiden EM. Hal ini tentunya membuat PEMIRA UB 2021 bukan lagi menjadi ajang untuk mengadu visi maupun gagasan para calon tentang pemberdayaan dan advokasi mahasiswa yang lebih baik serta wadah pembelajaran untuk berdemokrasi, namun PEMIRA tahun ini tidak lebih dari sekedar lomba lari jarak pendek: Siapa cepat, dia menjabat. 

Alibi untuk menghindari adanya “permainan” serta kekacauan yang terjadi pada PEMIRA tahun lalu tidak bisa dibenarkan untuk melakukan penghapusan perpanjangan waktu pendaftaran calon yang menyebabkan banyak aklamasi. Seharusnya hal-hal tersebut merupakan dinamika yang berkelindan dengan proses pendewasaan mahasiswa untuk berdemokrasi dan berpolitik. Tugas sebagai pihak penyelenggara seharusnya menjadi penyedia fasilitas dan pengawas yang profesional dengan tidak memihak golongan manapun serta menjadi penjaga agar dinamika politik tersebut tetap berjalan pada jalur-jalur yang benar. Bukan malah mengebiri politik itu sendiri dalam sebuah kontestasi politik mahasiswa. 

Jika dirasa PEMIRA selama ini hanya sebagai momentum bagi golongan-golongan mahasiswa tertentu untuk memperoleh kekuasaan, maka setiap individu yang mengambil tanggung jawab sebagai pihak penyelenggara baik itu Panitia Pelaksana, Panitia Pengawas, DPM, dan juga Rektorat harus mampu bersikap profesional dan mempunyai landasan etis yang jelas untuk tidak berpihak dan memiliki kepentingan kepada golongan tertentu sehingga kepercayaan mahasiswa terhadap penyelenggaraan PEMIRA dapat meningkat dan secara langsung ikut mempengaruhi partisipasi mahasiswa dalam hal memberikan suara maupun ikut terlibat sebagai kontestan PEMIRA. Dengan ini maka PEMIRA dapat benar-benar menjadi sebuah pesta demokrasi yang penuh dengan adu ide, gagasan, dan strategi, bukan sekedar menjadi pesta aklamasi seperti yang terjadi sekarang. 

(Visited 330 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Tahun 2020. Saat ini aktif sebagai Pemimpin Redaksi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?