Malang, PERSPEKTIF – Memasuki tahun kedua pandemi Covid-19, Universitas Brawijaya (UB) kembali menerapkan perkuliahan dalam jaringan (daring) pada tahun ajaran baru 2021. Keputusan ini diambil lantaran status darurat Covid-19 yang terus meningkat pada pertengahan 2021 lalu. Kembalinya kuliah daring memunculkan berbagai pertanyaan. Mulai dari efektivitas dan keberhasilan jalannya sistem sampai dengan dampak yang dirasakan mahasiswa selama perkuliahan daring.
Salah satu dampak kuliah daring yang dirasakan mahasiswa adalah learning loss. Fenomena ini merujuk pada kondisi kehilangan atau terbatasnya kemampuan dan pengetahuan dalam hal akademik. Pada umumnya learning loss terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau diskontinuitas dalam pendidikan. Dampaknya, pengetahuan yang diterima mahasiswa menjadi tidak sebaik saat sebelum pandemi.
“Selama perkuliahan daring saya sulit memahami materi yang disampaikan. Meskipun sudah fokus menyimak, namun kondisi daring menyebabkan suasana menjadi sangat membosankan dan mudah terpecah fokusnya. Ada juga dosen yang sering mengganti jadwal kuliah begitu saja dan ada juga dosen yang tidak mentoleransi dan memahami kondisi mahasiswa, seperti koneksi internet buruk, pemadaman listrik, media error, sampai gangguan teknis lainnya,” jelas Dia Kumala, mahasiswa Ilmu Politik 2018, dalam survei yang dilakukan Litbang Perspektif.
Wakil Rektor I Bidang Akademik UB, Aulanni’am, menanggapi fenomena learning loss di kalangan mahasiswa. Menurutnya, selalu ada dampak dari kondisi yang tidak normal. Dalam hal ini, motivasi dari mahasiswa sangat diperlukan dalam menyesuaikan dengan kondisi.
“Potensi learning loss tetap ada jika dari sisi mahasiswa tidak bisa menyesuaikan. Dosen saat ini sebagai pemantik dan mahasiswa yang mengembangkan sesuai bidang mata kuliah yang ada,” ujarnya (15/8).
Keterbatasan akses dalam perkuliahan daring dikatakannya dapat disiasati dengan pola pembelajaran partisipatif dan project-based.
“Tidak semua dosen yang harus memberikan materi. Dan dengan keterbatasan akses, maka pola pembelajaran partisipatif dan project-based bisa dikembangkan lebih lanjut. Semua ini sangat tergantung motivasi mahasiswa untuk menyesuaikan dengan kondisi,” tambahnya.
Penyesuaian tersebut juga berdampak pada pemangkasan jumlah pertemuan kuliah dalam satu semester, dari yang sebelumnya minimal 14 menjadi 12 pertemuan kuliah.
Muhammad Faishal Aminuddin selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB menjelaskan terkait pemangkasan pertemuan kuliah yang tujuannya agar perkuliahan lebih fleksibel.
“Ketentuan yang dibuat FISIP juga mengacu pada surat edaran rektor tahun lalu yang mana waktunya sangat singkat. Kemudian menjadi pertimbangan agar kita bisa fleksibel dalam menyikapi,.. maka dari itu jamnya menyesuaikan lagi dengan kesibukan masing-masing dosen dan kesepakatannya dengan mahasiswa yang bersangkutan,” jelas Faishal (26/7).
Lebih lanjut, keputusan terkait jumlah pertemuan diserahkan kembali kepada masing-masing dosen. Faishal mengatakan, “Karena batasan tersebut adalah batasan minimal, jadi dosen diperbolehkan memperbanyak pertemuan sesuai kebutuhan.”
Dosen Ilmu Komunikasi, Arif Budi Prasetya, menanggapi kebijakan pemangkasan jumlah pertemuan sebagai upaya memudahkan mahasiswa dengan meringankan jam belajar dan meminimalkan pengeluaran kuota untuk keperluan perkuliahan.
“Ini jadi tantangan bagi kami untuk memberikan pemahaman yang konkret kepada mahasiswa. Dengan jumlah pertemuan yang terbatas menimbulkan adanya beban tambahan perkuliahan. Yang awalnya dosen sudah merencanakan 14 pertemuan, harus dikurangi jadi 12. Materi yang padat menuntut mahasiswa untuk terus belajar dan beradaptasi dengan situasi pandemi,” jelas Arif (23/7).
