Lompat ke konten

Blood, Sweat and Tears

Ilustrator - Salwa Azhira
Oleh: Nazwa Rahmawanti*

Kala itu perhatian penghuni malam di jalan raya tertuju pada kayuhan sepeda berwarna magenta. Seorang pemuda berambut pirang kian membawa sepeda tersebut dengan laju yang cukup kencang. Ketahuilah, tiada yang mampu menghentikan kecepatan sang pemuda yang sedang mengayuh sepeda fixie nya itu. Sepeda tanpa rem tangan amat berbahaya sebenarnya di medan seperti Kota Malang. Terpujilah kala itu sedang pukul satu malam, maka para penghuni kota pun tak seramai siang hari. 

Jantung sang pemuda berpacu kencang dan deru nafasnya saling bersahutan dengan tiupan angin malam hari. Penglihatan sang pemuda kabur akibat air mata yang kian mengalir tiada hentinya. Tanpa aba-aba, terdapat sebuah polisi tidur yang secara tiba-tiba menghalau kelancarannya bersepeda. Terjatuhlah sang pemuda berambut pirang itu. Dia tertawa sembari menangis melihat seberapa menyedihkan dirinya kala itu. 

Luka pada lutut dan telapak tangannya tak terhindarkan. Beruntung tak ada luka fatal lainnya yang membuatnya merasa sakit berlebih. Namun, teriakan pada tengah jalan yang sepi itu semakin menjadi. “Travis bodoh!” Dia mencaci maki dirinya sendiri. 

“Bodoh, Travis bodoh! Mengapa kau masih hidup?” Luka di tangannya tak seberapa sakit dibandingkan hatinya yang remuk dan pikirannya yang runyam. Hampir tak ada yang bisa menebak apa yang terjadi pada pemuda itu kala itu. Dia berjalan tertatih-tatih sembari menggiring sepeda yang rantainya lepas dari jalurnya. 

Sekuat tenaga Travis masih mencoba memperbaiki sepedanya agar kembali normal. Sepedanya tidak rusak fatal, namun diri yang Travis bawa kini sudah hancur berkeping-keping. Tidak ada yang mampu mendeskripsikan seberapa kacau diri Travis saat ini. Peluh dan air mata menjadi satu. Di lihatnya gawai yang menunjukkan pukul dua malam, ia pun memilih untuk mendudukan diri di pinggir jalan sembari menahan sepedanya. 

Tatapan kosong mengitari jalan raya yang sepi. Hanya ada suara serangga dan sesekali sepeda motor berlalu lalang. Kehadiran pemuda pirang itu bagaikan keanehan di tengah malam. Kali ini bukan masalah keluarga, bukan pula masalah ekonomi. Hanya dirinya yang tak mampu melihat ke cermin bahwa dirinya begitu rusak tak berakal hingga di titik terendah ini. 

Stamina tubuhnya tidak sehebat dulu, dia lemah tak berdaya hingga lambat laun akan membusuk tanpa sisa. Kebencian yang besar atas dirinya membuat Travis melarikan diri untuk membakar segala amarah atas dirinya sendiri. Dia kecewa dan bersedih mengapa kesehatannya menurun drastis seperti maut akan datang padanya kapanpun. Tak kuasa menahan kesedihan, saudaranya juga mengatakan banyak hal agar dirinya menjaga kesehatan tubuhnya yang sudah di ambang batas. 

Hal ini tidak lain dan tidak bukan bahwa beberapa minggu terakhir kesehatannya memburuk hingga dia tidak mampu menghadiri perkuliahan. Dia melarikan diri ke rumah sakit tatkala rasa sakit tak kuasa dia tahan. Berkali kali dia melewatkan kelas agar bisa kembali melakukan beberapa tes laboratorium hingga pingsan semasa prosesnya. Lemah, tak berdaya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya yang pucat beberapa hari belakangan. Jantungnya juga berdebar terlalu cepat dan nafasnya semakin pendek. Seminggu penuh dia lalui untuk setidaknya bisa menyelesaikan urusan dengan instansi kesehatan. Rasa bersalah menggerogotinya hingga ke jantung terdalam sekalipun. 

I should’ve done better… maaf… maaf… maaf…” ucapnya lirih nyaris tak terdengar. Dia tak bergeming menutup telinganya dengan kedua telapak tangan berdarah itu. Darah segar mengalir dari telapak tangan dan lututnya. Dengan kesadaran yang di ambang batas fajar, Travis mengayuh sepedanya kembali ke kosannya. Perjalanan yang menyakitkan diiringi luka basah yang tak kunjung ia bersihkan hingga sesampainya di kosan. Alkohol dan kapas dia satukan setelah guyuran air dingin membasahi lukanya. Kernyitan dahi Travis setelah alkohol itu menyentuh lukanya, membawa teriakan lantang di kamar kosannya. 

Rasa sakit sementara itu hadir guna membersihkan sisa bakteri di sekitar luka yang ada. Setelah itu dia terlelap hingga alarm pagi datang. Kelas pukul 12.50 harus dia jalani sedemikian rupa dengan pikiran yang kalut atas kesehatannya yang memburuk. Lamunan demi lamunan yang Travis kerap lakukan hingga seakan-akan dirinya tak sadarkan diri menjadi kekhawatiran bagi temannya. Entah sampai kapan, tapi berdoalah agar sang pemuda mampu sembuh dan kembali ke masa keemasannya.

(Visited 8 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi angkatan 2022. Saat ini sedang menjabat sebagai anggota dari Divisi Marketing dan Komunikasi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?