Malang, PERSPEKTIF – Surat Keputusan (SK) pemberhentian 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi dikeluarkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Pemberhentian tersebut terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2021. Hal ini dibenarkan oleh salah satu pegawai KPK bagian Biro Humas, Tata Khoiriyah, pada wawancara dengan LPM Perspektif, Sabtu (25/9) lalu.
”Terhitung mulai tidak menjadi pegawainya tanggal 30 September dan saya terakhir menjadi pegawai KPK tanggal 29 September,” ujar Tata.
Surat Keputusan pemberhentian ini menyusul kabar tidak lolosnya 75 pegawai KPK dalam asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK pada Mei 2021 lalu, sebagai salah satu rangkaian alih status jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) bagi pegawai KPK.
Sebanyak 57 pegawai KPK secara resmi diberhentikan dengan hormat, setelah sebelumnya terdapat 51 pegawai yang dinonaktifkan dari jabatan dan 24 pegawai menerima pembinaan oleh KPK.
Wawan Sobari selaku Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya berkomentar bahwa syarat pemberhentian yang hanya berdasarkan asesmen TWK saja tidak cukup untuk dijadikan acuan, sehingga perlu adanya peninjauan ulang. Menurutnya, banyak kriteria lain yang diperlukan untuk menjadi seorang pegawai KPK yang berintegritas.
“Menurut saya tidak cukup kalau mau jadi pegawai KPK hanya sekedar dengan TWK. Gak pas lah. Saya yakin selama ini KPK punya mekanisme tes yang sangat bagus untuk memiliki pegawai berintegritas,” jelasnya (23/9).
Wawan mengatakan bahwa KPK bukanlah lembaga yang berdiri sendiri. Eksistensi KPK banyak dipengaruhi oleh institusi-institusi lain.
“KPK itu konsekuensinya tidak hanya ditentukan KPK sendiri. Ada institusi lain yang bisa menentukan eksistensi dan kekuatan KPK. Ada lembaga eksekutif lainnya, seperti presiden dan lainnya. Sehingga menurut saya KPK tidak berdiri sendiri,” jelas Wawan.
Wawan menambahkan bahwa kerja KPK tidak hanya dinilai dari capaian penanganan dan pencegahan tindak korupsi saja, melainkan kepercayaan dan dukungan publik juga penting bagi KPK. Ia mengatakan, “Dukungan publik juga penting, termasuk media. Bahwa KPK ini sedang diuji dengan adanya persoalan pelanggaran etik dan cenderung dikatakan pelanggaran pidana. Itu kan menjadi hal yang menurut saya penting untuk dijadikan refleksi.”
Tata Khoiriyah sebagai salah satu pegawai KPK yang namanya masuk dalam daftar pegawai yang diberhentikan, menyatakan bahwa kalimat “Pemberhentian dengan hormat” tidak tepat penggunaannya. Ia mengatakan bahwa pemberhentian ini dilakukan dengan cara yang tidak benar.
“Dan diberhentikan dengan cara yang tidak baik-baik. Kalau mengundurkan diri, berarti saya kan berhenti dengan hormat. Namun saat ini kita mendapat labelling (diberhentikan dari KPK, red) tapi dibilang berhenti dengan hormat,” ujar Tata.
Tata juga menduga bahwa terdapat campur tangan politik dalam proses peralihan status kepegawaian KPK. Hal ini tercermin dari adanya banyak kejanggalan dalam tahap peralihan status yang dijalankan. Dugaan ini semakin menguat dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komnas HAM yang mengeluarkan hasil penyelidikan dan menyatakan adanya maladministrasi dalam proses peralihan status kepegawaian KPK.
“Sangat jelas, Mas. Ini kenapa semakin menguat dugaan kami setelah hasil-hasil penyelidikan ORI dan Komnas HAM sudah keluar. Namun hasil ini tidak diindahkan oleh lembaga atau pihak yang menangani tes asesmen wawasan kebangsaan. Artinya ada kepentingan politik yang kami tidak tahu karena background atau karena apa,” jelas Tata.
Wakil ketua KPK Alexander Marwata sempat mengeluarkan pernyataan yang menanggapi SK Pemberhentian ini. Ia mengatakan bahwa masih ada tempat pengabdian yang lebih baik di luar KPK. Ia juga yakin bahwa mantan pegawai KPK yang diberhentikan tidak akan meninggalkan integritas mereka meskipun bekerja di luar KPK.
Menanggapi pernyataan tersebut, Tata menganggap bahwa pernyataan Alexander Marwata ini cenderung meremehkan integritas pegawai KPK. Tata menyebutkan bahwa dengan berkata seperti itu, Alexander Marwata menganggap bahwa pegawai KPK hanya memperjuangkan jabatan saja.
“Ini kalau salah memahami bahwa yang diperjuangkan kami itu pekerjaan, ya gini jadinya. Seolah-olah kami hanya mempermasalahkan pekerjaan. Padahal bukan ini esensinya. Kami perlu memperjelas bahwa ini bukan sekedar pekerjaan semata. Kami berusaha menjaga marwah-marwah KPK dalam kerja pemberantasan korupsi,” lanjut Tata.
Tata mengungkapkan bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh hanya dilihat sebagai pekerjaan saja. Lebih dari itu, pemberantasan korupsi merupakan sebuah sikap yang harus dijunjung.
“Kalau pemberantasan korupsi hanya dilihat sebagai pekerjaan, yaitu tadi pemecatan dan pemberhentian solusinya. Tapi kalau pemberantasan korupsi diartikan sebagai sebuah sikap, maka yang kami perjuangkan hari ini itu adalah kami tidak ingin KPK menjadi cacat secara prinsip dan nilai, bahkan dalam proses peralihan-peralihan pegawainya,” jelas Tata.
Sebagai pegawai KPK yang masuk dalam daftar pemecatan, Tata berharap kepada pegawai KPK yang masih bertahan untuk menguatkan diri, karena tantangan dalam memberantas korupsi akan semakin terjal. Tata juga berharap kepada Presiden Republik Indonesia agar segera menentukan sikap dan keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi.
“Saya berharap rekan-rekan semakin kuat. Karena tantangan untuk ke depan dalam pemberantasan korupsi semakin terjal. Harapan kami juga kepada presiden, sebagai orang yang memiliki kekuasaan tertinggi, kami berharap presiden menunjukan sikap yang nyata dan keberpihakannya terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Kalau ini dibiarkan, ya sudah berarti presiden tidak mempunyai itikad baik, tidak punya keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi,” jelas Tata.
Terakhir, Tata melihat iklim demokrasi dan arah pemberantasan korupsi di Indonesia ke depannya tidak akan secerah sebelumnya. Dengan begitu, ia berharap kepada masyarakat agar tetap mengawal dan mengawasi kinerja KPK. (mam/zasr/ais)