Lompat ke konten

Sivitas Akademika Psikologi UB Tanggapi Kontroversi RUU Praktik Psikologi

Ilustrasi: Putri

Malang, PERSPEKTIF­— Jumlah kasus gangguan jiwa di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang dikutip dari Media Indonesia, Pandemi Covid-19 menjadi salah satu alasan meningkatnya jumlah kasus gangguan jiwa dari 197 ribu kasus pada 2019 menjadi 277 ribu kasus pada Juli 2020. Akibatnya, kebutuhan akan tenaga psikolog mengalami peningkatan. Sejalan dengan kondisi tersebut, wacana mengenai Undang-Undang Praktik Psikologi pun kembali hadir di tengah masyarakat.

Sebelumnya, dilansir dari suara.com, Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan keberatan apabila praktik untuk psikolog ditentukan dengan syarat pendidikan minimal Strata 2 (S2). Menurutnya, syarat tersebut hanya akan membatasi jumlah praktisi psikologi. Hal ini disampaikan dalam rapat mengenai RUU Praktik Psikologi bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim serta Komisi X DPR pada Senin (22/3).

Risma mengusulkan agar lulusan Strata 1 (S1) diperbolehkan melakukan praktik dengan syarat sertifikasi. Usulan tersebut diajukan dengan pertimbangan kebutuhan profesi psikolog yang tinggi, terutama dalam situasi bencana dan pendampingan anak-anak sekolah.

Menanggapi kontroversi ini, Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB), Yuliezar Perwira Dara, menyatakan bahwa lulusan S1 belum bisa diizinkan praktik karena selama masa studi hanya mempelajari dasar ilmu psikologi.

“Kalau dari S1 belum bisa diizinkan praktik, karena baru dasarnya aja. Untuk praktiknya selama 4 tahun itu belum cukup. Baru kalau lulusan S2 telah menajamkan praktiknya,” jelasnya saat diwawancara pada Rabu (7/4).

Wira juga menambahkan bahwa sudah cukup banyak tenaga psikolog di tiap daerah. Hanya saja kontribusinya belum tersalurkan secara sempurna.

Meski tidak menyetujui izin praktik bagi psikolog lulusan S1, Wira merasa lulusan S1 sudah cukup mumpuni apabila menjadi relawan dalam menangani psikis korban. Hal ini dikarenakan lulusan S1 dibekali untuk menjadi konselor.

“Dalam Psikologi UB itu ada peer counselor. Saya dan tim mengedukasi tiga sekolah besar dan menggandeng Puskesmas. Dari sini, peran konselor tidak harus dari S2. Di S1 konselor sangat dilatih selama satu semester untuk menambah jam terbang agar semakin luwes dalam profesionalitas,” terangnya.

Menanggapi hal tersebut, mahasiswa Psikologi FISIP UB juga tidak setuju apabila lulusan S1 mendapat izin praktik. Nur Fatihatus Sakinah, mahasiswa Psikologi 2020 mangatakan bahwa lulusan S1 belum memenuhi kriteria untuk memberikan konseling.

“Mata kuliah S1 Psikologi hanya mempelajari dasar-dasarnya, ga bakal proper untuk konseling klien,” ungkapnya.

Menyetujui pernyataan tersebut, Errin Cae sesama mahasiswa Psikologi 2020 memberikan tanggapannya.

“Dengan sedikitnya pengalaman dan pengetahuan lulusan S1, dikhawatirkan akan terjadi ketidakmampuan dalam mengatasi permasalahan psikologi yang kompleks,” terangnya.

Errin berharap bahwa perubahan peraturan ini dikaji berulang kali dari berbagai perspektif agar tidak menyebabkan konflik baru saat diterapkan nanti. (bp/nnfd/ist)

(Visited 289 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?