Malang, PERSPEKTIF- Dalam rangka membuka kembali dan evaluasi pelayanan, Perpustakaan Universitas Brawijaya (UB) mengadakan acara UB Library Sharing Session: Understanding The Users’ Needs pada Rabu (15/12) pagi. Salah satu isu yang didiskusikan pada acara tersebut adalah fasilitas bagi mahasiswa difabel.
Salah satu mahasiswa tuli dari jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Dewa, menceritakan pengalaman saat berkunjung pertama kali ke Perpustakaan UB pada tahun 2019. Ia merasa bingung tentang prosedur memasuki Perpustakaan UB.
“Tidak ada petugas yang berjaga saat itu. Saya langsung masuk membawa tas ke dalam Perpustakaan UB dengan polosnya,” ungkapnya sambil dibantu dengan juru bahasa isyarat.
Dewa baru menyadari ketika ada banyak orang yang saat itu melihatnya. Selain itu, ia mengaku telah dipanggil-panggil petugas Perpustakaan UB dengan nada tinggi agar meletakkan tasnya di lantai 1. Insiden tersebut membuat Dewa terganggu saat belajar di Perpustakaan UB.
“Ternyata saya diikuti oleh petugas dan banyak yang marah-marah. Saya tidak tahu salah apa. Ternyata, tas harus ditaruh di lantai 1 dan harus scan KTM,” tutur mahasiswa angkatan 2019 tersebut.
Selain itu, Dewa menyayangkan pengumuman Perpustakaan UB yang hanya menggunakan suara. Ia dan kawan-kawan tuli lainnya merasa kesulitan menerima informasi jika diumumkan dengan suara. Salah satu contohnya adalah pengumuman Perpustakaan UB akan ditutup selama pandemi.
“Saat itu ada mahasiswa ramai-ramai berkumpul. Kami (Mahasiswa tuli, red) tidak tahu ada apa. Kami baru tahu ketika salah satu teman yang menggunakan alat bantu pendengaran mengetahui jika Perpustakaan UB akan ditutup,” ungkap Dewa.
Selain Dewa, mahasiswa tuna netra yang juga hadir, Izhar, mengeluhkan fasilitas bagi mahasiswa tuna netra yang masih belum tersedia. Ia merasa kesulitan untuk mengakses ruang dan fasilitas daring Perpustakaan UB, termasuk tidak adanya huruf braille.
“Saya tidak menemui adanya fasilitas penunjang bagi mahasiswa tuna netra di Perpustakaan UB. Itu juga termasuk saat mengakses digilib (Digital Library, red) Perpustakaan UB,” ungkapnya.
Kepala Perpustakaan UB periode 2013-2021, Johan Noor, menuturkan bahwa kerja sama pengadaan fasilitas difabel telah direncanakan dengan Pusat Layanan dan Studi Disabilitas (PSLD) UB sejak tahun 2012.
“Sejatinya sudah ada rencana dengan PSLD dari tahun 2012. Hanya saja, belum terlaksana,” ungkapnya.
Johan mengaku bahwa salah satu kelemahan Perpustakaan UB adalah tidak adanya ruang dan fasilitas khusus bagi mahasiswa difabel. Ia berharap pengurus Perpustakaan UB yang baru dapat mengakomodir kebutuhan mahasiswa difabel. (mim/ais)