Fasilitas Zoom Kuliah Daring FISIP
Kendala kuliah daring lainnya adalah terkait fasilitas Zoom Premium dari fakultas. Faishal mengatakan, FISIP telah menyediakan fasilitas Zoom bagi seluruh tenaga pengajar, dengan syarat dosen melakukan pengajuan jam dan hari akan dilaksanakannya virtual meeting.
“Tapi menurut saya itu kurang fleksibel, lebih enak berlangganan sendiri. Toh tidak terlalu mahal juga. Zoom yang disediakan fakultas itu jamnya harus diatur atau tidak bisa fleksibel. Dosen bisa memakai Zoom sendiri atau bisa juga pakai Google Meet, diserahkan ke masing-masing dosen,” kata Faishal.
Hal tersebut diamini oleh Arif yang mengatakan bahwa setiap dosen dapat mengajukan peminjaman Zoom jika diperlukan.
“Setiap dosen bisa meminjam Zoom tersebut jika memang membutuhkan. Hanya saja karena keterbatasan Zoom Premium jadi kalau sedang ada yang memakai kita juga harus bisa menyesuaikan,” jelas Arif.
Yustika Citra Mahendra, Dosen Hubungan Internasional, lebih menyoroti pada bantuan kuota internet yang dinilai terlalu kecil dibanding beban daring yang harus ditanggung dosen.
“Tidak ada kendala teknis menurut saya (terkait peminjaman Zoom, red), yang perlu diperhatikan fakultas buat dosen adalah bantuan kuota yang dinilai masih terlalu kecil (150 ribu/bulan) dengan beban kerja daring yang luar biasa,” ucap Yustika (9/8).
Akses Mahasiswa Difabel Selama Kuliah Daring
Kuliah daring juga menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Endjie Apta Martiazharine mengatakan kendala biasanya terjadi saat tidak ada pendamping.
“Sulit untuk berkomunikasi dan menyesuaikan agar pengajar tidak bicara terlalu cepat karena itu membuat saya terkadang kurang paham,” ungkap mahasiswa difabel tuli dari D3 Sistem Informasi UB (21/7).
Ziadatul Hikmiah, Staf Layanan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) UB menjelaskan bahwa mahasiswa difabel sangat memerlukan peranan komunitas. Adanya kuliah daring ini secara signifikan mengurangi kesempatan mahasiswa difabel—khususnya difabel tuli—dalam berkomunikasi dengan bahasa isyarat dalam komunitasnya. Berada dalam komunitas yang bisa berbahasa isyarat sangat membantu kelancaran kuliah mahasiswa difabel tuli.
“Yang kedua ada kendala di connectiveness. Banyak yang merasa bahwa mereka sendirian. Padahal sense of community inilah yang selama ini dibangun oleh PSLD. Hal tersebut terhambat oleh pandemi sehingga mereka merasa seolah-olah struggle sendirian meski dari PSLD sudah menyediakan pendamping,” jelas Zia (7/7).
Zia juga menambahkan selama kuliah daring, terjadi kenaikan yang cukup signifikan di layanan konseling PSLD UB. Ia mengatakan, “Dulu (layanan konseling, red) tidak mendapat banyak keluhan. Tapi di masa pandemi, teman-teman disabilitas banyak yang curhat dan sebagainya. Jadi mereka menyiasati kendala tersebut dengan curhat ke konselor, menghubungi tutor, dan berdiskusi dengan pendamping.”
Selain layanan pendamping, PSLD UB saat ini juga tengah menjalankan program digitalisasi buku dan bahan ajar bagi mahasiswa difabel.
“Program ini untuk memastikan aksesibilitas soal-soal dari dosen. Selama ini sudah banyak dosen yang mengirimkan soal-soal UTS dan UAS untuk memastikan itu sudah aksesibel bagi mahasiswa difabel atau tidak,” jelas Zia.
Lebih lanjut, layanan terhadap mahasiswa difabel selama kuliah daring dijalankan dengan menciptakan sinergi antara jurusan masih-masing dengan PSLD. Sinergi diciptakan guna memastikan materi perkuliahan dapat diakses oleh mahasiswa difabel, baik selama kuliah luring maupun daring.
“Setiap ada masalah terkait mahasiswa difabel, jurusan pasti akan menghubungi PSLD. Sehingga PSLD dapat menentukan langkah yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Kita bisa melakukan konseling, home visit, bimbingan tutor untuk skripsi, serta menjamin aksesibilitas materi ajar,” tutup Zia. (ist/ads/ais)
========
Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam Buletin Redaksi Edisi 2 Tahun 2021 dengan judul “Dinamika Kuliah Daring Universitas Brawijaya” pada 1 Oktober 2021.