“Kehadiran di tempat orang-orang pergi meninggalkan.”
Aku benci pemakaman. Bahkan pemakaman orang yang tidak ada hubungannya denganku. Bukan karena perasaan mendalam akan manusia. Aku benci dengan suasananya, apalagi terik matahari tak mengeringkan tangis, tak juga membuat tanah yang basah itu kelihatan tenang.
Aku benci saat suara-suara menyedihkan itu saling bersahutan. Tanpa asa, tanpa henti, tanpa membantu, suara-suara yang tidak berguna. Suara yang membuat mereka yang pergi tidak ingin beranjak pergi.
“Bukankah wajar? Mana ada orang yang menyukai pemakaman. Kecuali ada kelainan di salah satu jaringan otaknya.”
Itu benar, kebencianku di luar nalar. Aku membencinya bahkan ketika mendengar kata itu. Aku membencinya hingga tak satu pun pemakaman kerabat maupun kenalanku kudatangi. Aku hanya datang ke rumah duka saat semuanya telah pergi. Aku membencinya, sangat membencinya hingga rasanya mual.
Namun, di pemakaman itu aku bertemu dengannya. Di pemakaman yang mau tak mau kudatangi sebab salah satu kenalanku ini merupakan manusia yang selalu ada di sisiku. Sebab pemakaman ini adalah pemakaman satu-satunya manusia yang ia miliki.
Aku menghadirinya meski membencinya. Karena aku berhutang banyak terhadap kenalanku ini. Meski kehadiranku sama sekali tak membantu, penghiburan sederhana adalah yang ia butuhkan. Sebab orang yang ditinggalkan tak ingin mengantar kepergian dengan tangis.
Dan aku ingin ia tau, bahwa kepergian tak merebut segalanya darinya. Bahwa masih ada orang yang bersamanya. Bahwa ia tidak sendirian dan ia tidak ditinggalkan. Aku mencoba menjadi terik itu. Terik yang tak membantu, tapi menemani mereka mengantar kepergian.
Namun, bagaimanapun situasinya. Aku membenci pemakaman itu. Aku membencinya hingga rasanya ayam di perutku menemukan kembali kehidupannya dan mencoba menembus tenggorokan.
Aku benci tanah merah yang baru digali itu. Aku benci semak belukar yang singgah di rumah orang-orang yang tak pernah dikunjungi. Aku benci aroma melati yang memberikan kesan mistis. Aku benci bunga yang biasanya digunakan sebagai ungkapan cinta, menjadi bunga yang mengantar kepergian.
Mengapa bunga itu malah dijadikan bentuk duka?
Harusnya pilih satu makna saja, mengapa harus ada dua? Apalagi keduanya bertolak belakang. Apa karena ingin menunjukkan rasa cinta yang mendalam bagi orang yang meninggalkan? Memang benar, seseorang yang telah tiada menerima rangkaian bunga lebih banyak daripada saat ia masih hidup.
Aku juga membenci aroma kapur dari tubuh yang sudah tak memiliki kehidupan itu. Aku bahkan membenci kain putih yang membalut tubuh seseorang sebagai satu-satunya pakaian terakhir yang akan ia kenakan. Aku membenci pakaian serba hitam yang kini ku kenakan.
Namun kalian tau, di tempat dan situasi paling ku benci ini, aku bertemu dengannya. Sosok yang akan merubah hidupku dua ratus tujuh puluh derajat. Sosok yang membuatku ingin segera pulang dan melepas lara. Sosok yang akan membuatku menghabiskan dua puluh empat per tujuh hidupku hanya untuknya.
Sosok itu kutemui tak jauh dari makam yang ku datangi. Mungkin hanya berjarak dua meter dari sana. Ia duduk di dekat makam berkeramik merah yang di tengahnya telah dipenuhi rumput liar yang menjulang tinggi.
Makam itu selayaknya makam pada umumnya. Namun, kerangka keramik yang sudah berlumur itu membuatku berspekulasi bahwa makam itu telah lama ada dan ia tak pernah mendapatkan pengunjung belakangan ini.
