Lompat ke konten

Perayaan Detak Detik

Ilustrator - Muthia Fakhira T.
Oleh: Khoerul Umam*

Di zaman yang semua dirayakan ini, duduk seorang kakek di sebuah ruang tamu rumah sederhana tengah menapaki jengkal demi jengkal meja tamu dan remahan-remahan kata serta jendela besar di sana. Pintunya yang terbuka lebar membawa udara berbau embun hinggap meruap seisi ruang. 

Apa yang ia pikirkan tak seribet bagaimana cara menjaga keamanan dunia, atau bagaimana semua orang buta tentang keadaan sekitar. Ia hanya berpikir kopi apa yang akan disajikan sepagi ini oleh sang nenek, istrinya. Mereka berdua hidup dengan tenang dan sederhana di tempat sepi yang hangat. 

“Ini kopinya.” Sang nenek sampai membawakan dua cangkir berisi kopi panas untuk sang kakek dan dirinya sendiri. 

Di tangannya, ia masih memegang nampan kemudian menyeka sedikit sofa lalu duduk di sebelah sang kakek, mengelus tangannya yang diam melalui lekuk demi lekuk di lembaran kulitnya nan terasa kasar dan keriput. Tangannya sampai pada bahu sang kakek yang sudah tak bisa tegap karena beban di pundaknya yang harus ia pikul terlalu berat. Kemudian sampai pada wajahnya yang banyak terbakar sinar matahari menatap hampa ke mana mata sang kakek membawa pikirannya menjamahi udara berbau embun di ruangan itu. 

“Terima kasih sudah membuatkan kopi, seperti biasa aku akan menikmatinya sampai larut di dalamnya,” kata sang kakek. 

“Ternyata, lima puluh tahun terasa sangat cepat bersamamu, ya.” Sang nenek tersenyum manis, sedikit memerah pipinya. 

“Iya, sangat menyedihkan waktu berlalu terlalu cepat bersamamu,” jawab sang kakek menghela napas. 

“Kenapa kau menghela napas? Apakah kau tidak senang melalui setengah abad perjalanan panjang bersamaku?” tanya sang nenek. 

“Tidak, aku terlalu senang, saking senangnya aku kelelahan karena kepala dan tubuhku dipenuhi rasa senang itu. Aku berharap dalam tahun-tahun yang akan datang, aku selalu dihinggapi rasa senang itu,” jawab sang kakek. 

“Hal apa yang membuatmu merasa senang bersamaku?” tanya balik sang nenek.

“Tidak ada,” jawab sang kakek. 

“Tidak ada?” tanya sang nenek heran. 

“Iya, tidak ada. Tidak ada hal yang perlu ada untuk senang bersamamu, karena kamu sendiri yang membuatku senang, kamulah kesenangan itu sendiri,” jawab sang kakek sembari menghinggapkan jari jemarinya yang lemah di kulit sang nenek yang tak lagi selembut dahulu. 

“Ahahah, bisa saja kau ini, ingat umur kau sudah tidak pantas untuk merayu dan menggombaliku.” Sang nenek tertawa lepas.

Perjamuan kata yang klise di ruang tamu membawa kedua suami istri seperti kembali ke masa muda mereka. Perayaan sederhana sebelum sarapan pagi itu diselipi sedikit tawa dan sececap kopi. Di meja yang riuh itu terlihat pula beberapa pucuk surat sederhana yang tak pernah kedua pasangan itu petik, hanya beberapa surat tak jelas dari pemerintah atau calon-calon kepala desa yang ingin meminta doa. 

“Di ujung perjalanan, di persinggahan terakhir kita nanti, apakah ada hal yang ingin kau lakukan?” tanya sang nenek. 

“Tentu saja, aku ingin duduk bersamamu seperti ini sampai matahari tergelincir ke ufuk barat melukis lembayung jauh di sana, di tempat aku dan kau duduk untuk merayakan detak detik dan tetak titik denyut jantung kita masing-masing. Aku akan menyimpanmu dalam memori, seperti sekarang,” jawab sang kakek. 

Sang nenek hanya bisa terdiam sembari tersenyum, ia terus menatap sedih sang kakek. Helai demi helai rambut yang kian meranggas putih, kaki dan tangan yang tak lagi sekuat dulu, kulit yang semakin kasar, tetapi bibir dan kata-katanya masih sama, indah. 

“Akan menjadi patah hati terbesar yang ada dalam sejarah untuk kehilanganmu, maka sebelum itu aku ingin merayakan segalanya bersamamu,” lanjut sang kakek. 

Sang nenek tersenyum kembali, ia mengusap kepala sang kakek perlahan. 

“Aku akan pergi ke pasar, apakah kau ingin membeli sesuatu? Atau ingin menitip sesuatu?” tanya sang nenek. 

“Iya, aku ingin menitipkan salamku pada udara pasar dan suaranya yang riuh. Dan mungkin pada Tuhan,” jawab sang kakek. 

Sang nenek mengangguk, ia berdiri dan bersiap untuk pergi ke pasar. Tak seperti biasanya sang nenek memakai gaun indah berbau mawar putih ke pasar, sang nenek berhenti di pintu dan melihat sang kakek tersenyum. Ia beranjak pergi dengan senyum. 

Di perayaan detak detik sang kakek pagi itu, ketukan pintu meruap seisi ruang memecah pandangan sang kakek. Seorang tetangga memberi salam, meminta izin untuk bertamu. 

“Bagaimana kabarnya, Kek? Apakah pagi ini ada yang bisa dibantu?” tanya sang tetangga. 

Sang kakek hanya terdiam, membiarkan tetangga tersebut duduk menikmati udara embun yang biasa meruap di ruang itu. Sang tetangga melihat dua cangkir kopi kosong yang sudah semenjak dua minggu lalu berdiam di sana. Sang tetangga paham betul sang kakek mengingat sang nenek dengan cangkir tersebut. 

“Saya turut berduka cita atas kepergian nenek, meskipun sudah dua minggu tetapi saya paham betul, kakek belum bisa melupakan nenek,” kata sang tetangga. 

Sang kakek tetap diam, ia tak memberi sepatah kata pun. Sang tetangga paham bahwa sang kakek sedang menepati janjinya, ia menyimpan sang nenek di memorinya sendiri untuk dirayakan setiap detak detiknya.

(Visited 54 times, 2 visits today)
*) Penulis merupakan seorang mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya angkatan 2022 yang sedang berada di kereta, mencari kata. Akun Instagram pribadi dari penulis adalah ti_tik33 (tidak terlalu aktif).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts