Di salah satu kelas yang saya ikuti pada semester yang memilukan kemarin, terdapat seorang dosen yang konsisten menitipkan sebuah pesan sederhana pada nyaris tiap sesi akhir kuliah daring. “Tetaplah hidup, teman-teman,” ujar beliau dengan senyum mengembang, “semoga kita masih akan bertemu di masa yang akan datang.”
Saya jadi teringat betapa menyenangkannya kelas yang diampu beliau, ketika perkuliahan masih berjalan sebagaimana mestinya. Gaya mengajarnya yang energik—beliau jarang sekali hanya duduk memaku di depan kelas—, diselingi lemparan humor segar cenderung kebapak-bapakan, cukup efektif membangkitkan suasana kelas yang banyak diisi mahasiswa rawan ngantuk seperti saya. Maka dari itu, entah kenapa, pesan yang disampaikan beliau di atas seolah juga mentransmisikan sedikit rasa nyeri hati, padahal saya mafhum bahwa yang dimaksud bukan demikian.
Bagi saya pribadi, masih berat rasanya untuk mengamini bahwa interaksi dalam ruang virtual cukup untuk memenuhi taraf berkomunikasi pada diri seseorang. Sukar rasanya menerima bahwa perbincangan dengan menatap beragam rupa wajah masih harus disubstitusi oleh bentuk yang tunggal: layar. Sulit pula berbicara secara mendalam kepada orang lain, jika kehadirannya hanya digantikan oleh tampilan foto, atau bahkan cuma sebaris nama.
Mengawali langkah sebagai mahasiswa dalam situasi normal, saya lantas menjalani kehidupan kampus yang juga normal-normal saja, seputar berkuliah dan berkegiatan lainnya. Realitas bidang akademik yang sama sekali tidak menonjol saya tabrakkan dengan menjajal berbagai peran: maba lugu; budak program kerja; kontingen jurusan untuk kompetisi olahraga; itu semua, kecuali mahasiswa berprestasi. Karena mencatut banyak orang, terdapat aspek yang akan membuat peran tersebut berjalan optimal, seperti keramaian dan kedekatan dengan berbagai macam individu.
Masalahnya, pandemi sialan ini dengan cepat melancarkan kudeta terhadap status quo tersebut. Skenario layaknya film-film Barat sedang berjalan, dengan seluruh dunia terlibat mengambil peran. Babak akhir dari pertunjukan berdurasi hampir satu setengah tahun terakhir ini belum mengejawantah kepastian. Meskipun banyak penyesuaian (beserta tudingan dan penolakan) di sana-sini, kenyataan bahwa tatanan dunia yang belum kembali pada asalnya tentu tidak bisa dinafikan. Bahkan, oleh pemuja konspirasi kelas kakap sekalipun.
Andai stratifikasi lingkar pergaulan umat manusia itu benar adanya, saya tak mengerti bahwa mahasiswa (dan kehidupan kampusnya) akan ada di tingkatan keberapa. Saat ospek hari pertama, saya ingat betul ada seorang gagah—tampak dari perawakannya seorang mahasiswa kawakan, menjelma singa podium yang berapi-api menuturkan bagaimana idealnya kedudukan mahasiswa. Salah satu poin yang cukup mencolok bagi saya adalah mahasiswa sebagai iron stock, yakni generasi penerus pemimpin dunia di masa depan. Terdengar menjanjikan. Jika dikaitkan dengan stratifikasi tadi, saya akan berekspektasi bahwa mahasiswa berada tepat satu strip di bawah elit global. Tinggal menunggu giliran untuk mendapatkan akses penuh menuju kemewahan.
Di keadaan tidak normal ini, ketika mencoba menjahit nalar dengan kenyataan, rasanya tak ada pemenuhan atas narasi yang sudah saya dambakan itu. Alih-alih mendapatkan kemewahan, yang kita temukan hanya kondisi stagnan. Bahwa hiruk pikuk kampus, sebagai bagian nyata dari sistem pendidikan, tak lebih diprioritaskan ketimbang sektor pemuas hasrat yang bisa diletakkan belakangan. Bahwa mahasiswa, yang sejatinya adalah seorang pembelajar, masih dituntut untuk menyintas belantara logika pasar dengan bagian tubuh yang terikat keterbatasan.
Tentu semua orang tak bisa secara seragam memandang kampus dengan sebuah persepsi ideal. Boleh jadi, bagi seseorang, kampus adalah ladang kebaikan yang untuk menuai hasilnya perlu waktu dan tenaga. Boleh jadi pula, kampus adalah bungker, kamp konsentrasi, brankas harta benda, atau lumpur kotor yang penuh tipu muslihat bagi seorang lainnya. Boleh jadi apa saja, bergantung siapa yang hendak memberi makna.
Bagi mahasiswa terlampau biasa seperti saya, kampus mungkin mirip cara kerjanya dengan tanah, selapis tipis bagian bumi yang kerap diperebutkan kepemilikannya. Anggap saja kita, mahasiswa, sebagai setitik benih yang seiring waktu mengakar, memunculkan dahan dan daun, lantas memberikan kebermanfaatan dengan bunga dan buah. Segurat kehidupan yang indah, dalam timbul-tenggelamnya imajinasi tentang keadaan yang ideal.
Menggunakan cara pikir yang sama, kondisi sekarang tak ubahnya paceklik. Benih sukar mengakar; daun rentan gugur; buah tak merekah; semuanya akibat wabah yang menyebar. Kita masih bertumbuh, namun mungkin justru kurang dari batas wajar berupa standar, lagi-lagi yang ditentukan oleh logika pasar.
Di sisi lain, Jean Paul-Sartre, orang pertama yang menolak penghargaan Nobel Sastra, pernah mengemukakan sebuah gagasan: existence precedes essence.
Satu hal yang kemudian saya sadari adalah, kenyataan bahwa kata “mahasiswa” hanyalah salah satu papan penunjuk ruangan gelap bernama manusia. Orang bisa berasumsi setelah membaca tulisan pada papan, namun tak akan bisa memastikan apa-apa saja yang ada dalam ruangan. Kita, bersenjatakan kesadaran, punya kebebasan untuk menata, mendekorasi, merusak, atau hal-hal lain yang memberikan makna terhadap ruang tersebut.
Belakangan ini, di sudut Universitas Brawijaya yang masih terbilang sepi dari teman-teman perantau, saya memikirkan kembali tentang pemaknaan apa yang harus saya berikan agar situasi mampat ini memiliki jalan keluar. Memandangi lalu lalang kendaraan dan hijau pepohonan di sekitaran gedung rektorat, saya kira saya akan menemukan jawaban. Nyatanya, saya hanya larut dalam lamunan-lamunan; di mengerikannya ruang kelas saat malam, di keriuhan sekretariat bersama organisasi kemahasiswaan, di kumuhnya barisan meja belakang gedung fakultas; mendapati bahwasanya hiruk pikuk kampus begitu mewah dan entah kapan kembali tiba.
Pingback: Hiruk Pikuk Kampus Begitu Mewah dan Entah Kapan Kembali Tiba – Reyhan F. Fajarihza