Malang, PERSPEKTIF—Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (HIMAP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) menggelar kajian umum yang membahas tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang bertemakan “Apa Kabar PTN-BH UB, Akan Menyejahterakan atau Justru Menyengsarakan?” pada Kamis (29/4).
Diskusi yang dilaksanakan melalui Zoom Meeting ini menghadirkan dua pemateri, yaitu Ahmad Imron Rozuli selaku Wakil Dekan 2 Bidang Umum dan Keuangan FISIP UB serta Raffy Nugraha, mahasiswa UB.
Acara ini dilaksanakan sebagai tanggapan atas timbulnya berbagai pendapat terkait wacana perubahan status kampus UB dari PTN-BLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum) menjadi PTN-BH.
“Pendidikan kita semakin komersil, mulai ditandai dengan meningkatnya biaya pendidikan, baik dari UKT (Uang Kuliah Tunggal, red) maupun SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan, red) dan sebenarnya praktik ini sudah dilakukan sejak zaman orde baru,” ucap Raffy memulai diskusi.
Raffy secara tegas menolak wacana PTN-BH, hal ini didasarkan pada salah satu dampak negatif dari PTN-BH berupa adanya praktik komersialisasi perguruan tinggi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTN yang berstatus PTN-BH memiliki otonomi yang luas dalam mengelola keuangan, akademik, dan sebagainya. Kondisi ini dikhawatirkan memicu kenaikan biaya pendidikan yang berujung pada privatisasi pendidikan.
“Yang bisa kita lakukan adalah mendesak komitmen rektorat bahwa tidak akan ada praktik komersialisasi pendidikan, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan tinggi baik dari kenaikan UKT maupun kenaikan jumlah mahasiswa. Langkah konkret yang kita lakukan selanjutnya adalah mencabut akar permasalahan dari PTN-BH yaitu melakukan eskalasi gerakan nasional dan melakukan judicial review terhadap UU Dikti,” tegas Raffy.
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Ahmad Imron Rozuli yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah hak bagi semua orang tanpa membedakan siapapun yang ingin mendapatkan pendidikan.
“Kalau secara substansi PTN-BH tidak dipahami, maka seolah-olah akan menimbulkan bumerang. Institusi pendidikan jangan sampai mencari keuntungan, tetapi institusi pendidikan harus membuat usaha yang menguntungkan untuk menopang aktivitas pendidikan,” ucap Ahmad Imron.
Beliau juga berpesan agar mahasiswa memperjuangkan daya kritisnya, jangan sampai tumpul sehingga diharapkan ada proses yang sejalan, baik dari pendidikan, fasilitas, dan lainnya.
“Kalau keberatan dengan UKT yang ditetapkan, tolong hubungi advokesma BEM. Dan bila ada perlu bisa langsung hubungi saya untuk ke depannya generasi tidak hanya memikirkan mengenai duit (biaya pendidikan, red),” lanjutnya.
Terakhir menutup diskusi, Raffy mengatakan cepat atau lambat PTN-BH akan diresmikan. Tugas mahasiswa adalah tetap mengawasi dan mencabut akar permasalahan dari PTN-BH. (uaep/ads/ais)