Lompat ke konten

Boy dan Si Anjing Kurus

Ilustrator: M. Gibrant Aryoseno
Oleh: Muhammad Rayyan Farhansyah*

Baca bagian pertama disini: https://lpmperspektif.com/2021/06/20/semesta-sup-ayam-buku-ilmu-pengetahuan-sosial-dan-pertemuanku-dengan-cip/

Bagian Kedua

“Arma, aku akan menceritakan sebuah cerita yang berasal dari negeri yang tidak terlalu jauh tapi juga tidak terlalu dekat.”

Aku mengangguk, wajahku polos dibarengi rasa ingin tahu yang sangat. Sepertinya cerita yang akan disampaikan Cip sangat aku butuhkan sekarang.

“Di negeri tersebut ada seorang anak lelaki yang tidak pernah merasakan senang ataupun sedih. Ia tinggal sebatang kara di pinggiran ibu kota dekat dengan stasiun kota yang sangat ramai.”

“Anak lelaki tersebut bernama Boy. Ia tinggal sendiri, ibu dan ayahnya meninggalkannya menuju tempat yang tak tercapai. Mungkin juga itu yang membuat ia tidak merasa senang ataupun sedih. Menyedihkan bukan, Arma?”

Aku dengan wajah sedih dan mungkin tidak mau mendengarkan cerita dari Cip lagi berkata, “Itu sangat sedih Cip, bagaimana aku bisa mendengarkan ceritamu lebih jauh, kalau ternyata apa yang kamu ceritakan sangat menyedihkan.”

“Tapi cerita ini harus kamu dengarkan Arma. Ini akan membuatmu mengerti tentang kehilangan. Cerita ini tidak sepenuhnya sedih. Tenang saja Arma, izinkan aku melanjutkannya, ya.”

“Karena ia hidup sebatang kara, Arma, untuk bertahan hidup yang Boy kerjakan adalah berjualan koran di sekitar ibukota. Berjualan koran dari stasiun kota dekat ia tinggal sampai dengan ibukota dimana orang ramai lalu lalang. Dari pagi hingga petang. Penghasilannya tidak seberapa tapi cukup untuk menghidupinya.”

“Paman Tom adalah seseorang yang membantu Boy dalam urusan pekerjaannya. Ia memberikan beberapa koran yang seluruh keuntungannya diberikan kepada Boy.  Pada suatu ketika Boy sedang beristirahat di dekat pasar. Seperti biasa, di warung makan langganannya Boy dia memesan menu yang biasa dia pesan. Nasi dengan telur balado dan tempe orek adalah makanan favoritnya.  Boy dengan lahap menyantap makanannya untuk memberikan energi dorongan sebelum dia melanjutkan pekerjaannya.”

“Boy, seorang yang anak kecil yang mungkin tidak pernah terlihat senang ataupun sedih itu, dihampiri oleh seekor anjing. Seekor anjing kurus dengan bulu hitam kecokelatan. Anjing itu kelaparan, mencoba meminta sedikit makanan dari Boy.”

“Keesokan harinya, Arma, seperti biasa ketika Boy sedang makan siang, anjing itu menghampirinya lagi. Ia mencoba meminta sedikit makanan yang sedang Boy santap. Boy memberinya lalu mengusirnya lagi, tetapi sedikit berbeda. Setelah selesai makan dan bersiap untuk melanjutkan berjualan koran, tanpa disadarinya anjing tersebut mengikutinya. Mengikutinya mulai dari pasar, pusat kota, hingga stasiun dekat tempat tinggal Boy.”

“Saat sudah dekat dengan rumah, ketika ia sudah selesai menjual koran, Boy menyadari anjing tersebut mengikutinya. Boy tersenyum, untuk pertama kalinya sejak lama ia terlihat senang.”

“Di hari-hari berikutnya, Boy ditemani oleh anjing yang sudah ia berikan makan. Ia senang, menurutnya setelah sekian lama ia sendiri, sekarang ia ditemani anjing baru kesayangannya.”

“Tetapi Arma, suatu ketika, Boy menyadari anjing itu sudah tidak di rumahnya, ia khawatir dan pergi mencari anjing tersebut. Boy yang selama ini cenderung bersikap apatis mulai terlihat memperhatikan sekelilingnya. Ia pergi mencari mulai dari stasiun lalu ke pasar, sampai memutari pusat kota. Tetapi, yang ia temukan nihil.”

Cip melanjutkan cerita yang sebentar lagi selesai. “Boy merasa sedih, ia tidak menemukan anjingnya, untuk kedua kalinya ia merasa kehilangan. Tetapi kali ini berbeda, Boy sadar kedatangan anjing sempat membuat ia sangat senang, sudah lama semenjak ia tidak merasakan senang. Boy sadar bahwa tidak boleh berlarut-larut untuk sedih. Ia harus mulai mencari kesenangannya yang lain.”

Cip menunjukan kepadaku bahwa inilah yang dinamakan sebuah kehilangan. Kehilangan adalah sebuah proses kehidupan. “Arma, seseorang yang meninggalkanmu mempunyai bekas cerita yang ada pada dirimu. Ia pernah membuatmu senang, membuatmu hangat. Jangan bersedih terlalu larut.”

Aku mengangguk tanda menyetujui apa yang diucapkan Cip. “Iya Cip, aku mengerti. Apa yang dirasakan Boy aku akhirnya paham. Beruntung ya dia menyadari untuk terus mencari kebahagiaannya dan tidak berlarut-larut di dalam kesdihannya.”

Bersambung

(Visited 181 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Tahun 2019. Saat ini aktif sebagai anggota divisi Sastra LPM Perspektif.

1 tanggapan pada “Boy dan Si Anjing Kurus”

  1. Pingback: Manusia Salju dan Petasan Kata – LPM Perspektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?