Ia duduk memandangi makam itu tanpa suara. Seakan keributan yang tak jauh darinya itu tak mengganggunya sedikitpun. Ya, mungkin memang ia tidak peduli saja. Kurasa ia memang agak cuek.
Tubuhnya ringkih, sangat kurus hingga tulang-tulangnya terlihat jelas dibaik kulit berlapis bulu itu. Sorot matanya teduh. Ia sungguh amat sangat tenang. Aku penasaran darimana ketenangan itu berasal.
Tubuhnya agak kotor karena tertutupi tanah. Kakinya bahkan lebih kotor dan penuh dengan luka, mungkin terkena ranting pohon atau semak belukar. Terlihat menyakitkan, tetapi wajahnya tak menunjukkan sedikit pun rasa sakit. Oh ayolah, luka itu bisa infeksi bila tak diobati. Aku ingin membantunya, tapi aku takut ia malah waspada terhadapku.
Matanya menatap lurus mataku, mungkin menyadari bahwa aku menatapnya cukup lama. Aku tersenyum tipis, senyum untuk meyakinkannya bahwa aku tak berbahaya. Mata itu masih tampak sayu, namun tak sekali pun menunjukkan kewaspadaan. Kupikir tak apa bila mendekat?
Aku perlahan bangkit, mengambil satu persatu langkah pelan untuk mendekatinya. Ia masih menatapku, tak melepaskan pandangan itu dari mataku. Hingga hanya tinggal satu langkah terakhir. aku berjongkok takut tubuhku yang lebih besar akan menakutinya.
“Hai!” sapaku yang dibalas keheningan yang cukup lama.
Aku mengulurkan tanganku, membuatnya beralih menatap tangan itu. Mungkin di otaknya berpikir, untuk apa orang ini mengulurkan tangannya?
Aku tersenyum karena ia tak menunjukkan respon waspada. Lantas perlahan kuusap kepalanya. Berbeda dari kelihatannya, bulunya cukup lembut. Bulu hitam serta putih itu benar-benar sangat lembut, hanya saja agak kotor.
“Teman kecil yang lucu.”
Aku menoleh, menyadari kenalanku telan berdiri di sebelahku saat teman kecil ini mulai nyaman dengan belaianku.
“Iya. Dia lucu,” balasku. Aku yakin bila di urus sedikit saja, ia akan jadi makhluk kecil paling lucu yang pernah kutemui.
“Lalu, kenapa tidak merawatnya?” Aku tertawa kecil mendengar saran itu. Tetap saja, bersimpati dan benar-benar merawat adalah dua hal yang berbeda. “Aku takut, aku tidak mampu.”
“Kenapa tidak?” Temanku bertanya seakan benar-benar bingung.
“Merawat suatu kehidupan tidak semudah itu.”
“Kenapa kau pikir kau tidak bisa?”
Kini aku menatapnya, wanita yang baru saja merasakan kehilangan apa perlu menanyakan alasan yang sudah jelas?
“Karena merawat diriku sendiri saja aku masih lalai.”
“Justru karena itu Kal, kalau ada sesuatu yang harus kau urus, mau tidak mau kau ikut mengurus dirimu sendiri kan? Kalau tidak begitu bagaimana kau akan merawatnya? Manusia itu memang kadang membutuhkan sosok lain agar ia bisa menyadari seberapa penting hidupnya, Kala.”
Aku tertawa, padahal baru tadi aku memikirkan itu. Perihal kehadiran seseorang untuk menyadari keberadaan. Aku lantas kembali menatap teman kecil itu.
“Kau benar. Lalu, maukah kau menemaniku teman kecil?”
Mata sayu itu tampak bersemangat. Ah, sudah kuduga, hidupku akan berubah karena teman kecil ini. Sungguh aneh menemukan keberadaan di tempat orang-orang banyak pergi untuk meninggalkan.
Namun, bukankah takdir memang begitu? Aneh dan tak terduga.